Part8

63 8 3
                                    

Sambutan pertama begitu aku sampai di rumah majikan adalah pelukan dari Fung Wen Hua dan Huanran. Mereka langsung menarikku ke ruang bermain. Tak memberikan kesempatan padaku untuk istirahat sejenak saja.

"Begitu tahu kamu mau pulang siang ini, mereka kompak ga mau tidur siang." Suara Mrs Fung yang berdiri diambang pintu menggagetkanku.

"Sekali-kali tak apalah tidak tidur siang, Madam. Lagian besok juga hari minggu," ucapku sambil tersenyum dan mengusap lembut kepala Fung Wen Hua yang duduk anteng di pangkuanku.

"Bagaimana keadaan di rumah sana?" tanya Mrs Fung ketika ikut bergabung dengan kami di ruang bermain.

"Baik-baik saja. Ibuku juga titip salam dan ucapan terima kasih atas oleh-oleh dan hadiah dari Madam."

"Tak perlu lah berterima kasih. Saya yang berterima kasih sudah diizinkan meminjam anak satu-satunya untuk bekerja di sini. Lalu bagaimana dengan kekasihmu?"

Mrs Fung memang mengetahui hubunganku dengan Eros. Ia juga tahu tentang kejadian di hari pertama kedatanganku di Indonesia.

Aku pun menceritakan semua kejadian yang terjadi selama aku berada di Indonesia. Terutama tentang Eros. Dari Mrs Fung aku mendapatkan banyak nasihat dan motivasi.

Hingga cerita hari-hari aku menghabiskan waktu bersama mak di rumah. Iya dua minggu memang kami habiskan hanya berdiam di rumah. Sesekali berkunjung ke rumah saudara mak.

Aku belum bisa mengajak mak jalan-jalan atau membuatnya senang. Karena uang yang dihasilkan belum cukup untuk sekedar rekreasi di tempat wisata terdekat.

Masih ada sejumlah hutang yang harus aku selesaikan. Alhamdulillah mak pun mengerti. Meskipun dihatiku, ada rasa penyesalan dan sedih yang  mendalam tak bisa mengajak mak melihat keindahan di luar sana.

Aku hanya mampu bertekad dalam hati untuk bekerja lebih semangat lagi. Agar dua tahun ke depan, aku bisa mengenalkan keagungan dan keindahan panorama dunia di luaran sana.

Begitu asyiknya kami mengobrol, tanpa sadar Fung Wen Hua tertidur dan Huanran pun tidur di karpet berdampingan dengan beberapa bonekanya.

"Kamu pindahkan mereka dulu ke kamar. Setelah itu istirahatlah dulu. Nanti malam tidak usah masak. Kita delivery saja." kata Mrs Fung sambil keluar ruangan bermain.

Aku pun memindahkan Fung Wen Hua dan Huanran secara bergantian.

Setelah selesai makan malam dan merapikan perlengkapannya, aku pun mengepel dan menyelesaikan pekerjaan yang lain. Baru setelahnya aku membersihkan diri dan beristirahat tidur setelah Fung Wen Hua dan Huanran tertidur.

Malam semakin larut, tetapi aku masih belum berhasil memejamkan mata. Rindu dengan mak juga teringat akan penghianatan yang Eros lakukan.

Aku menangis tanpa suara. Sesak di dada. Hanya airmata yang terus mengalir membasahi bantal yang aku gunakan. Meskipun berulang kali aku lafaz-kan tak perlu menangisi lelaki seperti dia.

Namun, malah membuat airmata ini jatuh semakin banyak. Sekeras aku berusaha melupakan, bayangannya semakin kuat menari di pelupuk mata.

Lelah menghujani bantal, akupun tertidur entah jam berapa. Pagi hari terbangun dengan kepala yang sedikit pusing juga mata yang membengkak. Membuat seluruh penghuni rumah terkejut.

"Apa yang terjadi dengan matamu, Yana?" Mrs Fung terkejut ketika melihatku duduk di dapur sambil mengompres mata menggunakan es batu.

"Tidak masalah, Madam. Hanya sedikit bengkak."

"Kamu menangis? Nonton drama korea atau menangisi mantanmu?" ucap Mrs Fung dengan senyum meledek di akhir perkataannya.

"Ya, hanya sebentar aku menangis. Tapi akhirnya malah jadi begini mataku."

Mrs Fung tertawa mendengar pernyataanku. Kemudian berkata, "Hal berharga apa yang  ada pada mantanmu hingga kamu menyiksa diri menangisinya begitu? Please, Baby. Smart! Jangan habiskan waktumu untuk menyesali hal yang tak penting. Lanjutkan hidupmu dengan kebahagiaan. Smile! Kasih lihat ke dia, kamu bisa."

"Beri aku waktu untuk terbiasa dengan keadaan ini. Aku janji suasana hatiku tak akan mempengaruhi pekerjaanku."

"Saya percaya kamu. Hanya saja tak ingin kamu berlarut terlalu lama dalam kesedihan."

"Thank you, Madam."

Aku pun ingin segera mengakhiri kegalauan ini. Namun semua butuh proses. Tak semudah membalikan tangan. Hanya berharap semoga waktu perlahan akan menggantikan kenangan penuh luka dengan kebahagiaan. Agar aku tak perlu lagi meratapi kesedihan.

Tahun ini Fung Wen Hua berusia tiga tahun. Ia mulai bersekolah playground. Lalu mengikuti kelas berhitung dan kelas bersosialisasi dengan lingkungan umum. Sehingga aku jarang di rumah. Karena harus mengantar jemput kadang juga menunggunya. Sedangkan Huanran dijaga oleh kakek, ayah dari Mr Fung.

Semenjak itu, aku jadi memiliki banyak kenalan sesama Cece yang antar jemput anak asuh mereka. Bahkan dari mereka ada yang tinggal dekat dengan kampungku. Kami saling bertukar no HP juga media sosial.

Meskipun aku belum memiliki HP sendiri, Mrs Fung memberikan fasilitas handphone untuk aku pakai ketika keluar rumah. Juga ia membuatkan akun facebook untukku mengenal dunia maya. Dengan syarat, aku hanya boleh menggunakannya ketika malam hari setelah selesai pekerjaan.

Aku pun tak keberatan. Karena bagiku yang paling penting adalah aku bisa berkomunikasi dengan mak. Jika dulu sebulan sekali, sekarang aku bebas menghubungi mak asalkan tidak sedang menjaga anak-anak atau melakukan pekerjaan.

Teman-teman yang sama-sama antar jemput anak asuh mereka sering menanyakan hari liburku dan mengajak berkumpul bersama. Namun aku jelaskan bahwa jatah libur tak kuambil dengan alasan majikan sibuk bekerja. Mereka pun bisa mengerti.

Meskipun tak libur, aku tak pernah merasa bosan atau jenuh. Karena setiap Sabtu atau Minggu aku diharuskan membawa Huanran dan Fung Wen Hua ke taman bermain. Agar mereka bisa relax dari penatnya lima hari penuh belajar dan sekolah.

"Yana, aku pinjam paspor kamu buat pinjam dana ke bank, ya?" ucap Ipah salah satu teman yang aku kenal ketika mengantar jemput Fung Wen Hua sekolah.

"Hah!" Aku terkejut. Tak pernah terpikir olehku kalau ada yang seberani itu meminjam dana ke bank.

"Aku butuh tambahan dana buat bikin rumah. Kalau nunggu gaji kelamaan."

"Aku ya ga berani kasih pinjam paspor. Kenapa tidak coba pinjam ke majikan saja, Ipah!"

"Majikanku mana mau kasih pinjam uang sebanyak itu. Boleh ya aku pinjam paspor kamu. Aku ga bakalan kabur kok."

"Gimana ya, Ipah. Bukan ga mau kasih pinjam. Tapi paspor aku ada di majikan. Ga enak hati aku mau ngambil."

"Loh, kamu ini gimana toh. Paspor itu dipegang sendiri. Jangan kasih ke majikan! Besok minta wae terus tak pinjam, ya!" Nada suara Ipah bersemangat mengompori agar aku mengambil paspor dari Mrs Fung.

"Tak simpan sendiri takutnya malah hilang."

"Pokoknya nanti kamu pulang terus diminta. Disimpan sendiri. Terus aku pinjam buat ngajuin dana ke bank."

"Nanti aku coba bilang dulu, ya. Tapi aku ga janji loh!"

Setelah berbincang sebentar, kami pun berpisah kembali ke rumah majikan masing-masing karena anak-anak sudah pulang sekolah.

Hong Kong, 20 November 2019

Story in Hong KongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang