Step Brother II END

83.9K 4.9K 793
                                    

Entah sudah berapa kali aku mengeluh sakit dan memintanya untuk bermain sedikit lembut namun semua perkataanku tak diubris sama sekali. Ahh si brengsek ini.

"Pleasehhh ahhh.. sudah kak shh nghh~ s-sakithh.." aku mencengkram bahunya kala tusukannya semakin liar menandakan dia akan segera klimaks. Persetan! Aku lelah dan entah ini sudah klimaksku yang keberapa.

"Shhh! Wait a sec babe ngrrhhh!" bisiknya rendah dengan geraman. Demi Tuhan dia sangat seksi, tapi aku juga benar-benar lelah. Hei ini sudah hampir 5 jam -_-

"Anghhhh! Cum! Kakk--" pekikku saat klimaks sudah didepan mataku.

"Yeah.. together bitch!"

"Ngrhhh argh! Ough shitt!" Geramnya dan aku hanya bisa menggelinjang hebat kala cairan itu menyemprot deras didalam lubangku hingga nafasku tercekat beberapa detik untuk menikmati klimaks saat ini.

"Hahhh dalam mhhh.. terlalu dalam sshhh~" ucapku dengan rakus menghirup oksigen untuk memenuhi paru-paruku yang kosong.

"Apa yang dalam uhm?" ucapnya menggodaku sambil menggesekkan hidung tingginya pada hidungku.

"Penismu, sialan!" tawanya pecah saat aku marah. Memang dia laki-laki paling bajingan yang pernah aku tiduri.

"Tapi enakkan?"

"Shut up! Cepat keluarkan penis mesummu itu sekarang!" pekikku sambil mendorong tubuhnya. Tentu saja gagal.

"Tidak mau. Ini hangat... unghh~~" tiba-tiba ia menggoyangkan pinggulnya yang otomatis membuat kejantanannya bergerak di dalam lubangku. Jujur saja semua yang ia lakukan memang terasa nikmat hingga aku kepayang. Dia sangat ahli dalam hal ini.

"Kak Jeno please-- ahhh~ tidak lagi.."

"One more round, okey?"

"Ti-Tidakk ahhhh... kak--"


-----


Jika dihitung dari pertemuan awal kami saat itu, sekarang sudah memasuki bulan ke 3. Dan selama itu pula hubungan ini berjalan tanpa sepengetahuan ke dua orangtua kami. Ibuku tau aku anak yang seperti apa. Dia bahkan pernah melihat dengan mata telanjang saat aku melakukan sex di apartemenku dulu, dengan pria bule tentu saja. Itu sex pertamaku ngomong-ngomong. Tapi aku tidak tau ayah tiriku menyadari karakter asliku atau tidak. Dia nampaknya terlihat biasa saja dan tidak menaruh curiga. Tapi apa dia tau kelakuan bejat anaknya?

Tok Tok Tokk!!

Cklekk!

Sebuah kepala menyembul dari pintu kamarku. "Hei! Kau ingin membuat kami mati kelaparan? Ayo sarapan!" ujarnya kasar.

Ya, Jeno memang memiliki cara bicara yang kasar. Ibuku juga sudah bisa membaca bagaimana Jeno itu hidup. Tapi sepertinya ia tak keberatan karena anaknya sendiri pun hidup di garis yang salah sejak awal. Iya, itu aku.

"Uhm, sebentar."

Aku pelan-pelan turun dari kasur setelah menyibak selimut. Rasa ngilu itu kembali datang hingga membuatku meringis.

"Apa sesakit itu?" Tanyanya yang tiba-tiba saja sudah ada di depanku.

"Sial! Pikir sendiri!" alisnya bertaut tidak suka.

"Hei! Mulutmu itu kasar ya. Aku lebih tua disini!"

"Berkacalah. Peduli apa aku?" lalu sambil menahan perih dan ngilu aku pergi ke lantai satu untuk sarapan.

Like It! Like That!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang