Bagian 5 : Luka Baru

175 8 0
                                    

Seperti  biasa hari ini aku pergi bekerja di restoran, namun baru saja tiba Pak Arif manajer restoran memanggil ke ruangannya. Di dalam ruangan aku terkejut karena ada Indah sedang duduk bersama seorang wanita yang lebih tua. Wanita tersebut menatapku dengan tatapan tidak senang sambil menggengam tangan Indah.

"Silahkan duduk, Nadira." Pak Arif mempersilahkan aku duduk di kursi tamu.

"Oh, jadi ini Nadira yang mau merusak rumah tangga anakku Willy?"

Aku hanya diam dan menunduk pasrah, sementara Pak Arif menatapku tajam.

"Nadira, kamu saya panggil kesini untuk memberi tahu bahwa mulai saat ini kamu saya pecat dan ini uang gajimu untuk bulan ini tetap saya bayar penuh." Pak Arif menyerahkan amplop ke tanganku.

"Apa, Pak? Saya dipecat?"

"Saya dan Ibu ingin bicara secara pribadi dengan Nadira." Indah menyela pembicaraan.

"Baik, saya keluar dulu. Silahkan kalian selesaikan masalah ini tanpa membuat keributan." Kata Pak Arif sambil melangkah keluar dan menutup pintu.

"Ini, uang seratus juta rupiah dan beberapa lembar cek, jika kurang kamu bisa isi sendiri berapa nominal uang yang kamu inginkan. Saya tahu bahwa kamu mendekati suami saya karena butuh uang." Indah mengeluarkan bungkusan kertas besar dari dalam tasnya.

"Dengar ya, gadis miskin. Walaupun kamu benar-benar mencintai Willy sekalipun saya tidak akan pernah merestui hubungan kalian. Karena kamu tidak sederajat bersanding dengan anakku yang PNS! Apalagi Ibumu hanya tukang cuci pakaian dan setrika."

Aku mengepal tanganku, harga diri kami direndahkan hanya karena miskin. Bukan hanya Tante yang menghina kami tapi juga mereka yang sekarang duduk di ruangan ini. Willy telah berbohong dan menghancurkan hidupku. Sekuat tenaga aku berusaha menahan tetesan air mata di depan mereka.

"Jika kamu ingin uang ini, silahkan tulis pernyataan di kertas ini untuk menjauh dari Willy selamanya. Jika melanggar maka kamu bersedia dituntut secara hukum." Indah memberikan kertas dan pulpen untukku, dibawah sudah ada materai yang di tempel.

Aku tidak ingin memperpanjang masalah dan Pak Arif juga sudah memperingatkan untuk tidak membuat keributan, akhirnya aku menulis surat pernyataan untuk menjauh dari Willy. Selesai membuat surat tersebut, aku langsung berdiri dan berlari keluar restoran tanpa mengambil uang yang diberikan oleh Indah. Tidak aku hiraukan teriakan dari Indah dan Ibu Willy.

Air mata yang aku tahan akhirnya tumpah ruah, membuat orang-orang di luar menjadi heran. Aku berlari menuju taman terakhir kali ketika bertemu dengan Willy. Dulu taman ini juga adalah tempat pertemuan kami yang pertama kali, ketika aku sedang duduk sejenak dan Willy datang mengajak berkenalan.

Entah bagaimana nanti di rumah aku menjelaskan kepada Ibu mengetahui anaknya satu-satunya tidak bekerja lagi. Tidak ada lagi sisa makanan yang bisa aku bawa pulang untuk menghemat pengeluaran belanja Ibu.

Sengaja aku tidak mengambil uang yang ditawarkan Indah, cukup gaji yang diberikan Pak Arif saja yang aku terima. Jika aku mengambil uang yang ditawarkan Indah maka sama halnya aku merendahkan diri dihadapannya. Aku duduk di pinggir taman, sambil menikmati aktivitas di sungai Mahakam.

Angin sepoi-sepoi menyapu permukaan wajahku hingga air mata mengering. Seakan alam pun ingin menghibur hati yang sedih. Aku tersenyum setelah puas merenung di taman ini. Bukankah aku sudah memutuskan Willy, jadi untuk apa aku menangisinya.

Menjelang sore, aku pulang ke rumah namun ketika melewati rumah Pak RT tidak nampak Ibu-ibu yang biasa bergosip di teras. Entah kenapa firasatku mulai tidak enak, seakan ada hal yang terjadi. Tiba di rumah ternyata suasana sangat ramai, ibu-ibu yang biasa berkumpul di teras Pak RT ternyata berkumpul di rumah Ibu.

"Itu Nadira datang!" Teriak Ibu Yayuk.

"Nadira, cepat ke kamar temui Ibumu." Perintah Ibu RT.

Aku langsung menuju ke dalam kamar dan melihat Ibu yang sedang terbaring kesakitan.

"Nad, apa betul kamu jadi pelakor?" Tanya Ibu sambil berbisik agar tidak didengar Ibu-ibu di ruang tengah.

"Tidak Bu, Nadira ditipu. Dia mengaku bujangan sama Nadira."

Aku menceritakan semua kejadian sebenarnya dari awal hingga kemudian kejadian barusan di restoran.

"Ibu percaya sama kamu. Tadi dua orang wanita kesini cari kamu, dan mengatakan kamu pelakor. Ibu langsung mengusir mereka pergi dibantu Ibu RT dan ibu-ibu yang lain. Kemudian Ibu pingsan karena dada Ibu sakit."

"Kita ke dokter ya, Bu."

Ibu menggeleng lemah dan melanjutkan perkataannya.

"Ada lagi seseorang yang ingin bertemu denganmu. Dia ada didekat pintu, temuilah dan bicara dengannya. Ibu minta agar kamu menurut kepadanya, ini permintaan terakhir dari Ibu."

Aku menoleh ke arah pintu kamar, seorang pria tua berkacamata minus dan berambut putih berkisar usia 70 ke atas. Mengenakan setelan jas dipadu kemeja berwarna abu-abu. Pria tersebut memandangku dengan tatapan haru dan meneteskan air mata.

"Siapa dia, Bu?" Aku berbalik menatap Ibu namun tidak ada jawaban.

"Ibu...."

Aku memperhatikan dada Ibu yang tidak lagi naik turun karena bernapas. Kemudian aku tersadar bahwa ternyata Ibu sudah pergi meninggalkan aku seorang diri, lututku langsung lemas terkulai dan ambruk. Samar-samar aku mendengar suara pria tua tersebut memanggil lalu aku kehilangan kesadaran.

*****

"Ikhlaskan-lah kepergian Ibumu." Pria tua tersebut menggenggam tanganku ketika berdiri di kuburan Ibu.

Para pelayat sudah pulang satu persatu meninggalkan kami berdua. Aku mengingat pesan Ibu untuk menuruti perkataan pria tersebut yang ternyata adalah kakekku, ayah dari ayahku sendiri.

Kakek mengajakku pulang ke rumahnya di Bali, meninggalkan rumah tempat kenanganku bersama Ibu sedari aku kecil. Rumah yang kami tinggali sebenarnya bukanlah rumah Ibu tapi milik teman Ibu yang meminta Ibu untuk merawat rumah tersebut. Saat itu Ibu tidak tahu harus tinggal dimana karena sudah tidak diterima oleh keluarganya sendiri akibat bercerai dan malu akan status Ibu yang janda. Teman Ibu semasa SMU berbaik hati mengizinkan kami tinggal di rumah tersebut. Sekarang Ibu sudah tiada dan aku mengembalikan kunci rumah tersebut serta mengucapkan terima kasih.

Banyak hal yang sebenarnya ingin aku tanyakan kepada kakek terutama sosok Ayah, apakah dia masih hidup atau tidak. Lalu bagaimana dengan istri pertama Ayah, apakah Ayah juga telah memiliki anak dari istri pertamanya. Berbagai pikiran berkecamuk di dalam hatiku, namun kematian Ibu mengurungkan niat untuk mencari tahu sosok Ayah.

Sekarang aku disini sedang berada di pesawat jet pribadi milik kakek, menatap lurus ke bawah melalui kaca jendela untuk menyaksikan kota tempat tinggalku terakhir kali. Meninggalkan semua kenangan pahit yang aku alami selama ini.

RODA KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang