Aldric sudah kembali dari Kanada seminggu yang lalu. Jadi, hari ini lelaki itu sudah berkuliah seperti biasa. Begitu juga dengan Ara. Wanita itu sedang berada di kelas Marketing Communication.
Melirik ponselnya yang sangat amat sepi. Tak ada notifikasi masuk. Padahal dirinya menanti notifikasi dari Aldric. Menunggu lelaki itu mengirimnya pesan. Sejak tadi lelaki itu tidak mengiriminya pesan apapun. Membuatnya khawatir.
Tadi pagi mereka tak sempat bertemu. Bahkan pesan yang dikirim Aldric hanya sekedar mengucap selamat pagi saja. Setelah Ara menjawabnya, lelaki itu tidak menjawab lagi. Mau menelpon rasanya takut mengganggu. Bisa jadi Aldric sedang bimbingan dengan dosennya.
"Kelas telah usai. Saya duluan. Selamat siang." Bu Devi segera meninggalkan kelas. Satu persatu mahasiswa mulai bersiap juga untuk meninggalkan kelas.
"Ara, apa kamu mengerti apa yang dijelaskan Ibu Devi?" Ara menggeleng menjawab pertanyaan Hana, teman sekelasnya. "Apa kamu melamun sejak tadi?" Ara menyengir, memamerkan deretan giginya yang rapi. Hana menggeleng. "Aku harus bertanya kepada siapa?"
"Tanya saja kepada Alina. Barangkali dia bisa menjawab." Hana menghela nafas. "Alina itu pelit. Mana mau dia menjelaskan kepadaku." Ara menatap Hana prihatin. "Maafkan aku, Hana, aku tidak mendengarkan Bu Devi menjelaskan." Hana tersenyum. "Tidakpapa. Apa kamu sedang ada masalah?"
"Aldric tidak mengirimiku pesan." Hana menatap Ara kesal. Pasalnya temannya itu sungguh budak cinta sekali. Hanya perkara tidak dikirimi pesan, dia menjadi gila seperti ini. "Aku pikir ada sesuatu yang terjadi." Ara menggeleng. "Kami berjanjian bertemu setelah kelas. Tapi semalam, dia bilang mau bimbingan dulu dengan dosen. Dia akan mengabariku. Tapi, setelah aku tunggu dia juga belum mengabariku apa-apa."
"Tunggu saja. Aldric kan mahasiswa sibuk." Ara mengendikan bahunya. "Aku mau menghampiri saja ke fakultasnya," Hana mengendikan bahu. "Terserahmu saja." Setelahnya Hana berpamitan untuk pulang duluan. Kemudian setelah keluarnya Hana dari kelas. Ara segera pergi juga menuju fakultas tekhnik. Dimana dia bisa bertemu dengan Aldrico Mikail lebih mudah.
Ara melangkahkan kakinya menuju gedung sebelah. Matanya mencari keberadaan Aldrico Mikail. Barangkali lelaki itu berjalan melintas. Tapi, sepertinya tidak.
Seseorang menarik tangan Ara. Membuat Ara terkejut sekaligus bingung. Bukan Aldric. Lelaki itu tidak pernah menariknya tiba-tiba. Ini jelas orang lain. Siapa lagi jika bukan Evan Adinata.
Lelaki itu menarik Ara menuju gudang. Menghimpit wanita itu menghadap tembok. "Akh" Ara meringis ketika tubuhnya berhadapan dengan tembok. "Evan, lepas," Lelaki itu masih diam saja. "Apa kamu gila?" Evan masih diam saja.
Kedua tangan Ara dipegang erat oleh salah satu tangan lelaki itu. Rasanya susah sekali melepaskannya. Tenaga lelaki itu jelas lebih kuat darinya. Jantungnya berdegup kencang. Takut jika Evan akan menyakitinya. Dan yang lebih Ara takutkan adalah ada seseorang yang melihat mereka.
"I miss you, baby." Evan masih membuat tubuh Ara menghadap tembok. Yang itu berarti wanita itu membelakanginya. "Aku tahu. Tapi, tolong lepaskan aku dulu." Ucap Ara sedikit frustasi. Takut sekali jika ada yang melihat mereka.
Evan menyibak rambut Ara. Mengecup leher wanita itu dengan lembut. "Tenang, jarang sekali ada yang datang kemari." Bisik Evan tepat ditelinga Ara. Membuat wanita itu merinding.
Evan menyentuh leher Ara dengan bibirnya. Sengaja mengecup leher itu. Ara semakin panik ketika Evan menyentuh lehernya dengan bibir. Wanita itu berusaha menggerakan tubuhnya agar Evan kewalahan dan melepaskanya. Tapi, sayang sekali hal itu tidak seperti harapannya. Evan justru semakin keras menahan tangannya.
Tangan Evan yang lain menelusup masuk ke dalam dress yang Ara kenakan. Mengusap perut rata milik wanita itu. Sengaja melakukan agar perhatian wanita itu terbagi. Evan menginginkan sesuatu sebentar. Sebentar saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Different
RomansaAmara Violeta mencintai kekasihnya, Aldrico Mikail. Sangat mencintai lelaki itu. Hingga berpikir untuk meninggalkan saja tidak pernah. Lelaki itu terlampau baik untuk ditinggalkan. Membayangkan berpisah saja sudah membuat Ara bergidik ngeri. Hanya s...