Pesan Clare berada di deretan paling atas dari jejeran nama-nama orang yang mengirimi aku pesan lewat whatsapp. "Selamat tidur" adalah pesan yang masih dapat aku baca tertulis di bawa namanya. Itu adalah kirimanku sebelum rebah dalam gelap malam. Dan dibawahnya ada nama lain mengikuti. Aku segera menyentuh nama itu. Mengetik pesan singkat "Selamat pagi" untuknya.
Rikha memang akan selalu menjadi pemeran utama dalam kisahku. Meskipun aku telah luluh dalam bahagia yang Clare tawarkan, Rikha masih tetap menjadi pemilik hatiku. Aku merasa terperangkap dalam dunia dimana bahagia dan pilu duduk dalam satu ruangan, dan aku diam diantara mereka. Clare seperti bahagia yang datang merangkul dan Rikha seperti pilu yang tak sanggup kulepas.
Hari ini emosi dan marah perlahan mulai pudar. Terkadang memaafkan memang butuh jeda untuk benar-benar dijinakkan. Jangan terlalu percaya kata mulut. Kadang pikiran dan perasaan tidak selalu punya keinginan yang sama. Jadi, tenanglah. Tunggu saja sampai ada yang menang. Entah rasa atau akal, siap-siap saja berhadapan dengan sang juara.
"Selamat pagi nona,"
"Pagi tuan," jawab seorang wanita dari balik telepon.
"Lagi ngapain?" tanyaku.
"nggak lagi ngapa-ngapain. kamu?" Balasnya.
"Duduk aja. Nunggu kamu datang ke hatiku," rayuku.
"Apasih? Dasar alay," balasnya.
"Keluar yuk. Temenin aku beli sesuatu," ajakku, "Hari ini suntuk. Sepertinya aku bisa sakit kalo terus menatap layar monitor,"
"Nggak mau ahh. Aku mau tidur aja," Jawabnya menolak.
"Aku jemput ya. See you," Balasku tak peduli.
"Nggak mau keluar pokoknya," pesan Clare yang aku baca pas sampe di depan kosannya.
Gerbang besi berkarat, lorong kecil sempit yang kadang macet kalo ada dua mobil datang dari arah berlawanan, anjing-anjing lucu nan galak yang selalu menggonggong dari kosan sebelah. Terlepas dari kata orang kalau tempat ini nggak ada spesialnya, tempat ini selalu menjadi zona bahagia yang sulit kutolak untuk dituju. Mungkin karena,
"Aku udah di depan. Cepat kaluar!" kataku memerintah.
"Nggak mau, aku lagi mager nih," Jawabnya.
"Cepetan! Aku tunggu di depan," balasku santai.di tempat ini cewek kece yang biasa aja itu tinggal.
Memang terkesan memaksanya, karena sudah biasa, dia selalu menganggap hal itu hanya candaan. Setiap mengajaknya jalan, cara ini selalu berhasil membuatnya keluar dari kamar. Dan benar kan, tidak perlu menunggu lama, Clare keluar dengan penampilan dekilnya.
"Aku belum mandi nih," katanya malu.
"Udah nggak apa-apa, cuci muka aja. trus kita jalan," perintahku yang mulai kepanasan karena sengatan terik matahari.
"Nggak mau ah, mau mandi aja dulu," tawarnya.
"Yah, nanti keburu siang. Cuci muka aja," balasku memohon.
"Hmmm... bentar. Duduk di teras aja biar nggak kepanasan," jawabnya jutek lalu masuk. Bisanya kalo udah masuk, dia pasti akan segera bersiap.
"Jangan lupa makan ya," balasku pada Rihka yang pesannya tak sempat kujawab tadi pagi. Aku sedikit lega karena pesanku dibalas pagi ini. Sepertinya dia sudah tidak marah lagi.
Saat aku berucap untuk menetap dihatimu, itulah yang akan aku lakukan. Tapi, maaf, hatiku mulai memberi isyarat untuk mengusirmu dari dalamnya. Upss, bukan hati. Tapi aku. Aku sedang berembuk dengan hati agar dia mengeluarkanmu dari dalamnya. Entah apa yang membuat cinta bisa bertahan. Rasa atau janji.
Janji taakan melukai hatinya dan akan menutup usia bersamanya, mungkin itulah yang menguatkan hati untuk terus bertahan mengarungi kisah. Karena rasa bisa saja lenyap kala marah melanda. Tapi janji, adalah ikantan kuat yang membuat aku tetap terus menyayanginya sampai maut menjemput. Tapi, Rihka, Maaf, janjiku melemah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Penantian (Rewrite)
Teen FictionSetiap orang menantikan kisah bahagia, dan begitupun aku, Matthias Darel Emillio. Aku telah mencapai perjalanan panjang dalam kisah cintaku. Kini aku aku merayakan tujuh tahun pacaranku dengan Rikha Elizabeth Quinza. Dan yang aku nantikan adalah ki...