01. Si Pembaca Pikiran

6.5K 558 79
                                    

Ada seseorang yang
mengatakan bahwa merelakan masa lalu adalah salah satu cara untuk bahagia. —Natesa

🔊Aktifkan musik di mulmed

Natesa Kasuari. Itu namaku, perempuan remaja pendiam yang seperti biasa akan duduk di bangku paling pojok pada saat jam istirahat. Menikmati bekal yang dihidangkan pada tupperware berwarna jingga.

Setelah usai menghabiskan bekal makan siang, aku segera merogoh tasku, mengambil sesuatu yang aku butuhkan. Sebuah obat. Aku menatap pedih benda yang aku pegang.

Aku mengambil sebutir obat dan menelannya dengan bantuan air mineral yang sekarang mengalir lancar di tenggorakanku.

Air mata mulai jatuh dari pelupuk namun segera aku hapus. Tiga tahun sudah berlalu, ketika aku harus menghadapi realita pahit.

Aku terdiagnosa kanker hati. Dan setelah aku baca begitu banyak artikel tentang kanker, kemungkinan untuk bertahan hidup itu sangat kecil.

Meski segala usaha untuk mengobatinya, aku tahu itu akan sia-sia. Pada akhirnya aku akan mati dibunuh oleh sel-sel kanker itu sendiri.

Kini aku hidup hanya untuk menanti hari kematianku saja. Tidak lagi ada semangat, tidak ada harapan lagi. Pasrah, aku sungguh-sungguh pasrah.

"Hai cewek penyakitan!"

"Mati mah mati aja!"

"Woi! Kuburan gak jauh dari sini kok!"

"Hahahaha!"

Aku mencoba tidak peduli kepada hinaan dari cowok-cowok nakal yang baru saja melalui kelasku. Aku benar-benar tidak menghiraukan mereka. Bodo amat!

Meski aku sadar, bahwa hal yang aku alami tidak patut untuk mereka hina. Tapi aku berpikir, lebih baik dicaci untuk saat ini daripada harus dikasihani.

Aku tidak suka dikasihani.

Suasana di dalam kelas sangat gerah dan panas, membuat aku tidak nyaman berdiam di dalam kelas lebih lama lagi.

Aku lantas beranjak bangun, memutuskan untuk pergi ke atas rooftop sekolah mencari udara segar yang mungkin bisa menenangkan pikiranku.

Hampir lupa, buku harianku. Aku mengambilnya kemudian bergegas untuk keluar dari kelas. Kini aku disambut oleh beberapa pasang mata yang tertuju ke arahku.

Lagi-lagi aku mencoba untuk tidak peduli.

Langkah kaki menuntun aku menjauh dari murid-murid di koridor, dengan senandung kecil yang menemani langkah aku berjalan menuju rooftop sekolah.

Perlahan senyuman tipis terukir di wajahku, ketika melihat langit biru yang kini terpapar jelas di atas sana. Sungguh menakjubkan.

"Indah," gumamku pelan.

Aku kembali melangkahkan kakiku dan mendekati pinggir rooftop, duduk pada sebuah kursi semen yang tersedia di atas sini.

Rambutku yang panjang kini diterpa oleh angin, sungguh sejuk dan menenangkan. Aku lalu mengalihkan pandangan menuju ke buku bersampul merah muda yang merupakan buku harian pertamaku. 

Terima Kasih, Benua ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang