Memaafkan bukan lagi persoalan takdir, tapi sudah jadi persoalan keinginan.
----
"Jadi, kau akan memilih pergi dengan wanita lain? Pria tua brengsek! Kau berencana menelantarkan anakmu?!"
Plak!
Pria berkepala empat telah menampar wanita yang baru saja memakinya dengan habis-habisan. Hati wanita itu menjerit lebih keras dari suara petir hujan sore ini, menanggapi kondisi istananya yang berantakan.
Setelah menerima tamparan itu, ia membendung air mata memperkuat pertahanan agar tetap terlihat perkasa dihadapan suaminya, kemudian ia mengangkat wajahnya tinggi-tinggi, tetap tidak mau kalah.
Disisi lain dua orang anak laki-laki bersembunyi dalam kamar, suara pertengkaran itu membuat mereka merasa sedang berdiri di tepi jurang. Mereka memejamkan mata dan saling berpelukan untuk menguatkan badan yang tidak berhenti bergetar.
Isak tangis yang mereka tahan berangsur-angsur menyayat hati kecilnya, kakaknya berusaha menutup telinga adiknya dan lebih memilih untuk menyerap debat sadis orang dewasa itu sendirian.
Pertengkaran dewasa itu berhenti ketika si kepala keluarga pergi meninggalkan rumah. Pintu kamar terbuka, wanita tadi memasuki kamar di mana anak-anaknya sedang gemetar dan banjir air mata.
Satu anak yang lebih tinggi membuka matanya, ia masih memeluk kepala adiknya lalu melepas pelukan itu perlahan-lahan.
Ia menatap lemah sang ibu, seolah berkata, 'Eomma, aku sudah tidak sanggup lagi.' namun tidak ia ungkapkan dengan kata-kata.
"Ikut aku!" ibunya tergesa-gesa menarik tangan anak yang lebih kecil sambil bergumam kasar memaki suaminya. Dia berkata lagi, "Kau, tidak usah mengikutiku!" kepada anak yang lebih besar dari anak yang ia genggam tangannya.
Dua anak laki-laki itu berpegangan erat tidak ingin dipisahkan. Namun, wanita itu tidak mengindahkan permintaan murni kedua anaknya.
"Eomma, eomma!" anak yang ditinggalkan mengejar ibunya, namun berkali-kali didorong hingga tersungkur ke lantai. (ibu)
"Hyung! Hyung!" sang adik memanggil kakaknya, tangan pendek itu berusaha untuk meraih kakaknya meski selalu tak sampai. (Kakak)
"Eomma! Eomma, jangan tinggalkan aku! Eomma, jaebal...." Dengan sisa tenaga, anak itu terus berusaha mengejar ibunya. (mohon)
--
"PRESIDENNN! Negara kita kehilangan kendali!" teriak Jimin tepat di telinga Namjoon. Matanya menghilang ketika ia tertawa puas melihat Namjoon terbangun dari tidurnya.
Namjoon tersentak kaget ketika ia mendengar teriakan dari Jimin, wajahnya terangkat dengan matanya yang basah menatap aneh makhluk sejenis Jimin.
Mimpi melelahkan itu datang lagi, batin Namjoon.
Jimin mendorong bahu Namjoon dan memeriksa mata lelaki yang baru saja ia sebut presiden itu.
Begitulah perhatian Jimin, si anak tunggal yang sering kehilangan matanya ketika tertawa. Teman sekelas biasa memanggilnya si jago modus karena selain suaranya yang merdu ketika bernyanyi, ia memiliki beberapa tak-tik mendekati perempuan hingga membuatnya jadi objek perundungan. Selain populer, dia sangat berisik di kelas.
"Aigoo," Jimin berdecak. "Hey rakyat! Presiden kita menangis," teriak Jimin lagi sembari mengisyaratkan kepada teman-temannya agar cepat menghampiri.
Beberapa teman menghampiri meja Namjoon, semuanya ribut menanggapi teriakan Jimin dan ikut melihat keadaan ketua kelasnya. Rupanya Jimin cukup mempengaruhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
HIGHSOUL YOUNIVERSE
Fanfiction[Bighit All Stars]✨Hal terberat menjalani hidup adalah menghadapi takdir semesta dengan jiwa yang tinggi, bertindak sebagai pendemo namun tidak didengar.