Namaku Nadira, aku hanya tinggal berdua saja dengan Ibu yang sudah lama menjanda karena bercerai. Untuk menopang kebutuhan hidup sehari-hari, Ibu menjadi buruh cuci dan setrika. Sementara aku bekerja di salah satu restoran ternama di ibukota provinsi.
Sudah setahun lebih aku menjalin hubungan dengan sosok pria yang dikenal lewat sosmed. Willy namanya, dia bekerja sebagai ASN di salah satu instansi pemerintah. Kami biasa bertemu di hari Minggu, namun selalu di luar. Willy tidak pernah mengajakku ke rumahnya dengan alasan takut timbul fitnah karena Willy hanya tinggal seorang diri di rumahnya.
Willy berjanji akan segera melamar dan menikah segera denganku setelah urusan pekerjaan orang tuanya selesai yaitu membuka usaha toko pakaian di kota lain.
Ting!
Notifikasi ponsel milikku berbunyi, terlihat ada pesan dari nomor tak dikenal.
'Tolong mbak, jauhi suami saya Willy.'
'Ini siapa?'
'Saya istrinya Willy, kami menikah sudah empat tahun dan punya satu anak.'
Mendadak hatiku hancur membaca SMS yang dikirim lewat pesan WA. Bulir-bulir air mata jatuh ke pipi, dengan menahan emosi aku kembali mengetikkan pesan balasan.
'Apa buktinya jika kamu istrinya Willy?'
Pesan sudah tercentang dua pertanda sudah dibaca namun belum ada balasan apapun. Mungkinkah orang ini hanya iseng, karena tidak bisa mengirim bukti yang aku minta. Hampir setengah jam aku menunggu balasan dan pesan kembali masuk ke ponsel.
Aku menarik napas dan menghembuskan napas secara perlahan untuk menenangkan diri. Ponsel yang tergeletak di meja samping ranjang kembali berbunyi, beberapa kali. Mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya pekerjaan orang iseng, aku buka pesan tersebut.
Serasa tersambar petir melihat foto Willy yang mengenakan pakaian jas lengkap dan seorang wanita memakai pakaian berwarna kuning keemasan dengan hijab di pelaminan. Banyak foto-foto yang dikirimkan wanita itu termasuk foto bersama anak mereka yang masih kecil. Seorang anak perempuan berkepang dua dengan umur kutaksir sekitar tiga tahun.
'Saya mohon mbak jauhi suami saya dan jangan merusak rumah tangga kami.'
'Baik mbak, saya tidak akan berhubungan lagi dengan suami mbak. Saya disini korban mbak karena suami mbak mengaku bujangan.'
Aku langsung memblokir nomor tersebut dan tidak lupa nomor Willy. Itu cara terbaik untuk menjauh dari kehidupan rumah tangga mereka. Sengaja aku tidak menghubungi Willy karena dia tidak akan mau mengakui statusnya yang menjadi suami orang.
Dulu ibu juga adalah korban lelaki seperti Willy, mengaku bujangan namun ternyata sudah menikah. Istri pertama Ayah datang melabrak Ibu dan mencaci maki. Ibu sangat malu dan juga marah karena Ayah memalsukannya identitas sehingga bisa menikah resmi dengan Ibu di KUA. Saat itu Ayah beralasan ingin berpoligami karena tidak memiliki anak.
Semenjak kejadian itu, Ibu mengurus perceraian dengan Ayah lalu membawaku pergi. Berkali-kali Ayah mengajak Ibu untuk rujuk namun Ibu sudah terlanjur sakit hati atas perlakuan Ayah ditambah teror istri pertama Ayah. Ayah akhirnya menyerah dan semenjak itu tidak pernah lagi datang kembali ke rumah.
Dengan status janda anak satu, Ibu berusaha membesarkan aku seorang diri. Sebenarnya Ayah kaya raya, tapi Ibu tidak ingin meminta harta gono gini. Ibu berkata bahwa dulu menikah dengan Ayah karena didasari oleh cinta tapi kemudian cinta itu sudah di nodai dengan pengkhianatan.
