Aku adalah orang yang menyukai langit, karena semua kesukaanmu ada padanya.
Kau menyukai hujan. Hujan yang turun tipis ketika waktu senja mulai habis. Dan kau pun mencintai senja. Senja yang tak begitu merah tapi di dalam ingatan ia terus menyala. Hal berikutnya yang kau sukai adalah malam. Malam yang terekam lewat tulisan tanganmu. Malam yang paling hitam ; sampai-sampai matamu bercahaya ; bekas bianglala yang terfokus ke retina.Langit juga merupakan sesuatu yang mudah berdamai. Tempat yang nyaman mengasingkan pikiran dan segala yang berandai-andai. Ketika lalu lintas hati sedang bertemu keramaian, langit membuka mata pada kesenyapan. Langit adalah kamar bagi seorang penulis yang susah tidur. Bisa pula jadi tempat tinggal. Bulan, bintang, pun matahari hanyalah perabotan. Di dalam lemari, ada potret venus yang kadang menampakkan diri secara diam-diam.
Bagi pikiran remajaku, langit adalah gadis kecil dengan sepatu lampu. Menjejak pudar menunggu bintang perlahan tanggal. Matamu mengirim cahaya ke sudut-sudut kota. Meski di kelopak matamu, ada hujan yang mati kekeringan.
Kadang kala, langit bisa gelisah. Begitu banyak orang yang menitipkan resah ke atas punggungnya. Pernahkah kau menghitung umur langit itu? Dia lebih tua dari apapun pada kata dan kalimat yang lampau ; ingatan, masa lalu, dulu yang pernah, dan pada masa itu.
Kau tak tahu? Langit sering mampir bercakap-cakap ke atap rumahmu, ketika aku jadi angin yang lalu lalang. Aku kemudian menyentuh rambut belakangmu, ketika kau tengah menuntun keheningan ke luar jendela.
Sungguh, pikiranku ingin jadi debu atas waktu. Yang habis untuk mencintai keinginanmu dalam bebunyian doa. Sekalipun itu menidurkan mata langit, meskipun aku akan dihilangkan senja-kala.
Langit kemudian jadi aku. Aku yang terbarukan oleh ingatanku sendiri. Yang hanya bisa bersedih bila malam menutup rapat kedua mataku. Kau mungkin masih di sana. Di pintu atau jendela yang sama. Menunggu hujan yang sedang terisak dalam perjalanan, atas kesedihan yang lain.