CHAPTER 23

611 46 13
                                    

Kinara mengangkat kepala, mencari sumber suara yang tertangkap di Indra pendengaran nya. Tepat di sebelah kanan, seorang laki-laki dengan buku paduan memasak menyandarkan kepalanya pada rak buku.

Kinara tidak pernah melihat lelaki itu sebelumnya, dari penampilan yang terlihat rapih. Sepatu hitam, baju putih, dasi, celana panjang abu dengan pola setrika yang masih tercetak jelas dan ikat pinggang menandakan bahwa laki-laki di depannya adalah panutan sekolah.

"Kenapa lo bisa nyimpulin kalau dia cuma pengin terlihat keren? "

"Untuk cari perhatian lo, " jawab laki-laki yang namanya belum Kinara ketahui.

"Nama lo siapa? " tanya Kinara.

"Barra,"

"Api yang menyala? " tanya Kinara lagi.

"Barra Bintara Andalas, bersih, " jawabnya.

Kinara manggut-manggut, ia menggeser posisi duduknya. Barra menempati posisi di depan Kinara, membaca kembali bukunya tanpa mengatakan sepatah kata.

Kinara memilih melakukan hal yang sama, ia tidak memiliki pertanyaan apapun untuk lelaki di hadapannya. Sampai akhirnya Barra membuka suara untuk berbicara.

"Makoto Kondo, ahli kanker terkenal di Jepang. Dia dosen radiologi di Keio University, "

Kinara menurunkan bukunya untuk melihat jelas wajah Barra. Siapa lelaki ini? tanyanya dalam hati. Kinara memasang telinga untuk mendengar penjelasan selanjutnya.

"Bokap lo- "

"Sudah 8 tahun, dia sudah sembuh. Ga usah cari cara alternatif lagi, " balas Kinara spontan dengan intonasi yang tidak bersahabat.

"Gurli, Kanker pankreas stadium lanjut bertahan lebih dari 11 tahun. Papi bisa lebih dari itu dan akan selalu sehat sampai selamanya, "

"Papi lo terbukti remisi kan? Pernyataan dokter bukan suatu jawaban dari semuanya, remisi itu berbeda dengan sembuh total, karena kalau ga di kontrol resiko untuk kanker dapat kembali, " balas Barra.

"Berapa banyak lagi obat yang harus papi konsumsi? Berapa ratus kali papi kemoterapi? Rambutnya udah beberapa kali hilang tumbuh, Please, papi udah sembuh, papi udah sehat! " bantahnya, pembahasan satu ini selalu membuat Kinara ketakutan. Takut akan sesuatu yang selama ini tidak bisa ia bayangkan lebih jauh terjadi. Takut orang yang dicintainya hilang dari muka bumi.

"Kanker itu gak benar-benar hilang dari tubuh papi lo, Sel kanker itu gabisa sembuh 100%"

"Bisa, dokter bilang papi sudah sembuh. Lo itu bukan dokter, lo cowok yang cita-cita nya ingin jadi koki. Lo itu cowok yang memiliki impian untuk bisa melakukan sesuatu yang seharusnya di kerjakan oleh wanita, gue benar kan? Yang gue katakan benar kan? "

Barra satu angkatan dengan Kinara, dia tidak terlalu terkenal, kelas menjadi tempat singgah selama tiga tahun di sekolah. Tanpa keluar sebelum bel pulang berbunyi, itulah prinsipnya.

"Anak baru, sejak kapan lo tau riwayat hidup keluarga gue? " tanya Kinara masih dengan suasana hati yang tidak baik.

"Sejak tadi, sejak lo menimang karya ilmiah atau buku pengobatan kanker yang ada di tangan lo. Ditambah foto bokap lo yang diletakkan di atas meja, " balas Barra netral.

"Berhenti jadi detektif yang sedang tidak di beri tugas, "

"Gue lihat, gue ga bermaksud ingin tahu, mata gue yang ngajak gue untuk melihat itu, " ucap Barra.

Barra kembali membaca bukunya, Kinara terlihat waspada terhadap Barra yang tiba-tiba mengetahui semuanya.

Manusia yang baru di temui nya benar-benar menguras pikiran, menjebol dinding pertahanan yang sejak beberapa tahun lalu percaya bahwa tidak akan terjadi apa-apa terhadap papinya.

"Gue bisa milih jadi dokter untuk nyembuhin papi lo, tapi orang tua gue berharap gue nerusin usaha mereka di bidang kuliner. Lo tau gue cowok? Awal pertama lo liat gue pasti lo punya banyak pertanyaan, disini gue sengaja ngebahas sesuatu yang harusnya lo pikirin, lo cerna dan lu beri tindakan, disini gue sengaja ga ngebiarin lo nanya sama apa yang gue pelajari sekarang, "

"Memasak bukan semerta-merta tugas wanita, ga semua yang lo simpulkan selucu itu. Gue tau persis seberapa ganas penyakit kanker, karena gue lebih berpengalaman ngurusin penderita yang kebetulan seorang yang gue sayang. Seperti bokap lo, seperti kondisi yang lo lihat sekarang dia baik, sangat baik. Apa lo tau suatu saat penyakit itu bakal kembali? Bahkan akan lebih ganas dari sebelumnya, "

"Galucu, pernyataan lo nggak lucu, "

"Ada yang lolos, tapi banyak juga yang gugur. Bahkan setelah mereka merasa lega dan menghilangkan kekhawatiran itu, "

"Kenapa lo harus muncul? " tanya Kinara dengan air mata yang sudah merembes.

"Ini hari pertama gue keluar dari zona nyaman, selama hampir dua tahun, prinsip gue ga mau mencampuri urusan orang lain, "

Kinara lantas tertawa hambar, mengusap air matanya yang terasa percuma di biarkan mengalir.

"Terus kenapa lo mencampuri urusan gue? Seolah-olah lo tau kapan papi akan ninggalin gue, " isaknya.

Barra segera bangun dari duduknya, meletakkan buku paduan memasak pada tempatnya dan menyambar buku kotak-kotak miliknya yang ada di atas meja.

Bukan ingin mencampuri urusan orang lain, bukan bermaksud membuka luka, bukan cuma sekedar ingin tahu. Dia tak ingin sesuatu yang dia rasakan dapat di rasakan oleh orang yang tidak kuat akan kehilangan.

"KENAPAAA? " teriak Kinara, ia tidak sadar sedang dimana dia sekarang.

Penjaga perpustakaan menegur, memberi peringatan sekali lagi. Isaknya benar-benar sangat mengganggu kenyamanan sekitar, lelaki itu sudah hilang, tidak bertanggung jawab dengan segala ucapannya.

Kinara berjalan keluar ruang perpustakaan, jam pelajaran kedua hampir dimulai. Ia melangkahkan kaki dengan cepat, melewati kelasnya dan duduk di antara pohon tanjung.

Kali ini tidak ada siapa-siapa, tidak ada Ririn dan Radin. Hanya suara angin dan beberapa burung gereja yang menghiburnya. Kinara tertawa sendiri membayangkannya bagaimana tadi ia bersikap.

Seolah hilang kendali dan ingin menampar keras orang yang berkata tidak benar, bukan membantu justru membuatnya semakin susah. Susah untuk mengontrol diri dan mencari cara agar papinya tetap baik-baik saja. Setidaknya sampai ia lulus sekolah, sarjana dan menjadi dokter untuk papinya.

Tiba-tiba saja ada yang mencolek bahunya, tidak lain dan tidak bukan ketua kelas baru. Memperingatinya untuk masuk kekelas karena pelajaran telah dimulai.

Kinara mengangguk dan mengikutinya dari belakang, menyembunyikan segala ekspresi agar tidak ada pertanyaan dari cowok di depannya.

Sampai tiba waktunya ia tersandung, dengkulnya baik-baik saja. Namun harga dirinya seketika jatuh saat lelaki itu menertawakannya dan mengabadikan momen itu dengan benda persegi yang sangat ingin sekali Kinara hancurkan.

Biarlah, Kinara kembali bangkit dan memilih fokus pada jalanan yang ada di bawahnya.

____________

Tertanda Rizkapsptsr 💓

BENAYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang