BAB 5: Secangkir Kopi Tak Bertuan

14.7K 1.3K 43
                                    

Gilang terbangun pukul enam pagi waktu Bandung, saat Lentera masih tertidur pulas. Perempuan itu tertidur di atas lengannya, terlihat tenang. Kedua matanya terkatup rapat, bibirnya sedikit terbuka. Sesekali, Lentera menggerakkan kepalanya, mencari posisi yang nyaman. Gilang tersenyum kecil, mengusap rambut perempuan itu dengan lembut. Lalu, ia melepaskan tangannya secara perlahan dari kepala Lentera. Ia takut akan membangunkan perempuan itu.

Sejujurnya, Gilang tidak mengharapkan hal lebih semalam, tetapi ternyata dia tidak bisa menguasai diri dan beruntungnya, Lentera pun menginginkan hal yang sama. Gilang hanya ingin mencium perempuan itu, menikmati sedikit bibirnya yang membuat ia kesulitan tidur. Gilang sudah tertarik dengan perempuan itu sejak kali pertama bertemu.

Apa yang dikatakan Gilang kepada Lentera, tidak sepenuhnya bohong.

Lelaki itu mengenakan celananya, mengambil air mineral dan meneguknya secara kasar. Dia kembali melihat ke arah Lentera sekilas, kemudian memasukkan air mineral ke heater dan menyalakannya. Sembari menunggu air itu mendidih, Gilang mengecek ponselnya.

Ada pesan dari Ers, perempuan itu menanyakan keberadaannya semalam. Nampaknya, Ers tertarik padanya. Namun, seperti yang dia lakukan pada perempuan-perempuan lainnya, Gilang tidak mempedulikannya.

Dia pun mengecek surel, membaca beberapa lampiran berkas yang dikirimkan Dion kepadanya. Gilang meletakkan ponselnya di atas nakas, mengambil dua cangkir kosong dan mengisi salah satunya dengan bubuk kopi dan satunya teh. Bertemu beberapa kali dengan Lentera, dia mengetahui kalau perempuan itu menyukai kopi. Maka, dia membuatkan kopi untuk Lentera.

Gilang menghabiskan teh buatannya sendiri, masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Lalu, dia berpakaian, mencari secarik kertas di atas meja. Dia pun melihat buku berwarna coklat milik Lentera tempo hari. Gilang tersenyum. Dia mengambil buku itu, menyobek satu kertas dari dalamnya dan menuliskan beberapa kalimat di atasnya.

Lelaki itu meletakkan secangkir kopi pada nakas di dekat ranjang Lentera dan dia pergi begitu saja.

***

Kehangatan sinar matahari di Bandung, menerpa wajah Lentera. Semestinya, dengan cuaca seperti ini dia akan menikmatinya. Kalau saja dia tidak merasakan sakit di sekujur tubuhnya. Ah, bukan sakit, sekadar pegal-pegal saja. Lentera membuka matanya, hal pertama yang dia lihat sebuah cangkir di dekat ranjangnya. Dia mengenalinya sebagai secangkir kopi. Lentera tahu betul dari aromanya.

Napasnya teratur, berkali-kali ia meyakinkan diri bahwa semalam tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, keberadaan cangkir tak bertuan yang ia lihat saat ini, membuyarkan semuanya. Semalam, terjadi sesuatu. Tak mungkin Lentera tengah malam bangun sekadar membuat kopi, tanpa ia minum. Cangkir dengan kopi dari hotel itu sebagai bukti bahwa semalam ada seseorang yang berada di kamarnya, kemudian pergi ketika pagi menyapa.

Lentera mendesah.

Lentera mendesah lagi.

Lentera mendesah lagi dan lagi.

"Sinting!" umpatnya.

Lentera mengangkat tubuhnya yang hanya tertutupi oleh selimut. Dia menekan kedua tangannya ke sela-sela rambutnya yang terurai. Dia merutuk dirinya sendiri atas apa yang terjadi semalam. Kenapa dia tidak bisa mengontrol diri? Hanya karena sebelumnya, dia melihat dada bidang Gilang.

Lentera mendesah. Dia menyibakkan rambutnya, melihat ke arah kopi di atas nakas dekat ranjangnya. Dia melihat ke sekeliling, lelaki itu sudah tak ada di kamarnya. Lentera melihat tumpukkan pakaiannya terlipat rapi di atas meja. Dia menurunkan kakinya dari ranjang, menyentuh lantai yang dingin. Meraih cangkir kopi, mencicipinya.

"Dingin," lirihnya. Gilang pasti membuat kopi ini untuknya. Dia melihat secarik kertas di bawah cangkir kopinya.

Aku pulang ke Surabaya

Before Wedding [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang