Satu persatu berbagai macam bungkusan dibawa masuk ke dalam ruangan. Dua cincin emas menjadi pengikat ucapan janji suci di hadapan Tuhan yang akan segera dilontarkan. Selang infus, monitor pendeteksi jantung, bau obat-obatan menyengat menjadi dekorasi utama pernikahan mereka. Tidak ada namanya bunga-bunga ataupun gaun mewah, hal itu hanya menjadi angan semata. Cahaya sang surya tidak ketinggalan turut hadir menjadi saksi sejarah baru di mulai.
Tangan kedua pria itu saling menggenggam. Ucapan ijab kabul menggema di ruangan kedap suara ini. Senyum kebahagiaan sang nenek terulum melengkapi hari berharga sang cucu. Lega sudah, tugasnya selesai. Kata "sah" menandakan garis kebahagiaan segera terwujud.
Air mata haru, mengalir dikedua pipi yang tidak sekencang dulu lagi. Disepanjang do'a dipanjatkan untuk kedua mempelai, bersamaan dengan itu pula mata sayu sang nenek perlahan meredup lalu tertutup rapat.
"Sekarang nenek tenang meninggalkanmu sayang. Berbahagialah Kanaya....." Itulah ucapan terakhir tak bersua darinya.
"Aamiin." Ucap mereka selesai berdo'a.
Kanaya menatap neneknya yang telah menutup mata. Ia heran, alisnya saling bertautan saat pandangannya menatap monitor yang memperlihatkan garis lurus. Hatinya bagaikan tersayat belati tak kasat mata. Ia pun bangkit dan mendekati ranjang neneknya.
"Nek....nenek....nenek.... bangun nek... jangan mempermainkanku seperti ini.... nenek...jangan tinggalkan aku nek...... dokter... dokter....DOKTER!!" Teriakannya menggema. Melihat itu semua orang pun ikut khawatir dan terkejut.
Beberapa saat kemudian dokter datang memeriksa kondisi nenek Naura. "Beliau sudah meninggal." Ucapan pamungkas tepat mengenai sasaran. Air mata meluncur bebas kembali dikedua pipinya. Hati Kanaya bagaikan dikoyak oleh tangan tak kasat mata, melihat orang yang disayanginya sudah tidak bernyawa.
Ia harus kehilangan orang yang paling berharga dalam hidupnya, nenek Naura orang yang selama ini selalu berada di sampingnya. Dan sekarang beliau pergi untuk selamanya. Kanaya sangat kehilangan sosok orang yang paling mengerti akan hidupnya.
Kain putih menutupi wajah damai itu. Perlahan jenazah nenek Naura dibawa pulang untuk segera dimakamkan sesuai agama yang dianutnya.
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 30 menit, mereka tiba di kediaman ibu Kanaya, Jihan. Di sana nenek Naura dimandikan, dikafankan dan disalatkan. Kemudian jenazah pun dibawa ke pemakaman umat muslim di sana untuk segera di makamkan. Tangisan mengiringi pertemuan terakhir mereka.
Proses penguburan tengah belangsung, Kanaya tidak kuasa melihat sosok yang sudah tidak bernyawa itu masuk ke dalam liang lahat. Berkali-kali ia menghapus air mata mencoba tegar agar tidak memberatkan sang nenek. Namun, tetap saja hatinya seolah tercabik-cabik. Orang yang selama ini ada untuknya telah tiada. Ia merasakan tubuhnya lemas, kedua kakinya tidak bisa menopang berat badannya sendiri, hingga ia pun limbung. Dengan sigap Yoon gi yang kini telah berstatus sebagai suaminya menopangnya erat.
Kanaya, atau sekarang sudah berubah menjadi Min Kanaya hidupnya akan berubah setelah ini.
Penguburan berlangsung lancar, semua orang mulai membubarkan diri. Kanaya masih setia duduk di samping nisan sang nenek melihat ke sekitaran. Di sana ada kedua orang tuanya. Sehari sebelum pernikahannya terjadi papah kandungnya yang tinggal di Malaysia bergegas berangkat ke Korea Selatan bersama keluarga barunya. "Cih..." Kanya berdecih melihat kebersamaan dua keluarga itu.
"Nek, sekarang Kanaya tidak punya siapa-siapa lagi. Mamah, papah sudah bahagia bersama keluarga baru mereka. Nek, kenapa nenek pergi tanpa membawa Kanaya? Lebih baik aku ikut nenek saja..." Benaknya kembali menitikan air mata.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEAR Kanaya 「LENGKAP」Pindah ke Mangatoon/Noveltoon
Fiction généraleHarta, tahta, rupa tidak menjadikan hidup seorang Kanaya bahagia. Kehilangan kasih sayang sejak kecil menjadikannya harus tumbuh tanpa kehadiran kedua orang tua dalam hidupnya. Terjebak dalam lubang hitam bernama "Kesenangan duniawi". Kanaya pikir s...