05 | Menyesal?

7.6K 647 13
                                    

Joana menutup kembali resleting ransel milik Azki setelah wanita itu memasukkan beberapa keperluan putrinya. "Ingat Azki tidak boleh apa?"

"Azki tidak boleh nakal, Azki tidak boleh bertengkar dengan teman-teman, Azki juga tidak boleh bicara dengan orang asing," jawab gadis kecil yang masih sibuk dengan serealnya. Maniknya sama sekali tidak beralih pada ibunya yang ada di ruang tengah.

Senyum Joana terkulas. Dia berjalan menghampiri Azki. Mengusap pelan pipi gembil bocah itu, "Habiskan sarapannya, lalu kita berangkat."

Kepala Azki menoleh menatap ibunya yang berdiri di sampingnya, tengah menuangkan air ke dalam gelas. "Bunda, apa sekarang Azki boleh bertemu Paman Javis?"

Joana yang hendak meminum airnya menghentikan gerakannya. Matanya beralih pada Azki yang kini menatapnya. Manik kebiruannya berbinar penuh harap. Azki hanya ingin Bunda mengizinkannya untuk bertemu Paman Javis.

Joana terdiam sejenak. Masih menatap lurus puppy eyes milik Azki. Pelan, helaan napas Joana lolos dari celah bibir yang dipoles lipstik berwarna mauve. Dia meletakkan kembali gelas di tangannya, lantas duduk di kursi kosong samping Azki, mengelus pelan pipi gadis itu.

"Apa Azki begitu menyukai Paman Javis?" Tanyanya pelan. Seketika anggukkan mantap gadis itu berikan sebagai jawaban. Membuat senyum Joana terkulum lembut.

"Paman Javis bukan orang jahat, Bunda." Azki berucap, mencoba mengambil kepercayaan Bundanya.

Joana masih diam. Diraihnya kedua pipi Azki kedalam tangkupannya. Menatap wajah putrinya lekat. "Tapi Azki harus janji sama Bunda. Mulai sekarang Azki harus menjadi anak yang patuh, Azki tidak boleh nakal, Azki tidak boleh rewel, dan," Joana melirik sereal yang sudah tandas. "Azki harus belajar makan sayur. Bunda tidak mau Azki hanya makan sereal. Bagaimana Azki mau berjanji?"

Kali ini Azki yang terdiam, maniknya tampak berpikir. Terlihat begitu serius, bahkan kali ini bibir atasnya sudah dia gigit dengan penuh pemikiran. "Emm..." gadis itu mulai bergumam, "Azki janji akan jadi anak yang patuh, Azki gak rewel lagi, tapi boleh ya Bunda gak usah makan sayur."

Joana menggeleng dengan gumaman kecil, menolak penawaran gadis kecilnya. "Tidak ada penawaran. Sekarang Azki hanya boleh menjawab mau atau tidak."

Azki kembali berpikir, pipinya menggembung menggemaskan. Bahkan kini jari-jarinya saling bertaut lucu. "Sayur gak enak Bunda. Jadi boleh ya Bunda makan sayurnya sedikit aja?" Tawarnya dengan nada merengek khas anak kecil.

Senyum Joana mengembang. Bagaimana mungkin gadis kecilnya sudah pandai menawar? Siapa yang mengajari Azki berpolitik seperti ini?

Akhirnya anggukkan kecil Joana membawa senyum gadis itu merekah lebar. "Yeeey! Makasih Bunda!" Serunya, berhambur memeluk ibunya.

Senyum Joana semakin merekah. Sebenarnya dia sudah memikirkan hal ini. Bagaimana pun Joana berusaha memisahkan mereka, Azki dan Javis tidak akan pernah bisa terpisahkan. Karena sejatinya mereka sudah terikat oleh takdir untuk saling melengkapi satu sama lain. Joana hanya berharap semoga semua akan baik-baik saja setelah ini.

***

Joana tidak menyangka ketakutannya pagi ini akan datang begitu cepat. Kini dia terlihat gugup, jemarinya saling bertaut menyelimuti mug kopi di depannya. Dia tidak tahu apa alasan lelaki ini mengajaknya berbicara sepagi ini. Entah Joana harus menyebutnya beruntung atau tidak, karena cafetaria yang biasanya ramai pagi ini juga terlihat begitu senggang. Semoga saja lelaki itu tidak mendengar detak jantung Joana yang mulai menggila.

"Kau terlihat gugup?"

"Hah?" Joana tergeragap, mengalihkan wajahnya menatap lelaki di depannya. Dia menggeleng cepat, "Tidak," jawabnya. Lantas kembali menatap cangkir di tangannya.

Snow In SummerTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang