Part9

68 10 16
                                    

Pekerjaan telah beres. Anak-anak pun sudah tertidur. Aku berbaring sambil bertukar pesan via WA dengan salah satu teman dekatku, Intan.

[Ipah mau pinjam paspor buat ambil dana di bank. Ada bilang ke kamu ga, Tan?]

[Kapan dia ngomong ke kamu. Ga berani lah dia pinjam ke aku. Pasti tak damprat duluan]

[Kemarin waktu jemput anak-anak pulang sekolah. Gimana baiknya?]

[Tolak aja! Bilang paspor dipegang majikan. Aman!]

[Aku tuh ga enak lah nolaknya, Tan. Masa harus bohong. Kemarin aku sudah bilang gitu. Eh, dia malah nyuruh aku minta ke majikan.]

[Yana sayang, di sini tuh kita harus pandai jaga diri sendiri. Jangan pinjamkan paspor kepada siapapun. Itu ibarat nyawa kamu saat berada di sini. Nanti kamu sendiri yang susah kalau sampai dia berhasil pinjam bank kemudian kabur. Tagihannya harus kamu yang bayar karena pakai paspormu. Pokoknya jangan dipinjami, titik!]

Intan membombardir chat menggunakan emot marah. Pesan darinya hanya kubalas singkat dengan kata okay. Aku memikirkan bagaimana besok memberi alasan yang tepat agar tak menyinggung perasaan Ipah. Lelah berpikir aku pun tertidur.

Pagi hari seperti biasa, setelah Huanran rapi dan siap berangkat sekolah, Mrs dan Mr Fung akan mengantarnya sekalian berangkat kerja. Sedangkan aku masih harus mengurus keperluan Fung Wen Hua bersekolah.

Sarapan, tas sekolah dan seragamnya telah aku siapkan. Kini waktunya membangunkan Fung Wen Hua karena waktu menunjukkan pukul 07:30 am. Sudah saatnya ia bersiap-siap.

Jarak antara apartemen ke sekolah sekitar 30 menit di tempuh dengan jalan kaki. Fung Wen Hua bersekolah selama tiga jam. Sambil menunggu dia pulang, aku memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk belanja, membersihkan rumah sambil memasak makan siang untuk kami berdua.

Namun, kadang aku tak perlu memasak saat kakek berkunjung. Dia akan membelikan makan siang. Jadi aku hanya perlu memasak untuk makan malam.

"Tumben agak telat datang jemputnya, Yana," ucap Ipah ketika aku masuk barisan antri para penjemput di belakangnya.

"Iya. Tadi keasikan beres-beres rumah sampai lupa waktu." Aku tersenyum.

"Gimana paspornya?"

"Emmm ... gimana, ya!" Aku menggaruk tengkukku yang tidak gatal.

"Gimana apanya, toh! Kamu sudah bilang ke majikan belum?"

"Sudah, kok. Majikanku malah tanya buat apa paspornya."

"Terus?" Ipah terlihat tak sabar mendengar kelanjutan ceritaku.

"Ya, aku bingung mau jawab apa. Jadi aku asal jawab mau bikin rekening bank. Eh, dia malah malah mau antar langsung. Ga kasih paspornya." Aku terpaksa beralasan seperti itu agar tak menyinggung perasaan Ipah saat aku terang-terangan menolak meminjamkan paspor.

"Kamu pasti ga percaya sama aku, kan. Makanya ga mau kasih pinjam." Ipah pun melengos membalikkan badan membelakangiku. Ia tak meresponku panggilanku. Entah marah atau kesal, aku pun tak tahu. Tapi paling tidak aku sudah mengamankan diriku sendiri. Bukan tak percaya, hanya saja aku merasa perkataan Intan dan pria paruh baya yang menjemputku dulu itu ada benarnya.

"Berada di negara orang, hanya diri kitalah yang bisa melindungi diri sendiri. Bukan orang lain. Maka dari itu sedekat apapun, jangan berikan dokumen pribadi kepada orang lain."

Perkataan itu akan selalu aku ingat sampai kapanpun.

Meskipun merasa tak enak hati telah menolak keinginan Ipah, aku meyakinkan diri bahwa apa yang kulakukan adalah benar. Walaupun aku tahu berbohong sekecil apapun tetaplah sebuah dosa. Walaupun niatku hanya menjaga perasaan Ipah jika terang-terangan kutolak.

Story in Hong KongTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang