Aku menyangka hatiku cukup kuat untuk menepis rasa bahwa aku tak akan tergoda pada bahagia yang disuguhkan wanita lain diluar sana. Sungguh memalukan, aku terlalu angkuh, memamerkan keyakinan yang sekarang telah menjelma menjadi bualan. Aku pernah berkata bahwa dia adalah pemeran utama, padahal kenyataannya, dia hanya duduk di barisan kedua pada deretan kursi pelakon drama, yang aku sebut kisah. Aku telah membagi rasa. Tidak lagi seutuhnya untuk dia, sang pemilik yang seharusnya.
Ada sensasi berbeda terasa ketika melihat pesan Clare pagi ini. Kiriman Rikha menjadi tak semenarik dulu lagi. "Apa yang sudah kuperbuat? Harusnya aku menanyakan kabar Rikha lebih dulu," tanya hati yang merasa bersalah. Sejenak aku membeku sembari menopang dagu. Pikiranku melayang antah berantah, hanya sekejap aku larut dalam ruang imajinasi. Tergambar wajah Rikha yang tersipu padaku, perlahan dia mendekat dan memeluk erat tubuhku sambil berbisik, "jangan ninggalin aku ya. Aku sayang kamu." Dan aku mengiyakan.
drrt, drrt, drrt, getar ponsel sontak membuyarkan imajinasiku.
"Matt, hari ini jangan lupa deadline rincian anggaran biaya dua gedung sama tiga jalan yang waktu lalu ya. Ibu tunggu di lokasi pekerjaan siang ini," pesan yang menjadi tanda bahwa hidup ini tak melulu tentang cinta. Pekerjaan sedang menunggu, dan tiba-tiba irama jantungku meningkat. Aku belum menyelesaikan semuanya. Aku menepikan semua masalah cintaku. Boleh saja larut dalam drama rasa, tapi, kalo tidak bekerja, bagaiamana aku bisa memperjuangkan masa depanku? Bagaimana bisa mengabulkan harapan yang selalu jadi pinta doaku? Berdiri di panggung dengan dekorasi bunga-bunga yang indah, disaksikan ribuan mata, saat aku mengucap kalimat sederhana, Saya terima nikahnya Rikha Elizabeth Quinza sebagai istriku.
Semuanya masih sebuah harapan. Aku bangkit dari tempat tidur, melakukan sedikit perenggangan otot, lalu kuraih gagang pintu, clek. bunyi kernyit engsel mengikuti saat aku membuka pintu kamar.
"Hola, selamat pagi cowok ganteng tiada duanya," Teriak ibu kos dari depan pintu. Sungguh mengagetkan.
"Ada apa bu?" tanyaku.
"30 hari mencari cinta, tak kutemukan dia dimana, 30 hari kau disana, sekarang, uang kosmu mana?" Pantun bulanan ibu kos yang paling ditakuti para anak kos yang berencana nunggak.
"Yaelah bu," aku membalikan badan, mengambil dompet kulit berwana coklat yang tergeletak di meja. Dompet hadiah ulang tahun yang Rikha berikan. Kubuka lipatan dompet, sejenak aku terdiam. Foto berlatar biru yang mulai kusut terselip paling depan dari beberapa saku dompet. Fotoku bersama Rikha yang diabadikan empat tahun yang lalu. Sudah lama. Dan masih banyak kisah yang terlewati dibelakang momen itu.
"Matt ganteng kok lama ya," Suara ibu kos kembali terdengar, sepertinya sudah tidak sabar untuk menerima rupiahnya.
Aku segera menarik lembaran uang kertas dari dompet, "ini bu."
"Oke, makasih ganteng," rayu ibu kos sambil mengibaskan uang yang aku berikan.
Aku bergegas mandi, ganti pakaian, dan segera berangkat ke tempat kerja. Aku menyempatkan diri mengintip ponsel, siapa tau saja ada pesan penting yang masuk. Ada dua pesan. Satu pesan balasan dari Clare dan satunya lagi, pesan Rikha yang belum kubuka.
Aku membalas pesan Rikha yang dari tadi terabaikan. Kemudian aku menghubungi Clare lewat telepon. Selama perjalanan Clare menemaniku dalam obrolan telepon. Sesekali ponselku bergetar saat sedang melakukan panggilan.
Akhirnya aku tiba di tempat yang sudah di janjikan untuk bertemu rekan kerjaku. Mataku mengelilingi tempat itu dan mendapati Ibu Maya sedang memberikan arahan pada beberapa pekerja. Ibu Maya adalah atasanku. Cantik, tajir, dan sangat menakutkan. Pemilik dari proyek yang aku tangani. Aku melangkah mendekati tempat ia berdiri.
"Siang bu," sapaku.
"Hei, Matt, udah selesai rincian anggarannya?" Tanya ibu Maya.
"Sudah bu, tapi ada satu yang tinggal tahap penyelesaian desainnya bu," jawabku sambil mengeluarkan berkas yang ia minta, "ini bu." Terlihat bola mata ibu Maya bergerak kiri ke kanan dan sebaliknya. Jantungku terus berdetak kencang, tangan dan dahiku mulai berkeringat.
"Matt, anggarannya masih bisa dipress lebih kecil nih, terus yang ini coba kamu perhatikan," dia menunjuk ke arah gambar desainku, "ini masih sama seperti yang ibu periksa kemarin, harusnya kan yang ini sudah diganti sesuai dengan yang ibu kirim, detail gambar desainnya banyak keterangan yang nggak ditulis, waktu lalu ibu sudah suruh kamu perbaiki kan?" Kritik ibu Maya. Ini memang sudah ketiga kalinya berkas perencanaanku direvisi, "Matt, kita dikejar deadline nih, harusnya kamu tau itu," sambungnya.
"Iya bu, maaf, nanti saya perbaiki lagi bu,"
"Maaf saja nggak cukup Matt. Kalo masih mau kerja disini, coba lebih disiplin lagi sama waktu," nada bicaranya semakin tinggi, nafasnya memburu, aku hanya bisa meminta maaf. Tak ada cara lain untuk membela diri. Hari yang menyedihkan. Minggu ini akan menjadi minggu yang berat. Aku kembali lembur. Melenyapkan pikiran untuk sekedar istirahat beberapa menit. Aku terus menatap monitor. Dunia tak lagi punya warna, gelap, dingin, menyedihkan dan satu hal melengkapi penderitaan ini. Aku jatuh sakit.
Aku pasrah. Terlalu lelah. Bukan hanya tentang kerja, tapi juga tentang cinta. Mungkin beberapa detik lagi, akan ada seseorang dengan sayap putih memakai baju zirah emas datang menjemputku. Aku tidak kuat lagi. Nafasku sesak, tubuhku sempoyongan, apakah aku akan mati..? Tiba-tiba aku rebah dan . . . . . . .
KAMU SEDANG MEMBACA
Ruang Penantian (Rewrite)
Ficção AdolescenteSetiap orang menantikan kisah bahagia, dan begitupun aku, Matthias Darel Emillio. Aku telah mencapai perjalanan panjang dalam kisah cintaku. Kini aku aku merayakan tujuh tahun pacaranku dengan Rikha Elizabeth Quinza. Dan yang aku nantikan adalah ki...