Marah Saja!

103 11 2
                                    

Aku terdiam, kepalaku sakit, tanganku berkeringat, mataku perih menatap layar komputer. Sial!! "Terlalu banyak. Waktunya nggak bakalan cukup," batas waktu pemasukan kerjaanku tinggal seminggu. Tapi aku hanya bisa menyelesaikan beberapa tugas saja. Timku harusnya berisi tiga orang, dan kali ini tinggal aku sendiri yang berjuang. Aku mengerjakan perkerjaan milik tiga orang sekaligus. Harusnya aku hanya membuat rincian anggaran pekerjaan. Satu tugas itu saja sudah membuatku harus mengurangi jam tidurku, bahkan sampai menghapus istilah tidur dari hari-hariku.

"BOLEH NGGAK NGERTIIN AKU?" Teriaku.

"KAMU YANG NGGAK PERNAH NGERTIIN AKU," balas Rikha tak mau kalah.

Rikha adalah pacarku. Kami berpacaran hampir 7 tahun. Belakangan ini kami memang sering bertengkar. Pekerjaaku membuat kami jarang jarang bertemu untuk sekedar makan bersama atau ngobrol. Dia bekerja selama 6 hari dalam seminggu, begitu juga denganku. Belum lagi jarak tempat kami bekerja, cukup untuk membuatku terbaring lemas ditiap sekali perjalan. Harusnya hari minggu jadi hari yang tepat untuk quality time. Tapi terkadang, kesibukanku dipelayanan gereja tak mengizinkan kami saling melepas rindu. 

Aku akhirnya memutuskan untuk melakukan perjalanan melelahkan di hari rabu demi semua temu. Pertemuan sederhana yang hanya sekedar. Sekedar sapa selamat malam dengan obrolan singkat dan sampai jumpa, aku pamit. Kata temanku itu adalah pertemuan tak berkualitas.

Dan sekali lagi. Clare selalu menjadi riuh dalam sepiku. Selalu hadir menemani kala pertengkaranku dengan Rikha sedang berada dalam titik senyap menanti salah satu mendewasakan diri untuk lebih dulu berkata maaf. Dia membuatku tertawa, dan tak jarang membuatku melupakan semua amarah yang membara ketika aku bertengkar dengan Rikha. Sesekali dia membantuku menyelesaikan perkerjaanku. Bahkan dia mengerjakan tugas-tugasku saat aku sudah tersandar tidur di meja kerja. 

"Pernah aku dengar. Bidadari akan datang dalam sosok manusia. Ku kira akan jatuh cinta pada wajah cantik dan mempesonanya. Tapi aku lebih dulu jatuh cinta pada tingkahnya yang menjadi sebab bahagiaku."

Bunyi kicau burung terdengar saat aku tersadar dari rebah. Monitor komputerku sudah mati, seingatku aku masih sementara mengerjakan tugas tadi malam. Mataku mengelilingi kamar, Clare tidak ada, mungkin sudah pulang saat aku tertidur. Aku meraih hanphoneku. Awalnya ingin menelepon Clare untuk sekedar ucapan terima kasih telah membantuku. Tapi mataku teralihkan memandang nama lain di kontak whatsapp. Aku menunda pesan untuk Clare.

"Selamat pagi. Maaf, aku bukan pria sempurna yang  bisa terus membahagiakanmu. Caraku tak seperti orang lain diluar sana, yang bisa selalu menemanimu, ada disampingmu, dan tak membiarkan sepi mendampingimu. Aku hanya bisa memelukmu dari kamar tidurku lewat lutut yang bertekuk dengan pesan sederhana kepada Sang Pencipta, "Jagalah dia hari ini. Sehatkan dan kuatkan dia saat menjalani hari ini. Jauhkan dia dari segala mara bahaya yang bisa menimpanya. dengarlah Doaku, aku mencintainya," maaf aku telah membuatmu marah."

Aku adalah orang yang tak pernah betah dengan konflik. Tak peduli siapa yang salah dan siapa yang benar, pada akhirnya aku yang harus mengalah. Tapi keceriaan hanya sementara, pertengkaran kami terus terjadi bekali-kali untuk masalah yang sama setiap minggu. Hatiku melunak pada perpisahan, kali ini keluh menjadi sosok yang tepat untuk mengutarakan rasa, aku mencoba melepas semua amarah sekali lagi, dan kularut dalam mimpi, berharap ada Rikha  yang menyenangkan di dalam sana. Selamat datang di alam mimpi. Datanglah seorang gadis manis bertubuh kurus berlari menjemputku dengan peluk. 

"Clare, kenapa disini?"


Ruang Penantian (Rewrite)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang