Part - 12

5.1K 255 24
                                    

   Ali terkekeh geli karena sikap istrinya pagi ini sangat menggemaskan. Bagaimana tidak? Sejak bangun dari tidurnya,  Prilly tidak mau lepas dari dekapannya. Bahkan Prilly melarangnya untuk tidak pergi bekerja hari ini. Oh sepertinya sikap manja istrinya sedang kumat. Ia tidak diperbolehkan pergi ke mana-mana. Sampai saat ini pun, Prilly masih dengan eratnya bergelayut manja di lengannya. Dan juga kedua pipinya rasanya becek karena Prilly tak henti-hentinya mengecupnya dengan kecupan bertubi-tubi.

   "Sayang, geli tau." Protes Ali lagi-lagi Prilly mengecup pipinya berkali-kali. Prilly terkekeh pelan kemudian kembali mengecup pipi Ali sekali lagi.
   
   "Kamu gak bakal temuin dia tanpa sepengetahuan aku kan?" Kening Ali mengernyit mendengar pertanyaan Prilly.
   
   "Dia siapa? Tasya?" Tanya Ali lagi. Karena ia tak mengerti dia yang dimaksud oleh Prilly. Prilly mengganggukkan kepalanya membuat senyum Ali mengembang. Sepertinya istrinya ini sangat tidak suka kepada Tasya. Ali mengelus bahu Prilly yang berada didekapannya.

   "Gak sayang, kamu tenang aja. Aku gak bakal ngelakuin apa yang istri aku gak suka." Jawab Ali membuat Prilly terdiam menatap Ali.

   "Beneran? Gak bohong?"

   "Bener sayang, aku gak bohong."

   "Awas aja kalo kamu diem-diem temuin di, apalagi ngurusin dia. Aku marah banget sama kamu."

   "Ya Ampun sayang, aku kan udah bilang gak bakal temuin dia lagi."

   "Lagian aku kesel sama mamahnya dia, kenapa harus minta bantuan sama kamu. Emangnya gak ada orang lain apa! Heh!"

   "Udah sayang, gak usah dibahas lagi." Prilly menganggukkan kepalanya membuat Ali tersenyum dan mengacak gemas rambut Prilly.

   "Aaa rambut aku!"

***

   "Ya sudah, Ali, tidak apa-apa, jangan dipaksakan. Tante mengerti keadaan kamu."

Klik.

   Tesa mengakhiri sambungan teleponnya dengan Ali. Ia menghela nafas pelan, sedikit kecewa ketika mendengar Ali tidak bisa membantunya untuk merawat Tasya. Meskipun begitu, Tesa mengerti bagaimana keadaan Ali saat ini. Tentu saja, istrinya tidak akan membiarkan sang suami mengurusi perempuan lain. Lagi, Tesa menghembuskan nafasnya. Diliriknya Rafael yang sibuk mengoceh di hadapan Tasya. Sepertinya, Rafael begitu semangat mengajak Tasya berintetaksi, meskipun jarang sekali mendapat respon. Tapi setidaknya, Tesa merasa sedikit lega, masih ada laki-laki yang mencintai putrinya dalam keadaan seperti ini.

***

   "No, sayang, kamu gak boleh lakuin itu!"

   "Tapi aku mau, please, gak bakal kenapa-napa kok."

   "Bahaya, sayang, biar aku aja yang ambilin ya?"

   "Gak mau, Ali. Aku mau manjat sendiri!"

   "Tapi ini pohonnya tinggi, kamu gak akan bisa manjatnya."

   "Kamu kok raguin kemampuan aku, sih? Aku bisa, Ali, ini gak seberapa tingginya!"

   Ali menghela nafas berat, sejak tadi perdebatannya dengan Prilly 'tak kunjung usai. Istrinya begitu keras kepala, membuat Ali mengerang frustasi karenanya. Bagaimana tidak, siang bolong seperti ini, Prilly ingin memanjat pohon jambu milik tetangganya. Tentu saja Ali melarangnya, karena itu tidak baik dan bahaya jika wanita hamil memanjat pohon jambu yang cukup tinggi.

   "Please," ucap Prilly, menatap Ali dengan raut memohonnya, bahkan matanya kini tampak memerah. Ali mendesah pelan, 'tak tega juga melihat tatapan memohon istrinya.

    "Aku cariin galah, ya? Kita ambil jambunya pakai galah, oke?" Ali mencoba merayu Prilly dengan suara lembutnya.

   "Gak baik lho, perempuan hamil manjat-manjat pohon, apalagi ini pohonnya tinggi. Aku gak mau kamu dan bayi kita kenapa-napa. Jadi, kita ambil cara aman aja, oke sayang?"

   Melihat tatapan yang begitu lembut dan meneduhkan dari Ali, Prilly terdiam dan sesaat kemudian, ia menyadari betapa keras kepalanya ia ingin memanjat pohon. Padahal, Ali melaranganya karena tidak ingin terjadi sesuatu yang membahayakannya dan juga bayinya.

   Detik berikutnya, Prilly menangis terisak membuat Ali semakin dibuat bingung.

    "Lho, sayang, kok nangis sih? Kenapa nangis? Heiii." Ali menangkup wajah Prilly, menghapus air mata Prilly kemudian mendekapnya.

   "Sssttt, jangan nangis dong, aku kan jadi bingung," ucap Ali seraya mengusap punggung Prilly yang kini berada dipelukannya.

   "Hiks, maaf ...." Prilly melepaskan diri dari pelukan Ali dan menatap Ali dengan wajah yang sudah dipenuhi air mata, langsung saja Ali mengusap wajah Prilly.

   "Aku buat kamu susah, buat    kamu bingung, aku keras kepala ... maaf," ucap Prilly disela-sela isakannya. Sementara Ali bernafas lega, akhirnya istrinya sadar.

    "Gapapa sayang," jawab Ali tersenyum. Barulah Prilly berhenti menangis.

    "Ya udah, aku cariin galah buat ambil jambunya ya?"

   "Aku mau kamu yang manjat dan ambil jambunya sendiri, kan kamu yang larang aku buat manjat pohonnya." Ali terdiam, kemudian melirik pohon jambu di hadapannya cukup tinggi dan besar.

    "Huuhhh" Ali menarik nafas kemudian menghembuskannya pelan. Sepertinya, ia harus memenuhi keinginan Prilly saat ini, sebelum Prilly berubah pikiran dan sebelum ia diamuk oleh ibu hamilnya ini.

    Malamnya, Prilly terus saja mengoceh seraya berdiri di depan cermin. Memerhatikan bentuk tubuhnya yang semakin melebar, karena memang usia kehamilannya sudah memasuki bulan ke-9.

   "Liat, deh, pipi aku makin kembung, ya? Badan aku juga melebar. Ali, kamu malu, ya, kalo badan aku kayak gini?"

   Ali menghela nafas pelan, mendengar pertanyaan Prilly yang entah sudah berapa kali ia tanyakan.

   "Sayang, sini deh ...." Ali yang sedang duduk di atas pembaringannya itu menepuk sisi sebelahnya agar Prilly menghampirinya. Prilly pun menurut, menaiki pembaringannya dan duduk di sebelah Ali.

    "Udah berapa kali kamu nanyain pertanyaan yang sebenarnya, kamu udah tau jawabannya?" Tanya Ali seraya menatap intens ke dua mata Prilly. Prilly menundukkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya tangan Ali menangkup wajah Prilly agar kembali menatapnya.

   "Jawab, sayang," ucap Ali.

    "Aku ... eumm ...."

    "Kamu gak yakin sama jawaban aku? Atau kamu gak percaya sama sekali sama aku?"

    "Bu ... bukan gitu, Ali. Perasaan takut ini gak bisa aku cegah," jawab Prilly akhirnya.

    "Takut apa? Takut aku cari yang lain gara-gara badan kamu gak bagus lagi?" tanya Ali yang langsung diangguki pelan oleh Prilly. Lagi, Ali menghela nafasnya, kali ini terdengar lebih berat.

    "Jadi, aku harus apa biar kamu yakin sama aku?" tanya Ali, lagi. Prilly menggeleng tidak tahu atas jawaban pertanyaan Ali.

   "Sayang, bentuk tubuh kamu kayak gini itu karna kamu lagi hamil, hamil darah daging aku. Jadi, aku gak mempersalahin soal bentuk tubuh kamu yang kamu bilang udah gak bagus. Aku gak peduli soal itu karna kamu akan terlihat cantik dan sempurna dalam keadaan apa pun. Apalagi, sebentar lagi kamu melahirkan. Rasa cinta aku akan semakin bertambah buat kamu, sayang."

    Prilly menatap Ali haru, tatapan Ali begitu tulus membuat Prilly merutuki dirinya sendiri karena sempat tidak yakin dengan apa yang diucapkan oleh suaminya itu.

Bersambung.

Hem, maaf, ya, kalau aku bakalan agak lama updatenya karena kuota menipis dan juga belum sempat ngetik buat chapter berikutnya;(
Stay terus ya;(

SWEET HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang