Chapter 1

211K 8K 60
                                    

Gedung yang menjadi ikon dari sebuah perusahaan besar itu bersinar dengan terang. Dengan ketinggian mencapai 1.776 kaki dan memiliki 94 lantai, menjadi gedung tertinggi di kota New York yang terkenal dengan julukan The Big Apple. Belum banyak yang tahu siapa sesungguhnya si Billionaire yang berhasil membangun gedung pencakar langit di kota itu.

Seorang wanita dengan paras cantik bak seorang malaikat yang turun ke bumi, tengah menatap gemerlap cahaya kota dari titik paling tinggi di New York. Mata biru langitnya beralih menatap bintang yang bertabur di langit malam. Sesekali menghela napas, lelah akan pekerjaan yang tak kunjung selesai.

Ia mengangkat tangannya di depan dagu, menatap jam yang melingkari pergelangan tangannya. Waktu menunjukan pukul satu malam, dan pekerjaannya masih menumpuk.

Wanita berusia dua puluh empat tahun itu membalikkan badan dan menatap setumpuk berkas yang berantakan di atas meja kerjanya, melangkahkan kaki, duduk di kursi kebesarannya. Memulai kembali kegiatannya berkutat dengan laptop yang menyala terang di dalam ruangan dengan pencahayaan redup.

Sebenarnya, menjalankan perusahaan besar seperti ini mudah saja baginya, hanya saja terlalu banyak pekerjaannya sampai-sampai ia sendiri kadang merasa jenuh dengan tumpukan kertas-kertas yang menurutnya berharga.

"Kau ini, masih saja." Wanita itu dikejutkan dengan kehadiran seseorang, matanya menatap dengan datar, berusaha tak memperdulikan seorang perempuan yang saat ini duduk di sofa ruangannya.

"Kalau seperti ini terus bagaimana kau akan menikah, huh?"

Wanita yang pesonanya diragukan itu mendengus kasar, dia mengambil sebuah pulpen lalu melemparkannya ke arah Kiren. Lemparannya tepat mengenai kening Kiren lumayan keras, wanita itu mengaduh sambil mengelus kening mulusnya.

"Kau gila? Meleset sedikit kan bisa buta mataku!" rutuk Kiren pada wanita itu. Sedikit kesal memang memiliki atasan seperti wanita itu, tapi mau bagaimana lagi, dia adalah CEO sekaligus owner perusahaan Angel Compagnie. Angel Lalisa Bert.

Wanita itu menyeringai, puas dengan hasil lemparannya, namun beberapa detik kemudian dia tertawa terbahak.

Melihat ekspresi bos yang biasanya terlihat datar membuat emosi Kiren mereda, dia ikut tersenyum melihat Angel tertawa.

"Sudahlah, ada apa kau datang kemari?" tanya Angel setelah menghentikan tawanya. Tatapannya beralih dari layar laptop, menatap mata Kiren dengan serius. Karena jarang sekali sahabat sekaligus orang yang menjabat sebagai CEO cabang perusahaan di Indonesia itu datang menemuinya.

"Ada urusan, you know what I mean." Angel mengangguk. Dia membereskan berkas yang berantakan di atas meja, menyimpan file yang ia kerjakan lalu menutup laptopnya. Setelah selesai, dia beranjak duduk di samping Kiren, kepalanya ia sandarkan ke sandaran sofa yang tingginya cukup untuk menyangga kepalanya.

Kiren tak lepas menatap pergerakan Angel, wanita itu ikut merasakan rasa lelah yang Angel rasakan. Sudah cukup lama mereka berpisah, dan akhirnya mereka bertemu, setelah tiga tahun lamanya.

"Umur kamu kan sekarang dua puluh empat tahun, ngga ada pikiran buat menjalin hubungan?" tanya Kiren, ikut menyandarkan punggungnya di sandaran sofa.

Angel menggeleng, dia menegakkan punggungnya, membuka layar handphone yang menampilkan notifikasi dari orang-orang yang menurutnya tidak penting.

"Mama ngga tau dulu tentang hubunganku dan dia, jadi kalau sekarang kamu ke sini karena desakan Mama, mending kamu pulang."

Kiren menghembuskan napasnya pasrah, dia juga menginginkan hal yang sama seperti Lalisa Ariana Bert. Namun mengetahui masa lalu Angel yang juga menyakitinya, menjadi Angel pun dia akan ragu untuk kembali menjalin hubungan.

"Setidaknya kamu akan di cap berbakti pada orang tua, kan?" ucap Kiren yang di akhiri kekehan di akhir kalimatnya.

Angel mendengus, kurang berbakti apa dia jika dari kecil sudah berprestasi dan selalu menuruti semua yang orang tuanya katakan.

"Mau aku siapkan jet untuk pulang?" tanya Angel yang tidak lain dan tidak bukan tujuannya adalah mengusir Kiren.

"Kamu ini, masih saja tidak berubah. Coba kau pikirkan kembali, aku tidak akan datang untuk yang ke sekian kalinya lagi hanya untuk membujuk orang berkepala batu sepertimu," ujar Kiren. Dia mengambil handphone yang ia letakkan di atas meja, memesan tiket pesawat untuknya pulang.

Angel yang mengerti tujuan Kiren bermain ponsel menghentikannya dengan merebut benda kotak itu lalu menyembunyikannya di balik punggung. Wanita itu menggeleng, dia tidak akan membuat sahabatnya kerepotan lagi.

"Biarkan aku siapkan jet, tidak ada bantahan!" tegas Angel. Dia mengambil ponselnya untuk menelepon seseorang. Tak lama pembicaraannya, dia mengembalikan ponsel Kiren. Tak ada perlawanan dari Kiren, dia justru senang dengan sifat Angel yang begitu peduli dan mengkhawatirkannya.

"Jangan berpikir aku peduli padamu, aku hanya merasa kasihan saja," ucap Angel dengan nada mengejek.

Namun tetap saja, Kiren tak terpengaruh, dia sangat kenal dengan sifat Angel, bagaimana caranya menunjukkan kepedulian pada sekitarnya, bagaimana caranya membuat orang-orang berdecak kagum padanya, membuat orang-orang begitu iri dengan kehidupannya yang glamor, tentang seberapa terkenalnya wanita itu, rasanya aneh memang, tapi Kiren sudah sepuluh tahun bersama dengan Angel. Tak heran ia hampir mengetahui semua hal tentang wanita itu.

"Hm, ya-ya-ya. Saya sangat berterima kasih Nona Angel Lalisa Bert yang terhormat."

"No problem."

Kiren mendengus, dia lalu keluar dari ruangan Angel tanpa mengucapkan apapun. Angel diam saja, lagi pula dia tidak ada sedikitpun niat untuk membalas atau merespon pesan Ibunya yang di titipkan pada Kiren, mungkin ini sudah yang ke tujuh kali Kiren mengunjunginya di New York.

Angel tak beranjak berdiri, dia mengambil ponselnya yang ia letakkan di atas meja, membuka galeri yang menampilkan sebuah foto, dua orang yang tengah berpelukan dengan si pria mencium kening si wanita. Angel menatap lamat-lamat layar handphone-nya, kenangan yang tersisa di otak begitu menyiksanya.

"Sudah cukup lama, kenapa aku masih tidak bisa melupakannya," ucap Angel dengan lirih. Jari telunjuknya terangkat, menyentuh layar handphone, mengelus figuran si pria seakan sedang mengelus rambutnya.

"Aku baik-baik saja, meski sadar pekerjaan hanyalah sebagai pelarian."

Di balik semua kata-kata itu, seseorang di balik pintu mendengarkan dan memahami semua kata-katanya. Dia menyandar di dinding, wanita yang beberapa menit lalu berada di dalam dan berbincang dengannya, wanita yang tadi berbicara dengan keras kepalanya kini duduk lemas dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

Sebelum Angel mengetahui keberadaannya, dia berdiri lalu mengusap air matanya yang jatuh membasahi pipi, walau bagaimanapun dia percaya suatu saat sahabatnya itu pasti bisa keluar dari masa lalu kelamnya dan menjadi Angel Lalisa Bert yang ia kenal.


❁❁❁❁

My Mother is CEOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang