"Aku mencintaimu, Choi Heera!"
Untuk kesekian kalinya Heera menepuk kedua pipinya agak keras. Berulangkali menggelengkan kepala, berusaha mengenyahkan bayangan Jongdae — lebih tepatnya bibir Jongdae.
Bahkan sampai saat ini, Heera masih bisa merasakan kelembutan dan kekenyalannya. Sensasi basah akibat saliva keduanya. Ibu jari Jongdae yang dengan lembut membelai pipinya. Jangan lupa, tatapan mata Jongdae yang begitu memenjarakan Heera. Membekap luapan kata kasar yang bisa saja dia lontarkan, tapi urung karena terlalu memabukkan.
"Ice Latte Macchiato satu!"
"..."
"Nona, apa kau dengar pesananku?"
"..."
"Permisi, Nona!!! Aku pesan satu Ice Latte Macchiato!!
Tok
Tok
TokPemuda itu mengetuk meja kasir dengan keras. Heera segera tersadar dari lamunannya.
"Ah, iya! Maafkan saya, Anda tadi pesan apa?"
"Ice Latte Macchiato satu!"
Jarinya segera mengetik lincah di keyboard. Menarik struk pembelian dan menyerahkannya. Tak lupa dengan berulang kali mengucapkan maaf dan membungkukkan badannya sedikit karena terhalang meja kasir.
Ayolah Ra, jangan menggila karena perilaku Jongdae tadi. Bisa-bisa kau dipecat sia-sia!! - Heera.
Berusaha mengenyahkan pemikiran konyolnya itu, Heera menyibukkan diri dengan memasukkan data penjualan hari ini. Untunglah pengunjung kafe tak terlalu ramai, jadi dia tak mengecewakan banyak orang.
"Kenapa? Sakit lagi?" tanya Mark tetiba sudah berada di sebelah Heera, setelah menyerahkan sebuah pesanan pelanggan.
"Terima kasih, selamat menikmati!" ucapnya kepada pelanggan sambil mengangguk pelan.
"Tidak — aku baik-baik saja!"
"Yakin?"
"Hmmm"
"Lalu dari tadi kenapa? Ada masalah?"
Anugerah lebih tepatnya - batin Heera.
"Bukan. Aku tidak apa, Mark".
Mark tidak lagi melanjutkan pertanyaannya. Dia paham Heera seperti apa. Sekeras apapun dia bertanya, kalau memang Heera belum ingin cerita, sia-sia saja. Dia berjalan melewati Heera sambil menepuk bahunya pelan.
Selesai membersihkan kafe dan yakin sudah menguncinya, Heera berjalan santai menuju halte terdekat. Hari ini memang jadwalnya untuk membawa kunci kafe, Mark sudah pulang lebih dulu karena ada urusan. Berjalan sambil bersenandung lirih, Heera memasukkan kedua tangannya ke saku jaket, sebelah pundaknya menjadi tautan tas kecil yang selalu ia bawa saat bekerja.
Masih belum terlalu larut, beberapa kendaraan berlalu lalang di jalanan. Di trotoar pun masih ada beberapa pejalan kaki yang melintas, semuanya saling acuh dengan siapapun yang berpapasan dengannya. Sibuk dengan smartphone yang ada di genggaman masing-masing. Sejenak Heera bersyukur tidak memiliki benda itu, dia jadi punya banyak waktu untuk memperhatikan sekitar.
Namun, langkah Heera mendadak terhenti. Dengan segala kesadaran dan kepekaan telinganya, dia sangat yakin ada yang menguntitnya. Langkah kaki di belakangnya ikut terhenti saat itu juga. Heera mencoba bergerak beberapa langkah, yang di sana pun ikut bergerak. Berhenti sambil sedikit melirik melalui celah bahunya, benar saja dia juga ikut berhenti lagi.
Deru jantung Heera mulai tidak santai. Kedua tangannya terkepal di dalam saku jaket. Sedikit melirik ke sisi kanan dan kiri, berharap ada seorang pejalan kaki yang ia kenal, tapi nihil. Menarik nafas kencang dan menghembuskan lagi dengan kasar, Heera sudah mengambil ancang-ancang untuk berlari. Di depan sana ada minimarket yang biasanya masih ramai di jam segini. Sepertinya itu lebih aman daripada di tempatnya sekarang.
Saat kaki kanannya sedikit terangkat untuk bergerak, sebuah tangan menarik lengannya hingga terlepas dari saku jaket. Sudahlah lupakan tentang keinginan untuk melarikan diri, saat ini juga Heera sudah berteriak lantang sambil mengibaskan tangannya. Sangat berharap agar cengkeraman itu terlepas. Matanya terpejam akibat rasa takut yang sudah di ujung kepalanya.
"AAAAAAAHHHHH!!"
"Yak yak yak, Heera!!"
Cengkeraman tangan itu semakin erat, bahkan sebelah tangan pria itu menarik bahu Heera agak berbalik ke belakang dan menghadapnya.
"Heera-yaa, Choi Heera!!"
"Kumohon jangan sakiti aku!! Pergilah!!! Aku tak punya uang atau barang berharga!!!" Heera terus meronta sambil berteriak sebisanya, matanya jelas masih terpejam.
"CHOI HEERA!!! INI AKU!! BUKA MATAMU!!"
Masih dengan deru nafas yang tersengal, Heera terasa paham dengan suara ini. Perlahan aroma khas menguar ke penciumannya. Mata Heera terbuka sebelah, mencoba meyakinkan dirinya bahwa pria di depannya saat ini memang sesuai dengan bayangannya.
Tubuhnya seketika merosot dan terduduk di trotoar tatkala mengenali sosok yang ditakutinya sampai sedetik yang lalu. Wajahnya memerah dan nafasnya terasa disumbat tepat di tenggorokannya. Kedua tangannya memegang dada, berusaha meredam debar yang menyakitkan rusuknya.
"Kau tak apa?" lelaki itu ikut berjongkok sambil memegang sebelah bahu Heera.
Heera menatapnya nyalang. Andai bisa ingin sekali ia menampar lelaki itu, mengucap aneka kata kasar tepat di depan wajahnya. Tapi nyatanya, Heera hanya diam meski sorot mata sudah sangat cukup menggambarkan emosinya.
"Hey, kau baik-baik saja?" saat ini wajah lelaki itu ikut menatap dengan pias. Memancarkan kekhawatiran dan rasa penyesalannya.
"Kumohon bicaralah sesuatu. Kau membuatku benar-benar khawatir, Ra!"
"Apa yang kau lakukan??!! Tak bisakah kau menyapaku dengan cara yang normal??!!!" Heera mengucapkan itu dengan satu tarikan nafas. Membuat nafasnya seperti telah mengitari stadion Jamsil.
"Dari tadi aku sudah memanggilmu, tapi kau sama sekali tidak menyahut. Jadi, aku mengikutimu dan bermaksud sedikit mengagetkanmu. Siapa yang tahu kalau ternyata kamu jadi benar-benar ketakutan seperti sekarang! Maafkan aku!"
Heera memukul lengan lelaki itu dan menangis sesenggukan. Sepertinya ini cara paling ampuh untuk meluapkan kekesalan dan kelegaannya. Seiring dengan pukulannya yang semakin kuat, air matanya pun ikut mengalir deras. Tanpa membalas atau berkata lagi, lelaki itu menggenggam kedua pergelangan tangan Heera dan menariknya. Sekali gerak, Heera sudah terselubung di dalam pelukannya.
"Maafkan aku! Sungguh aku sangat menyesal membuatmu ketakutan seperti ini! Maaf!"
Melupakan kenyataan bahwa sekarang mereka terduduk di trotoar, Heera mrmbalas pelukan dengan lebih erat. Menyembunyikan seluruh kepalanya di dada lelaki itu. Menangis dengan keras. Dia benar-benar ketakutan tadi. Imajinasinya menjadi liar membayangkan yang paling buruk bisa menimpa dirinya.
"Berhentilah menangis, kumohon! Kita masih di tengah jalan ngomong-ngomong".
"Bodo! Ini semua salahmu!" Heera menjawab dengan suara parau dan sedikit sesenggukan.
Lelaki itu terkekeh sambil membelai rambut Heera.
"Aku sudah sering disalahkan, tapi baru kali ini merasa sama sekali tidak keberatan".
Heera merenggangkan pelukan, tapi kedua tangannya masih tetap tertaut di punggung lelaki itu. Heera mendongak untuk menatap wajahnya. Meski hanya dengan bantuan lampu jalan, Heera masih bisa melihat ketampanannya disana. Wajah itu juga menatapnya dalam, menampilkan ekspresi yang tak mampu Heera pahami.
"Jongdae-yaa — hmmm"
"Ya?"
"Jongdae-yaa, kenapa — kenapa kau tetiba berubah?"
🍃🍃 3 NOV 2019 🍃🍃
![](https://img.wattpad.com/cover/199879312-288-k148840.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
GRAVITY ❌ KJD ✅
FanfictionCOMPLETED ✅ Judul sebelumnya : DAMN, I LOVE YOU! Kau berkata bahwa kau hanya mencintaiku Kalau hatimu akan selalu tinggal di sisiku Jadi, aku memberimu segalanya Lalu sekarang kau meninggalkanku? Aku masih menunggumu Bukankah aku? Hatiku akan selalu...