Pakanira

52 2 0
                                    

Aku tidak pernah benar-benar menyukai kesunyian. Di dalam kepalaku, seringkali terjadi perayaan-perayaan dan hari-hari peringatan.

Suatu kala di salah satu perayaan itu, aku mengajakmu ke sebuah taman di bagian belakang sebuah puisi. Saat itu, aku ingin sekali menggengam tanganmu. Tapi lenganmu sedang sibuk; mamangku bulan yang sedang ingin dipeluk.

Kemudian kulihat ke dalam matamu. Ada semesta yang dititipkan ke dalam rahim setiap ibu. Kuintip langkahmu, bayanganmu pun menolak kupindahkan ke dalam saku.

Kita duduk di sini saja, kataku. Ini bangku taman paling nyaman karena dipahat dengan air mata hujan. Di hadapan kita ada senja yang tak pernah bisa tenggelam, lantaran langit sudah dihibahkan pada puisi yang lain.

Kau lalu tersenyum; seketika kulihat badai angin di atas gurun. Tergulung, aku tergulung. Aku dan ujung puisi ini.

Jantung KotaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang