"Kamu sakit? Parah?"
"Iya. Dan obatnya sangat langka. Susah dicari," Jawabku.
"Emangnya apa obatnya? Trus obatnya ada dimana?" Rikha terdengar sangat kuatir.
"Obatnya ada di suatu tempat dihatiku. Obatnya namanya Rikha," aku iseng menggombalinya.
"Aaaaaaaaa, Maaaaattt," gerutunya manja, "awas kamu ya, nanti aku balas," dia melanjutkan.
"hahaha, aku masih dirumah sakit, aku kena anemia, tapi udah dikasih obat sama dokter, besok katanya boleh pulang," aku menjelaskan keadaanku.
"Tapi benar kan kamu nggak apa-apa?" Tanya Rikha memastikan.
"Iya sayang, aku nggak apa-apa," jawabku menenangkan Rikha yang terlanjur kuatir.
"Syukurlah. Istirahat aja dulu," Balasnya.
Matahari mulai menarik cahayanya dari dalam kamar. Clare masih tertidur dengan nyenyak di tempat duduknya dengan kepala yang tersandar di ranjangku. Sepertinya dia terjaga cukup lama. Aku menghela berat. Berusaha membuang sejenak beban yang sedang menumpuk di pikiranku. Aku tersenyum, tapi entah ditujukan pada siapa dan untuk apa. Hanya tersenyum, seperti ada yang memaksaku untuk melakukannya. Beberapa saat kemudian,
Tok, tok, tok. Bunyi pintu menahan mataku yang hampir menutup. Clare yang sedang tidurpun ikut terbangun. Entah siapa yang datang. Dia hanya mengetuk. Tidak mengucapkan satu katapun. "Masuk," ucapku memberi isin.
Tok tok tok. Pintu kembali diketuk dan aku kembali mengisinkan dia masuk tapi pintu tidak kunjung dibuka. Suasana tiba-tiba hening. Aku penasaran. Siapa orang yang datang? Clare berdiri menuju pintu. Langkah pertamanya sedikit sempoyongan pertanda dia belum benar-benar siap untuk bangun.
Tok tok tok. Suara ketukan terdengar lagi. Clare yang sudah di depan pintu, meraih gagang pintu dan membukanya.
"SURPRISE," teriak seorang gadis dari luar kamar. Aku tak bisa melihatnya. Tubuh Clare menghalangi pandanganku yang berusaha menangkap sosok yang baru saja datang. Dari suaranya, tidak asing lagi ditelingaku. Clare sedikit mundur, dan akhirnya aku bisa melihatnya dengan jelas. Aku terkejut. Ekspresi wajah Clare juga sama terkejutnya. Didalam kamar hanya ada aku dan Clare saja. Tapi sekarang. Rikha tiba-tiba muncul.
"Loh, kamu siapa?" Tanya Rikha.
"Oh, hai, aku Clare, temannya Matt. Mari masuk," ajak Clare memberi jalan.
Aku tak menyangka Rikha nekat datang ke rumah sakit yang jaraknya cukup jauh dari rumahnya. Perjalanannya saja memakan waktu sejam, bahkan bisa lebih. Apalagi ini sudah malam. Alasan apa lagi yang dia alibikan pada orang tuanya sampai bisa datang kemari?
Rikha dengan cepat berlari mendekatiku, memelukku, dan berkata dengan nada manja, "sayang, gimana keadaan kamu? Aku kuatir banget." Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya.
Beberapa menit berlalu Rikha masih saja memelukku. Aku sangat senang Rikha datang. Tak bisa kupungkiri aku memang butuh dia di saat seperti ini. Aku butuh pelukannya, aku butuh dukungannya, dan yang terpenting, aku butuh dia. Aku membalas pelukannya dengan pelukan yang tak terlalu erat. Tanganku masih tak cukup kuat. Tiba-tiba mataku tersorot kearah seorang wanita yang berdiri tepat di belakang Rikha, sejajar dengan arah pandangku. Entah apa yang Clare rasakan saat itu, Clare tersenyum ketika aku menatapnya. Senyumannya merona, tapi matanya berkaca. Sekejap bahagiaku berganti rasa bersalah. Pelukanku semakin merenggang, tapi Rikha masih tetap memelukku begitu erat. Setelah senyumannya yang barusan, Clare membalikkan badan, melangkah menuju pintu keluar.
"Clare mo kemana?" Aku bertanya. Rikha melepas pelukannya dan melihat ke arah Clare.
"Aku mau pulang dulu ya," jawab Clare melanjutkan langkahnya.
Aku dengan cepat bangun. "Matt, mo kemana? Jangan dulu banya gerak, kamu masih sakit," ucap Rikha sambil membantukku berdiri. Belum sempat aku mengambil langkah pertama, aku terjatuh. Kakiku lemas, seperti tidak ada tenaga.
"Matt, duduk aja dulu," pinta Rikha yang berusaha menahan berat tubuhku yang tertekuk di lantai. Aku mencoba kembali berdiri. Dengan bantuan tangan kananku, aku bertumpu pada ujung ranjang besi khas rumah sakit itu. Kakiku gemetar diikuti tanganku yang kram menahan beban tumpuhan. Aku jatuh untuk kedua kalinya. Rikha terus memperingatkan aku sambil tetap berusaha menopang tubuhku yang lemas. Bayang Clare sudah menghilang diantara bingkai pintu. Suara Rikha yang berbica teralihkan dengan imajinasi kehilangan Clare yang mulai melumpuhkan konsentrasiku. Aku berteriak memanggil Clare. Tidak ada jawaban, kupanggil lagi, lagi, dan aku menjerit meneriakan nama Clare tanpa menghiraukan adanya Rikha di sampingku. Aku tak memikirkan apa yang Rikha rasakan saat itu. Yang aku pikirkan, Clare tidak boleh pergi. Tidak boleh.
Aku berterikan, "Clare, maafkan aku!!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Penantian (Rewrite)
Novela JuvenilSetiap orang menantikan kisah bahagia, dan begitupun aku, Matthias Darel Emillio. Aku telah mencapai perjalanan panjang dalam kisah cintaku. Kini aku aku merayakan tujuh tahun pacaranku dengan Rikha Elizabeth Quinza. Dan yang aku nantikan adalah ki...