Jadilah kami begini hidup pas-pasan dan bekerja keras. Pernah aku bertanya kepada Ibu jika seandainya menikah apakah Ayah akan bersedia menjadi wali nikahku. Tapi Ibu hanya diam dan mengingatkan aku bahwa Ayah sudah pergi jauh dari Indonesia jadi tidak mungkin meminta Ayah menjadi wali nikah di hari pernikahanku kelak.
*****
Sudah satu bulan aku tidak mendengar kabar dari Willy semenjak memblokir no ponselnya. Aku berharap rumah tangganya baik-baik saja. Hari ini restoran sangat penuh dengan pengunjung, aku berkali-kali bolak balik mendatangi satu persatu meja untuk menanyakan menu yang ingin mereka pesan.
Bahkan aku sampai lembur hingga malam hari meski sudah saatnya pergantian shift. Tapi manajer meminta aku tidak pulang dan akan memberi uang lembur. Sudah menjadi kebiasaan bagi kami para karyawan yang diperbolehkan membawa sisa makanan restoran untuk dibawa pulang. Ibu pasti sangat senang karena bisa makan ayam bakar kesukaannya.
Ketika baru saja keluar dari restoran sebuah tangan menarik lenganku. Aku terkejut karena Willy tiba-tiba ada di tempat ini.
"Kamu!" Refleks aku melepaskan tangan.
"Kenapa kamu blokir tlpku?" Willy bertanya dengan ekspresi marah.
"Ayo ikut aku, kita bicara di taman depan."
Sengaja aku membawa Willy pergi karena tidak ingin menjadi pusat perhatian para karyawan dan orang-orang yang berada di luar restoran. Aku langsung duduk di bangku yang tersedia di taman diikuti oleh Willy.
"Jelaskan kenapa kamu menghindar dariku!"
"Seharusnya kamu tahu sendiri bahwa itu sudah jalan yang terbaik bagi hubungan kita."
"Aku tahu, kamu pasti marah karena aku belum bisa menepati janji untuk melamar dan menikah dengan mu."
"Lalu?"
"Aku akan menikah denganmu tapi hanya nikah siri, karena orang tuaku belum bisa pulang."
Aku mendengus kesal, sudah jelas dia berbohong untuk menutupi kesalahannya.
"Maaf, kalau nikah siri aku tidak mau. Lagipula aku juga tidak ingin merusak rumah tangga mu."
"A-apa! Siapa yang bilang?" Willy terkejut mendengar perkataan ku.
"Dari siapa, kamu tidak perlu tahu. Lebih baik kamu urus istri dan anakmu di rumah."
"Itu tidak benar! Aku masih bujang belum memiliki istri dan anak."
"Apa perlu ku tunjukkan foto pernikahanmu? Biar otakmu langsung ingat lagi."
Willy terdiam mendengar ucapan ku, seakan otaknya bekerja lebih keras untuk membantah kebenaran ini.
"Baiklah, aku akui bahwa memang aku sudah menikah. Tapi istriku bukanlah perempuan yang baik. Dia hanya bisa menghabiskan uang dan tidak pernah perhatian terhadap ku."
"Aku tidak mau tahu masalah rumah tanggamu. Kamu adalah kepala keluarga, selesaikan sendiri. Kalau tidak betah silahkan pulangkan istrimu baik-baik ke orang tuanya."
"Mana mungkin aku pulangkan ke orang tuanya, selama ini aku bertahan hanya demi anak."
"Itu masalahmu sendiri. Maaf, aku mau pulang."
"Nadira...."
Aku segera bergegas menyetop angkot dan langsung masuk tanpa menghiraukan panggilan Willy.
KAMU SEDANG MEMBACA
RODA KEHIDUPAN
RomanceTiada yang tahu bagaimana kehidupan akan terus berjalan. Mungkin sekarang hidupmu di bawah tapi esok mungkin hidupmu ada di atas. Nadira yang dirawat oleh Ibu sedari kecil, hidup dalam kemiskinan kemudian setelah belasan tahun akhirnya mengetahui fa...