Maaf ya baru sekarang bisa update
*****
Dari kejauhan Popi seketika bisa mengenal sosok itu. Tubuh yang menjulang tinggi dengan rambut gondrong yang diikat menjadi satu. Di punggungnya tergantung ransel berwarna hitam. Dia satu-satunya yang mempunyai rambut gondrong di tengah-tengah anak angkatan baru yang dipotong gara-gara ikut ospek. Dia lebih memilih tidak ikut ospek daripada kehilangan rambut gondrongnya itu. Satu-satunya peninggalan dari Amrik yang terbawa sampai ke Bandung.
"Hei, pop"
"Hei, popilya" Kelvin tertawa lebar sambil sekilas mengacak rambut Popi. "Baru mandi ya?" Tanya kelvin
Popi langsung manyun "segitu kelihatannya kah?"
"Oh jelas sekali. Rambut kamu masih basah, dan kamu agak cemerlang dari biasanya"
Popi memanyun lagi "Tumben aku ketemu kamu di kampus. Kalau bukan kita berempat punya ritual nonton tengah malem setiap Sabtu, kayaknya aku nggak akan ketemu kamu dimana-mana lagi. Sibuk ya?"
Kelvin menebarkan pandangannya ke sekitar, mengangkat bahu sekitar, "saya ke kampus hanya seperlunya saja. Nggak terlalu suka nongkrong-nongkrong"
Popi ingin berceletuk: pantas saja. Hampir setiap hari ia melewati fakultas ekonomi. Tempat Kenan berkuliah, dan hampir setiap hari ia melongok untuk melihat keberadaan ransel hitam itu.
"Kalu makan siang di kampus masih berminat?" Tanya Popi
"Itu tergantung siapa yang ngajak"
Popi menggelengkan kepala "jawaban yang salah. Harusnya itu tergantung siapa yang bayar"
"Jadi, ceritanya saya bakalan di teraktir nih?"
"Ada satu tempat makan yang wajib dijajal. Jangan ngaku anak kampus deh kalau belum pernah ke sana"
"Emang enak banget ya?"
"Bukan, disana murah dan porsinya banyak banget"
"Oh pantesan mau neraktir" gumam Kelvin sambil terkekeh pelan
*****
Warung itu tampak padat. Orang-orang berderet memilih makanan yang disajikan prasmanan. Kelvin berhenti sejenak untuk membaca paling di atas. "Warung makan roh halus"
Mereka lalu duduk di pojok dekat jendela, bersebelahan dengan pisang yang digantung bertumpukKelvin terpana melihat nasi yang mengunung sampai nyaris tumpah dari pinggiran piring Popi. "Kecil-kecil makannya banyak banget ya" komentarnya
"Menurut survei: selain tukang kuli dan gali kubur, pekerjaan mengkhayal dan menulis juga ternyata butuh asupan kalori tinggi" sahut Popi. Lalu mencabut pisang yang tergantung di sebelahnya.
Kelvin menatap itu dengan decak kagum. "Kamu memang makhluk dengan penuh kejutan"
"Oh, aku masih punya kejutan lain. Sebentar" Popi merogoh kantong depan ranselnya "tadaaaa"
"Handphone?" Kelvin memicingkan matanya.
"Handphone baru" Popi tertawa lebar, "ini hasil keringet aku sendiri! Novelku dimuat. Honornya cukup buat beli handphone baru dan traktir kamu makan siang sekarang"
"Ini, buat kamu"
Kelvin menerimanya dengan mata berbinar. "Popilya Anastasya..jadi penulis betulan, hebat"
Popi tergelak "iya dong" bangga Popi
"Saya boleh kasi tahu kamu sesuatu? Menurut saya, kamu penulis yang sangat hebat"
Wajah Popi memanas "baca aja belom, kok udah bilang bagus"
"Saya bukan ngomongin novel kamu, tapi komik-komik kamu"
Mendadak Popi merasa mati gaya. Mati langkah, ia tersadar. Satu hal langka terjadi: dirinya salah tingkah. Benar-benar tidak tahu harus merespon apa. Akhirnya mencomot satu lagi pisang. Mengunyahnya lahap.
"Kamu terakhir makan kapan sih? Laper banget kayaknya?"
"Aku suka suara kamu"
"Memangnya kamu udah lihat?"
"Belum, justru itu. Belum denger aja suka, apalagi kalau udah denger" Popi terkekeh sendiri. Ia merasa wajahnya semakin lanas, dan omongannya semakin ngaco.
"Kalu gitu habis makan siang, kita ke tempat saya yuk. Saya mau kasih liat alat musik dan menyanyikan lagu untuk kamu"
Popi mengangguk. Ada senyum spontan yang tak bisa ia tahan. Mendadak ia menyukuri celetukan asalnya tadi. Mendadak ia ingin cepat-cepat menuntaskan makan siangnya.
*****
Ig: lokitapurnama29
Jangan lupa vote sama komen💙
KAMU SEDANG MEMBACA
POPILYA
Teen FictionNamanya popi, mungil, penghalu dan berantakan. Dari benaknya, mengalir untaian cerita indah. Kelvin belum pernah bertemu manusia seaneh itu. Namanya kelvin, cerdas, musisi, dan penuh kejutan. Dari bibirnya mewujudkan suara-sura indah. Popi belum per...