Prolog

56.6K 2.4K 27
                                    

Lentera duduk di tepi jendela kaca pada salah satu kafe di Surabaya. Kafe tersebut bernuansa putih. Mulai dinding yang berkelir putih, meja dan kursi, serta beberapa perabotan lainnya. Ada lagu yang diputar lirih, Lentera sama sekali tak mengenal lagu tersebut. Ini baru kali pertama, tetapi cukup menghiburnya.

Jemari Lentera mengetuk-ketuk di permukaan meja, dengan mata sesekali melihat jam dinding dan ke arah pintu masuk. Lelaki yang ditunggunya belum juga datang, sedangkan cuaca di luar semakin menggelap.

Sejenak, Lentera melihat ke arah layar komputer jinjingnya yang menyala sedari tadi. Halaman Ms. Word belum tersentuh oleh tinta digital. Ia terlalu gelisah menunggu, lelaki yang mungkin akan menjadi suaminya kelak.

Tidak, dia tidak ingin lelaki itu hadir dalam hidupnya dan mengacaukan segalanya yang tengah dia bangun.

Lentera mengingat ucapan Luki tempo hari, "Bagus, kan, kautak perlu bekerja di HaloNona lagi sebagai bawahan. Kau bisa menjadi istri CEO."

Luki adalah rekan kerjanya, lelaki yang jago menulis mengenai perempuan. "Aku tidak ada rencana untuk pindah dari sini. Asal kau tahu saja, aku akan hidup dan mati di HaloNona."

Hujan turun di luar sana, sesuai prediksi Lentera beberapa menit yang lalu. Dia tidak membenci hujan, dia hanya tidak menyukainya, karena sering membuatnya kesusahan ketika harus berurusan dengan klien di luar kantor. Untuk hari ini, dia meminta izin pulang cepat, demi masa depannya.

"Sori, telat."

Lentera mengangkat wajah ke arah seseorang yang baru saja melewati pintu masuk dan berdiri di hadapannya. Hem, tidak. Lelaki itu langsung duduk di kursi seberang meja di depan Lentera.

Lelaki di hadapannya saat ini mengenakan kaus berwarna putih yang dibalut dengan jas berwarna hitam. Rambutnya acak-acakan, seperti baru saja bangun tidur. Penampilannya sungguh berbeda dari kali pertama mereka bertemu, seminggu yang lalu.

"Kau baru bangun tidur?"

"Hem. Ya," jawab lelaki itu. Ia beranjak dari kursi dan menuju bar memesan teh melati. Kemudian, dia kembali duduk di hadapan Lentera. "Lentera sedang bermasalah."

Lentera mengangkat alisnya, "Apa?"

"Lentera, nama kantorku," lelaki itu mengangkat bahu. "Ah, ya. Namamu Lentera, kebetulan sekali."

"Terserahlah. Yang jelas kau terlambat," ucap Lentera sinis. Dia tidak bersusah payah menyembunyikan kekesalannya.

"Aku sudah minta maaf. Oke?"

"Kau membuang waktuku, asal kautahu saja," balas Lentera enggan mengalah.

"Kau yang mengajak bertemu," timpal lelaki itu. "Oke, apa yang ingin kaubicarakan?"

Lentera menghela napas berat, kemudian mengeluarkannya. "Ah ya, aku ingin kita kerja sama." Lelaki itu mengangkat kedua alisnya, barista kafe datang menaruh cangkir teh ke depan lelaki itu. Lelaki itu berkata terima kasih dan meraih gagang cangkir teh di hadapannya.

"Kau harus berkata kepada keluargamu, kalau tidak ingin menikah denganku. Aku juga akan melakukan hal yang sama."

Lelaki itu menaruh kembali cangkirnya ke atas tatakan. "Tunggu dulu. Soal apa ini?"

"Tentu saja soal perjodohan kita. Apalagi?" sahut Lentera. "Aku sudah punya kekasih, asal kautahu."

"Ya, aku juga punya kekasih."

Wajah Lentera terlihat cerah, "Ah, bagus. Ini akan mulus, orang tua kita pasti mengerti dengan pilihan kita." Lentera menutup komputer jinjingnya, memasukkannya ke dalam ransel. "Oke, aku harus segera kembali bekerja." Ada beberapa artikel yang harus Lentera selesaikan.

"Tunggu dulu," sela lelaki itu. "Aku belum selesai bicara. Sepertinya kau salah paham."

"Apa?"

"Aku tidak berniat menolak perjodohan ini," ujar lelaki itu tenang. Ketenangannya membuat Lentera takut. Takut perjodohan ini akan berlanjut dan membuat dia kesulitan.

"Apa?" Lentera sedikit berteriak. "Kau punya kekasih." Dia tak habis pikir, bagaimana seorang lelaki begitu mudah beralih ke perempuan lain, apabila dia sudah memiliki kekasih? Lelaki itu bukan tipe lelaki setia. Lentera semakin yakin akan keputusannya.

"Lalu, kenapa?" tanya balik lelaki di depan Lentera. "Aku punya kekasih dan akan menikah denganmu. Apa ada yang salah?"

"Sinting," umpat Lentera. "Kenapa kau harus menikahiku?" Lentera sudah kehilangan kesabaran. Tandanya, dia mulai mengumpat tak kenal tempat. Bahkan, lelaki itu baru saja dikenalnya.

Lelaki bernama Gilang itu kembali meraih cangkir tehnya, menyesapnya perlahan, menaruh kembali cangkir teh ke atas tatakan. Dia mengangkat kedua bahunya dan tersenyum.

"Katakanlah, jatuh cinta pada pandangan pertama?"

Detik itu juga Lentera disergap ketakutan bahwa kehidupannya tak akan pernah lagi sama.

Before Wedding [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang