Part5

87 10 5
                                    

Fung Wen Hua kini telah berusia satu tahun. Mulai aktif belajar berjalan. Jatuh bangun lalu meraih apa saja yang berada di dekatnya untuk menopang tubuh mungilnya saat berdiri. Saat melihat wajah lucunya membuat lelahku hilang seketika. Obat yang mujarab untuk capek yang aku rasakan.

Huanran pun kini telah duduk di bangku sekolah dasar. Kegiatanku bertambah. Siang hari aku harus mengantar bekal untuk makan siangnya.

Mr dan Mrs Fung benar-benar sibuk bekerja. Waktu untuk berkumpul dengan anak-anak sangat jarang. Bahkan hampir tak pernah. Mereka tahu kembang tumbuh anaknya hanya melaluiku.

Anak-anak semakin dekat padaku. Setiap hari kami hanya bertiga. Menjaga dua anak ternyata melelahkan. Apalagi saat Huanran dan Fung Wen Hua sama-sama rewel.

Aku harus ekstra sabar menghadapinya. Karena Huanran kini tak mau mengalah dengan adiknya. Ketika ia ingin bermain denganku, maka aku pun diminta harus menuruti kemauannya. Ia tak peduli meskipun terkadang aku sedang menenangkan adiknya.

"Yana Cece, aku ingin bermain Wii denganmu." Huanran merengek ingin bermain game di TV ketika aku sedang menimang adiknya yang rewel.

Fung Wen Hua sedang demam. Jadi sedikit rewel dan tak mau turun dari gendongan. Padahal pundakku rasanya sudah sakit sekali.

"Kak Huanran main sendiri dulu, ya. Adik sedang sakit. Jadi Yana Cece harus memperhatikan dia dulu."

"Yana Cece milikku. Jadi harus terus denganku bukan adik." Huanran merangkul kakiku sambil menarik-narik untuk mengikutinya ke ruang bermain.

"Jangan ditarik, Kakak. Nanti Yana Cece jatuh. Main sendiri dulu, ya. Yana Cece lihat dari dekat."

"Nggak mau. Aku maunya Yana Cece ikut bermain bukan melihatku bermain." Huanran duduk di lantai dan menangis. Meskipun sudah sekolah dasar, Huanran masih senang  berperilaku balita.

Aku jongkok di hadapan Huanran sambil menggendong Fung Wen Hua. Aku berusaha memberi pengertian bahwa adiknya sedang sakit. Jadi memerlukan perhatian yang lebih.

"Kak Huanran sayang nggak sama Yana Cece?"

"Sayang, tapi Yana Cece nggak sayang lagi sama aku. Lebih pilih adik daripada bermain denganku," ucapnya disela isak tangis.

Mungkinkah Huanran cemburu atau merasa aku pilih kasih? Bisa jadi. Karena kedua orang tuanya sibuk dan tak sempat memperhatikan mereka. Itukah sebabnya Huanran menuntut perhatian lebih dariku? Mungkin.

"Yana Cece sayang kok sama Kak Huanran dan adik. Nggak ada yang lebih Yana Cece sayang. Kak Huanran 50 dan adik juga 50. Coba deh Kak Huanran hitung, 50 sama 50 mana yang lebih banyak?"

Huanran tampak berpikir sejenak kemudian berkata, "Sama banyaknya."

"Nah, kan. Jadi, nggak ada yang lebih Yana Cece sayang diantara Kak Huanran dan adik. Hanya saja, sekarang adik sedang sakit. Jadi, ia butuh perhatian yang lebih dari kita. Bolehkan kalau Kak Huanran meminjamkan 10 sayang yang Kakak punya dari Yana Cece untuk adik?"

"Nanti adik nggak mau kasih balik sayangnya?"

"Yana Cece yang jamin. Kalau adik sudah sembuh, pasti 10 sayang dari Kak Huanran akan dikembalikan."

"Baiklah. Aku kasih pinjam 10 buat adik," ucapnya sambil mencondongkan kepala ingin mencium Fung Wen Hua. Namun aku cegah karena adiknya sedang sakit.

Huanran akhirnya mau mengerti tentang keadaan adiknya dan berjanji padaku akan menurut. Setelah aku ajak mencuci muka, ia mulai bermain Wii sendirian dan aku mengawasinya dari dekat bersama Fung Wen Hua dalam gendonganku.

Kontrak kerjaku tinggal enam bulan lagi. Mrs Fung sudah beberapa kali menanyakan apakah aku mau lanjut kontrak kedua atau pulang. Namun, aku belum bisa memberikan kepastian.

Story in Hong KongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang