Bagian 7 : Permainan Dimulai

153 7 0
                                    

Suasana hotel hari ini sangat ramai, rombongan para PNS secara satu persatu datang mendaftar dan segera melakukan check in untuk mendapatkan kamar. Aku hanya memperhatikan mereka dari restoran sembari makan siang. Orang yang ku tunggu sejak lama belum juga menampakkan diri di hadapanku. Aku melihat jam tangan dengan gelisah karena batas check in mereka adalah sore nanti.

Permainan yang sudah aku susun sejak lama untuk menyambut kedatangan Willy hari ini sudah dibuat. Aku tidak ingin perjuanganku sia-sia karena ketidakhadiran-nya. Beberapa notifikasi SMS terus masuk ke ponsel dari klien yang meminta persetujuan untuk investasi di perusahaan lainnya, namun pikiran ku tidak bisa fokus untuk membahas pekerjaan.

"Maaf Bu Ellisa, ini ada surat yang belum ditandatangani?"

Irma datang dan membuatku terkejut atas kedatangannya. Segera aku meraih pulpen dan menandatangani surat untuk berkas laporan keuangan.

"Lain kali sebelum diambil diperiksa dulu!" Ucapku ketus seraya menyerahkan berkas laporan.

"Maaf Bu lain kali akan saya perhatikan. Saya pergi dulu ke ruangan kerja."

"Ya."

Aku sedikit kesal dengan Irma karena konsentrasi ku mencari Willy menjadi buyar untuk sementara. Hari sudah hampir malam dan aku masih duduk bersantai di restoran. Ruang lobi mulai terlihat sepi, EO yang menangani pendaftaran para PNS yang baru datang terlihat mulai beranjak pergi. Aku menghirup napas panjang dan menghembuskannya untuk mengurangi rasa kesal dan sakit di dada. Otakku berusaha berpikir keras kenapa Willy tidak datang mengikuti pelatihan kariernya.

Aku berdiri meninggalkan restoran lalu berjalan ke arah lift untuk menuju ruang kerja. Baru saja lift terbuka, sosok Willy muncul dari dalam lift sambil menggandeng istrinya Indah.

"Nadira!" Ucap Willy dan Indah bersamaan dengan ekspresi terkejut.

"Permisi saya mau masuk!"

Indah dengan ekspresi geram langsung menarik tangan Willy keluar dari lift sementara aku berpura-pura cuek dan masuk ke dalam lift. Willy terus menatap wajahku karena perubahan penampilan ku. Pintu lift tertutup dan aku tersenyum karena rencana pembalasan akan segera dijalankan.

Pintu lift tak lama terbuka dan segera aku masuk ke ruang kerja lalu menyalakan laptop. Seminggu yang lalu aku sudah memasang CCTV berikut perekam suara yang tersembunyi di balik meja kamar yang akan ditempati Willy. Aku mengecek rekaman CCTV beberapa jam yang lalu, disitu terlihat Willy dan Indah yang masuk ke dalam kamar.

"Seharusnya mama nggak usah ikut, papa disini nggak macam-macam. Lihat sendiri kan kalau papa disini dalam rangka pekerjaan!"

"Jangan dikira mama lupa, sebulan yang lalu pun papa kepergok jalan dengan janda tetangga kita."

"Papa cuma nganterin saja ke rumah sakit."

"Nggak usah banyak alasan!" Indah masuk ke dalam kamar mandi sementara Willy langsung sibuk dengan ponselnya.

Aku menggeleng tak percaya karena sampai saat ini Willy belum juga berubah. Willy nampak senyum-senyum sendiri sambil mengetik sebuah pesan di ponselnya. Kamera CCTV ku arahkan dan ku perbesar untuk melihat pesan tersebut namun kemudian terhalang oleh badan Willy.

"Ah, sial!"

Rekaman CCTV ku percepat sampai akhirnya Willy dan Indah keluar dari kamarnya. Aku melihat ponsel Willy tergeletak di ranjang karena lupa membawanya. Segera aku cek ruang lobi lewat CCTV yang juga terhubung melalui laptopku dan ternyata Willy dan Indah masih menikmati makan malamnya.

Aku berjalan untuk mengunci pintu ruang kerjaku lalu menghampiri rak buku yang berada di belakang meja kerja. Seutas tali buku aku tarik lalu pintu terbuka. Ruang kerjaku memang dirancang terhubung dengan kamar tidur dan kamar tidur inilah yang ditempati oleh Willy dan Indah tanpa mereka ketahui bahwa ada pintu rahasia di balik dinding.

Segera aku raih ponsel Willy dan memasang aplikasi untuk menyadap. Butuh beberapa menit waktu untuk menyelesaikan penginstalan, sementara diluar terdengar suara langkah kaki yang mulai mendekat. Aku menatap cemas arah pintu kamar, terlihat sepatu hitam berdiri di belakang pintu.

"Cepatlah...." Sementara penginstalan masih menunjukkan angka 92 %.

Terdengar suara kunci kamar yang akan dibuka, bersamaan dengan itu download aplikasi selesai. Aku langsung mengunci pintu kamar dari dalam, namun sepatu itu tidak lagi terlihat. Aku mengintip dari kaca kecil di balik pintu kamar, terlihat seorang lelaki yang ternyata berjalan ke arah kamar di sebelahnya.

Aku merasa lega karena bukan Willy yang datang, segera ku daftarkan email beserta password ke aplikasi. Untunglah aplikasi ini bisa disembunyikan sehingga tidak akan ketahuan oleh Willy.

Tak ingin mengambil resiko dengan berdiam lebih lama, aku langsung menaruh ponsel Willy di atas meja dengan posisi terbalik, dan segera menutup pintu rahasia untuk kembali ke ruang kerjaku.

Aku mengecek email yang sudah aku daftarkan, terlihat banyak sekali panggilan telepon, SMS serta chat online melalui media sosial yang rata-rata ditujukan kepada nama kontak pria namun isinya banyak rayuan seperti seorang kekasih. Mataku terpaku pada chat online aplikasi WhatsApp yang terakhir kali, rasa-rasanya aku mengenali nomor tersebut karena seringkali menghubungi nomor tersebut. Segera aku mengambil ponsel dan mengecek nomor tersebut.

"Astaga!" Aku terkejut mengetahui siapa yang baru saja akan menjadi korban Willy selanjutnya.

*****

Keesokan harinya aku memanggil Irma ke ruang kerjaku, ada yang ingin kukatakan kepadanya.

Tok tok tok

"Masuk." Ucapku sambil duduk menghadap jendela mengamati kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.

"Ibu Ellisa memanggil saya?"

Aku berbalik memutar kursi dan menatapnya yang sedang berdiri di hadapanku.

"Duduklah. Ada yang ingin ku bicarakan secara pribadi."

Aku melangkah menuju pintu dan menguncinya. Irma yang melihatku terlihat cemas, mungkin dia berpikir aku akan membahas soal laporan kemarin siang. Lalu aku kembali duduk di kursi dan menatap Irma.

"Ada apa ya Bu? Apa saya sudah membuat kesalahan?"

"Kemungkinan besar iya tapi belum terlambat untuk memperbaiki semuanya?"

Aku menatap tajam ke arah Irma yang menjadi cemas. Namun otak ku kembali berpikir, apa aku harus melibatkan Irma ke dalam permainan ini.

"Saya minta maaf Bu, masalah laporan kemarin itu...."

"Bukan itu yang ingin ku bahas. Tapi silahkan kamu lihat dulu rekaman ini." Aku menggeser laptop ke hadapan Irma.

Mata Irma terbelalak menatap rekaman CCTV yang berada di laptop ku.

RODA KEHIDUPANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang