Bagian 2

45 21 3
                                    

"Kelvin mana ma?" Tanya pria itu dengan gelisah. Postur tubuh yang menjulang tinggi dan masih tegap untuk umurnya yang sudah memasuki kepala lima, hanya menggunakan kaus putih polos dan celana olahraga. Langkah-langkah beratnya hilir mudik sedari tadi.

"Palingan juga masih tidur pa" jawab istrinya tenang, konsentrasinya lebih terpusat pada dua gelas berisi coklat panas yang sedang ia aduk.

"Gimana sih, ma. Kok kayaknya kita yang lebih antusias menunggu pengumuman SBMPTN daripada pesertanya sendiri sih" gerutu suaminya

"Eh, itu korannya dateng!" Seru istrinya ketika ia mendengar gesekan kertas koran di depan pintu.

Seperti sedang balap lari, mereka buru-buru ke pintu depan dan langsung membuka halaman tengah koran yang padat dengan barisan nama-nama.

"Pa ini nama anak kita, dia masuk" istrinya berseru senang dengan Sura tercekat sambil menunjuk nama anaknya.

Antara percaya dengan tidak, pria itupun meyakinkan dirinya berkali-kali, bahwa memang ada nama anaknya K A L V I N. tercetak dengan jelas.

"Cepat kita bangunkan dia" ujarnya tidak sabaran

"Ah, nggak usah. Biarkan saja dia tidur sepuasnya. Kasihan Kalvin, dari kemarin begadang terus" istrinya menyergah dengan senyum mengembang, "toh hari ini sudah membuat kita semua senang".

Padahal Kalvin sudah tahu apa yang terjadi. Tidak mungkin dia menutup telinga dari suara apa pun dari rumah ini. Sambil meringkuk dan memeluk lutut, Kelvin menerawang di atas tempat tidurnya, bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Apakah ia salah karena tidak merasakan kebahagiaan yang sama? Apakah ia akan puas atas kesuksesannya menyenangkan kedua orang tuanya? Dan apakah ia cukup berduka atas penghianatannya pada dirinya sendiri?.

Di depan sebuah alat musiknya, mata Kalvin terpaku.

*****

Dua belokan dari rumahnya, ada sebuah kali. Meski airnya berwarna coklat, tapi arus kali itu mengalir lancar dan tidak mampet seperti kebanyakan kali di kota Jakarta. Popi menyadari sesuatu ketika pindah ke Jakarta, di manapun ia tinggal, ia selalu menemukan air mengalir di dekat rumahnya. Seolah-olah ada yang menginginkan agar kebiasaannya yang satu itu harus terus berjalan.

Popi ingat betul bagaimana kebiasaanya itu bermula. Waktu itu keluarganya masih tinggal di Yogyakarta. Rumah mereka yang berseberangan dengan laut membuat Popi kecil banyak menghabiskan hari demi harinya di pantai. Bara, abangnya. Yang pertama kali tahu bahwa zodiak Popi adalah Aquariusnya air. Popi kecil lalu berkhayal dirinya adalah anak buah dari dewa neptunus yang diutus untuk tinggal di daratan. Seperti mata-mata yang rutin akan melapor ke markas besar, Popi percaya ia harus menulis surat untuk Dewa neptunus dan melaporkan apa saja yang terjadi dalam hidupnya.

Ia mengirim suratnya yang pertama saat mulai bisa menulis sendiri. Popi menggulung surat itu dan memasukkannya kedalam sebuah botol lalu ia akan menghanyutkannya ke laut. Hampir setiap pagi Popi selalu mampir ke pantai, mengirimkan surat-surat berisi cerita.

Popi protes keras saat keluarga mereka harus pindah kota, yang artinya tak akan ada pantai lagi di dekat rumahnya. Ia mengambek berkepanjangan sampai akhirnya Bara abangnya menjelaskan bahwa selama ada aliran air, di mana pun itu, Popi tetap bisa mengirim surat kepada neptunusnya. Semua aliran air akan menuju ke laut, begitu kata bara sambil membersihkan linangan air mata di pipi adiknya.

"Air Empang bakal sampai ke lautan?" Bara mengangguk kepalanya

" Air sungai bakal sampai ke lautan?" Bara mengangguk lagi kepalanya

POPILYA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang