Two - Each Time You Fall in Love

6.6K 229 1
                                    

🔞🔞🔞🔞

Ara membuka kancing bajunya. Kemudian melempar bajunya ke sembarang tempat. Membiarkan lelaki dihadapannya hanya tersenyum miring. Ntah sejak kapan lelaki itu mulai obsesi dengan tubuh Ara.

"Aku yang akan memimpin permainan ini. Kamu tidak boleh mendesah." Evan tersenyum, enggan memalingkan wajahnya kesamping. Ingin terus melihat Ara yang mulai melepas bra-nya. Melemparkan bra berwarna merah muda itu ke lantai.

"Apa kamu sedang menghukumku, baby?" Tanya Evan sambil menarik tubuh Ara yang sudah hampir mencapainya. Menarik tubuh wanita itu hingga terjatuh diatas tubuunya. "Mau menghukumku, heum?" Ara memutar bola matanya.

Evan mencium mata Ara yang baru saja memutar. "Aku tidak suka kamu memutar bola matamu." Ara mendengus. "Aku tidak suka kamu memelukku sembarangan seperti di Perpustakaan waktu itu." Evan paham jika Ara tidak suka.

"Aku tidak perduli jika kamu tidak suka. Aku akan terus melakukannya." Ara menjadi kesal. "Aku juga akan terus memutar bola mataku kalau begitu." Ara tak perduli jika Evan membenci itu. Toh, dia melakukan sesuatu bukan agar lelaki itu menyukainya, kan?

"Tapi, aku akan menghukummu." Mencium bibir Evan saking kesalnya. Menggigit bibir lelaki itu. Hingga rasa anyir menyecap indra perasanya. "Itu hukumanmu." Evan menatap Ara tajam.

"Jilat darahnya, Ara." Ara membuang wajahnya. "Ara, aku bilang jilat darah dibibirku." Ara menggeleng. "Aku tidak mau." Evan mengeraskan rahangnya. "Ara, tatap mataku." Ara enggan menatap Evan.

Tangan Evan menyentuh dagu Ara. Membuat wajah mereka saling berhadapan dan mata mereka saling bersitatap. "Apa sulitnya menjilat darahku jika kamu saja selalu tidak masalah untuk menjilat spermaku?" Ara membulatkan kedua matanya.

"Sialan, kamu Evan Adinata. Aku membencimu setengah mati." Evan memeluk tubuh Ara yang kini berada diatasnya. Mengeratkan pelukannya agar tubuh mereka tak memiliki jarak.

Evan sedang shirtless saat ini. Karena Ara tadi juga sudah menanggalkan seluruh pakaiannya. Sudah dapat ditebak jika saat ini kulit mereka saling bergesekan tanpa ada pembatas. Evan dapat merasakan nipple Ara yang menyentuh kulit dadanya. Astaga, bisa gila lama-lama.

Evan masih menunggu Ara menjilat bibirnya yang berdarah. Benar, bukan? Wanita itu saja rela menjilat habis spermanya. Kenapa pula harus menolak menjilat darahnya. Sedikit menjijikan sebenarnya. Tapi, serius Evan sebenarnya hanya menggoda Ara saja.

"Kamu selalu mengomel kepadaku. Mengatakan membenciku. Tapi, bahkan kamu masih terlihat nyaman berada diatas tubuhku." Evan menjeda dialognya. Menanti bagaimana reaksi Ara karena ucapannya. "Apa ini yang kamu sebut membenciku, Amara Violeta?"

Ara diam saja saat bibir Evan mengecup wajahnya. Tak bisa menjawab ucapan Evan. Karena walaupun dirinya mengumpat berkali-kali kepada Evan, tubuhnya selalu saja menolak berjarak dengan lelaki itu. Rasanya seperti magnet kutub selatan dan kutub utara ketika didekatkan. Selalu merekat dan enggan berpisah.

Evan mencium kedua mata Ara yang tadi berputar karena kesal dengannya. Wanita itu diam saja. Itu berarti, dia menerimanya. Bibir Evan mendarat diatas bibir ranum Ara. Membungkam bibir yang kerap sekali mengumpat dan mengomelinya.

Mengecup ringan dulu. Belum masuk tahap melumat. Evan hanya ingin melihat reaksi Ara. Wanita itu berekspresi seperti biasanya. Datar dan tampak tenang. Perlahan jemari Ara menyentuh pipi Evan.

Mengecup bibir lelaki itu lembut. Mengecup ringan berkali-kali hingga membuat Evan merasa seperti dicintai. Padahal tidak. Ara yang saat ini tengah menghujani wajahnya dengan ciuman bukan wanita yang mencintainya.

DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang