Bagian 8 : Irma

224 7 1
                                    

Tok tok tok !

"Masuk!"

"Ibu Ellisa memanggil saya?"

"Ya, duduklah." Perintahku serius sambil menatap laptop.

"Ada masalah soal laporan kemarin?" Tanya Irma setelah duduk di hadapanku.

Aku menggeleng, "Ada hubungan apa kamu dengan Tuan Willy, salah satu tamu hotel kita?"

Irma terkejut dan mendadak pucat mendengar pertanyaanku, aku mengamati gerak-gerik Irma yang mulai keluar keringat dingin sementara ruang kerja ini terpasang AC.

"Apa kamu tahu Tuan Willy sudah memiliki istri?" Tanyaku kembali.

Bukannya menjawab pertanyaan ku, Irma hanya diam dan menunduk. Membuat emosiku makin bergejolak. Dari rekaman CCTV terpantau Irma dan Willy diam-diam membooking kamar hotel lain saat Indah sedang pergi keluar.

"Jawab!"

"I-iya Bu, saya memang menjalin hubungan dengan Tuan Willy. Tapi Tuan Willy tidak bahagia dengan pernikahannya."

"Sudah berapa lama?"

"Baru beberapa hari ini."

Aku menghela nafas panjang, baru beberapa hari disini ternyata Willy kembali mendapatkan mangsanya sementara aku masih belum tahu rencana apa yang harus aku lakukan untuk membalas dendam.

"Dan kau ingin jadi pelakor?" Tanyaku kembali.

"Aku rela menjadi yang kedua, bukankah poligami diperbolehkan?"

"Baiklah, kau dipecat. Aku tidak ingin citra hotel rusak karenamu. Terlebih lagi aku juga tidak mau terlibat urusan pribadimu."

"A-apa? Di pecat?"

Aku mengambil amplop berisi uang pesangon yang sudah kusiapkan di dalam laci meja kerjaku.

"Ambillah, ini gaji dan uang pesangon untukmu. Carilah pekerjaan di tempat lain, aku tidak ingin nanti punya masalah dengan istri Tuan Willy."

Irma tertunduk sambil gemetar tangannya mengambil amplop yang kuserahkan.

"Baik, Bu. Terima kasih sudah memberikan kesempatan pekerjaan terhadap saya di hotel ini. Saya pamit undur diri dan mohon maaf atas segala kesalahan yang saya perbuat."

*****


Tak terasa jam di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 10.00 malam, semenjak aku memecat Irma tadi pagi maka semua pekerjaannya terpaksa aku yang melakukan seraya mencari pegawai baru untuk menggantikan posisi Irma. Sudah beberapa hari ini tiada kabar dari Herman semenjak kepergiannya ke luar kota untuk mengurus bisnisnya yang lain. Aku langsung berjalan keluar ruang kerja menuju lobby hotel sambil menunggu supir yang menjemput.

Sebenarnya aku kasihan dengan Irma, tapi reputasi hotel akan tercemar jika aku tetap mempertahankan Irma bekerja disini. Aku tahu betul bagaimana watak istri Willy, dia pasti akan punya alasan untuk mempermalukan aku lagi.

"Nadira."

Aku terkejut mendengar nama tersebut, dari balik pantulan kaca jendela terlihat Willy yang berada di belakangku. Namun aku tetap tidak berpaling dan berusaha tidak menunjukkan ekspresi karena aku sekarang bukanlah Nadira lagi tapi Ellisa.

"Nadira, kau sekarang cantik." Ucapnya seraya langsung duduk di hadapanku.

"Maaf, silahkan cari tempat duduk lain. Anda salah mengenali orang!" Jawabku dengan ketus.

"Nadira.....maafkan pertemuan terakhir kali kita dulu yang membuatmu sakit hati."

"Saya bukan Nadira, tapi Ellisa pemilik hotel ini!"

Willy terkejut mendengar jawabanku, namun kemudian tertawa ringan.

"Aku hapal wajahmu, kamu Nadira dan kamu tidak mungkin bisa memiliki hotel mewah seperti ini."

"Oh, ya?"

Aku melambai kepada security di depan pintu hotel. Segera security tersebut mendatangiku di meja.

"Maaf Bu Ellisa ada apa ya?"tanya security dengan ramah.

"Dia tidak percaya aku pemilik hotel ini?" Aku menunjuk Willy di hadapanku yang mulai salah tingkah setelah security tersebut menyebut namaku.

"Ibu Ellisa adalah pemilik hotel ini dan cabang hotelnya ada di berbagai kota Indonesia."

"Maaf, sepertinya saya memang salah orang." Jawab Willy.

"Kelihatannya supir Ibu sudah datang menjemput. Mari Bu biar saya bantu bawakan tas Ibu." Kata security.

Aku berdiri dan menyerahkan tas berisi dokumen-dokumen penting yang akan ku bawa pulang ke rumah. Meninggalkan Willy di tempat yang hanya bengong melihatku pergi sambil didampingi security. Saat mobil akan berjalan, Indah yang baru saja tiba di hotel sehabis berjalan-jalan terlihat duduk di hadapan Willy. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tidak mau memikirkannya.

Mobil terus melaju sementara pikiranku masih terpusat pada Irma. Aku mengecek ponsel yang berbunyi, terlihat chat online dari ponsel Willy yang terus melakukan chatting dengan nomor WhatsApp Irma.

[Wil, aku dipecat.]

[Yang sabar say, nanti setelah kamu jadi istriku maka kamu nggak perlu kerja lagi]

[Istrimu bagaimana?]

[Nggak usah dipikirkan, aku akan adil terhadap kalian berdua. Nanti kamu kubawa ke Samarinda setelah kita nikah]

[Besok ketemuan yuk, sekalian temani aku belanja ya?]

[Iya sayang, besok siang aku bolos dari pelatihan demi kamu. Jam 08.00 kita ketemu di kafe ya?]

[Oke, malam sayangku]

[Malam juga say]

Keningku berkerut membaca pesan-pesan dari Willy dan Irma. Terpikir sebuah ide bagus untuk menjahili mereka berdua. Mobil berhenti di halaman rumah dan supir membantu membawakan tas ke kamar.

Di rumah mewah ini aku jarang sekali bisa bertemu bahkan berbicara dengan kakek karena kesibukan dari kami masing-masing. Aku melewati kamar kakek yang tertutup rapat dan mengetuk pintu, namun tidak ada jawaban dari dalam.

"Maaf Non, Tuan tadi mendadak keluar kota karena ada rapat kerja." Jawab pelayan yang kebetulan lewat di belakangku.

"Sampai berapa hari?"

"Mungkin 2-3 hari."

"Tolong buatkan saya teh panas ya untuk dikamar."

"Baik, Non."

Aku lanjut berjalan dan memasuki kamar, segera membersihkan diri dan berganti pakaian dengan pakaian tidur. Segelas teh panas sudah tersaji di meja kamarku saat aku keluar kamar mandi. Aku menghirup teh panas seraya melihat pemandangan malam dari kaca jendela kamar.

Segera aku teringat akan rencana ku sebelumnya. Aku mengambil ponsel satunya yang sudah ku isi dengan nomor baru. Lalu mengetik pesan ke nomor Indah yang sudah berhasil ku dapatkan dari menyadap ponsel Willy. Pesan antara Willy dan Irma yang sudah aku screenshot, aku kirimkan ke nomor ponsel Indah.

[Siapa ini?]

[Tidak perlu tahu aku siapa, perhatikan saja suamimu]

Aku langsung mematikan ponsel agar Indah tidak bisa menghubungiku dan berbaring di ranjang, membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya antara Indah dan Willy.

RODA KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang