Setelah membaca isi kontrak dengan teliti, aku pun menandatanganinya. Mrs Fung ternyata mengambilku menjadi pengasuh anak-anaknya.
Visa akan turun tiga bulan kemudian. Selama menunggu, aku diharuskan bekerja di Jakarta selama satu bulan menjaga dua anak. Mereka bilang untuk pengalamanku yang tidak pernah bekerja sama sekali.
Aku pun menurutinya. Bekerja pada salah satu majikan selama satu bulan dengan gaji setengah harga. Alhamdulillah aku mendapat bos yang tak cerewet dan anak-anak yang mudah diasuh. Hingga waktu satu bulan bagaikan tak terasa. Saatnya aku kembali lagi ke asrama. Berkumpul bersama teman-teman seperjuangan dan guru pembimbing.
"Melihat dari biodatamu, saya yakin, kamu hanya akan bertahan tiga bulan di luar negeri," ucap salah satu pegawai yang berada di kantor pusat ketika aku datang untuk melihat visa yang katanya telah sampai.
Hanya kubalas dengan senyuman. Aku anggap itu cambuk penyemangat untukku.
Waktu berlalu, hari keberangkatanku telah tiba. Jika teman-teman yang lain, sebelum keberangkatan keluarga mereka akan datang ke asrama untuk sekedar berkumpul sebelum terpisah untuk jangka waktu yang lama. Namun, aku hanya mampu memandang kebahagiaan mereka dari salah satu sudut di asrama. Mak tak bisa datang. Bukan karena tidak ingin menemuiku, tetapi karena kendala biaya.
Hanya wejangan dan nasihat dari mak yang kudapat ketika menghubunginya via telepon pagi tadi.
"Ikut orang nggak mudah, Nak. Harus Jujur. Insya Allah majikan akan baik sama kamu. Kalau tidak betah, minta pulang saja. Jangan ditahan, ya, Nak!" Suara mak memenuhi gendang telingaku.
Sekuat tenaga aku menahan sesuatu yang berontak ingin keluar dari pelupuk mata. Hanya sanggup menganggukan menanggapi nasihat dari mak. Seakan beliau bisa melihat apa yang aku lakukan.
"Kalau ada apa-apa, bilang ke mak. Jangan disimpan sendiri. Jaga diri baik-baik di negeri orang. Kalau sudah sampai di sana, jangan lupa kasih kabar, ya!"
"Mak juga jaga kesehatan. Jangan bekerja terlalu lelah. Restui setiap langkah yang akan aku jalani ini, Mak."
"Restu mak selalu menyertaimu. Dimanapun kamu berada, jangan lupa asal-usulmu. Ingat ya, Nak!"
Aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi, hanya isak tangis yang keluar dari bibirku. Sedangkan mak, masih menyampaikan nasihat-nasihatnya untuk aku ingat.
30 menit waktu yang diberikan untuk menelpon telah habis. Setelah mengakhiri percakapan dengan mak, aku beranjak kembali ke asrama untuk mempersiapkan keperluan yang akan dibawa besok pagi.
15 Desember 2009, pukul 09:15 WIB menggunakan pesawat Cathay dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta aku terbang ke Hong Kong.
Jujur, ini pengalaman pertama naik pesawat. Sedikit takut, deg-degan, keringat dingin, perut terasa kaku efek dari rasa tegang yang berlebihan. Nafsu makan pun hilang.
Setelah lima jam di udara, akhirnya pesawat berhasil mendarat dengan selamat di bandara Hong Kong.
Dingin, sapaan pertama di kulitku begitu tiba di HK. Ternyata sekarang musim dingin. Sedangkan aku hanya menggunakan baju lengan pendek dan celana di bawah lutut.
Dengan bahasa inggris yang kurang lancar, kuberanikan diri bertanya pada petugas yang ada di sana tentang arah di mana harus mengambil bagasiku. Karena sedari tadi aku berputar-putar di lantai yang sama, tak ku temukan petunjuk arah.
Ternyata aku harus turun satu lantai, kemudian naik kereta yang sudah disediakan untuk menuju imigrasi, keluar imigrasi baru bisa mengambil bagasi. Setelah mengucapkan terima kasih, aku melanjutkan langkah.
Kini aku sedang mengantri di bagian Imigrasi, sambil menahan rasa dingin aku mengamati sekitar.
Giliranku telah tiba, paspor, kontrak kerja dan dokumen lainnya aku serahkan kepada petugas Imigrasi Hong Kong. Ia mengamati komputer dan pasporku secara bergantian. Kemudian beralih melihatku lalu kembali lagi menatap layar komputer.
Aku memperhatikan dengan seksama apa yang ia lakukan.
"Berdirilah di pinggir sini! Kamu tidak bisa keluar dari bandara," katanya dengan jari telunjuk mengarah ke samping tempatnya duduk.
Aku bergerak menuruti perintahnya.
"Tunggu sebentar di sini."
Aku mengangguk. Hatiku dilanda rasa yang berkecamuk. Menunggu sesaat, hingga datang seorang perempuan berpakaian rapi memintaku untuk mengikutinya.
Kulangkahkan kaki dengan perasaan takut. Doa tak henti aku lafazkan dalam hati. Semoga Allah selalu melindungiku.
Hingga kami tiba di depan pintu sebuah ruangan. Tanganku sudah berubah sedingin es. Entah karena hawa dingin atau efek dari rasa takutku.
Di ruangan yang sedikit sempit, dengan tiga orang di sana mulailah interogasi yang mereka lakukan padaku.
Dari bertanya nama, tempat tanggal lahir, nama orang tua dan alamat rumah, hingga pertanyaan apakah dulu pernah bekerja di sini. Semua kujawab dengan tegas. Meski dengan bahasa campuran inggris dan kanton.
Ketiga petugas imigrasi saling berpandangan. Tak pernah sekalipun aku berada pada situasi seperti ini. Dicekal saat berada di negeri orang dengan bahasa yang tak dimengerti itu, tak bisa aku gambarkan dengan detail kecuali rasa panik dan takut yang merajai.
"Begini, data-data kamu sudah ada di komputer kami. Di sini diterangkan bahwa pemilik data sudah diblacklist. Benarkah yang tertera di paspor ini data aslimu?" ucap salah satu petugas imigrasi.
"Iya, itu semua data asli. Ini pertama kali aku datang ke Hong Kong." Tumpah sudah tangis yang sedari tadi kutahan. Rasa takut membuatku tak malu menangis di hadapan orang asing.
"Jangan menangis." Salah satu wanita petugas imigrasi berdiri di sampingku sambil menyerahkan selembar tisu.
Tangisku bukan reda malah semakin menjadi. Ya Allah, jika memang tak ada ridho-Mu untuk mengais rezeki di sini, maka aku ikhlas, tetapi jika ini jalan rezekiku, maka lancarkanlah segala urusannya. Aamiin.
Setelah aku sedikit tenang, petugas memintaku melakukan sidik jari. Setelah selesai aku diminta menunggu di luar ruangan. Entah apa yang akan mereka lakukan.
Hingga sore tiba tak ada kabar apapun yang aku dapat. Rasa lapar yang tadi aku rasakan sudah hilang entah kemana. Padahal dari pagi hingga sore ini tak ada yang mengisi lambungku selain air mineral.
Sudah hampir malam saat aku dipanggil dan diperbolehkan keluar. Mereka memberikan penjelasan jika sidik jariku tak sama dengan pemilik data di komputer mereka. Meskipun aku sudah bisa keluar, petugas imigrasi tetap memberikan cap merah pada pasporku. Tanda yang sampai detik ini tak kuketahui maksudnya.
"Kami sudah menelpon agency untuk menjemputmu. Ini barang-barangmu." Salah satu petugas imigrasi menyerahkan dokumen dan juga tas pakaian milikku.
Ya Allah, aku bahkan tak ingat jika bagasi belum aku ambil. "Terima kasih," kataku sedikit membungkukkan badan.
"Hati-hati, jangan sekalipun kamu memberikan data diri kepada orang lain. Semoga majikanmu baik," kata salah satu petugas imigrasi sambil menepuk pundakku.
"Akan selalu aku ingat. Terima kasih." Kujabat tangan mereka satu persatu. Kemudian melangkah keluar.
"Alhamdulillah, ya, Allah. Terima kasih atas semua ridho-Mu," ucapku lirih. Tak henti ku ucapkan rasa syukur dalam hati.
Hong Kong, 2 November 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
Story in Hong Kong
RomanceArsyana, gadis yang bercita-cita ingin menjadi seorang perawat. Namun, harus kandas karena keterbatasan biaya. Ia terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya meninggal saat Arsyana berusia sembilan tahun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Mak yang saat...