Part - 08

3.4K 187 0
                                    


   "Katanya kamu bakalan terus cinta sama aku hahaha katanya kamu gak bakal khianatin aku. Tapi kamu boong, hiks hiks kamu boong Li, kamu boong! Hahahaha"

Tesa memandang lirih ke arah Tasya yang sedari tadi tak henti-hentinya bergumam tidak jelas. Sebentar menangis, sebentar tertawa. Tak jarang pula ia menjerit histeris seraya menjambak rambutnya sendiri. Sudah satu minggu lamanya Tasya berada di tempat ini, tempat perkumpulan orang-orang yang mengalami gangguan kejiwaan. Sebenarnya, Tesa tidak tega melihat putrinya berada di tempat yang penuh dengan teriakkan orang-orang yang tidak waras ini. Namun, demi kesembuhannya pula, Tasya harus tinggal di Rumah Sakit Jiwa ini. Tesa yang kini berdiri tepat di ambang pintu ruang rawat Tasya, hanya bisa memandang Tasya yang kini sedang bersenandung sendiri di dalam kamarnya dengan boneka sapi dipelukannya. Boneka pemberian dari laki-laki yang sangat dicintai oleh Tasya itu tidak pernah lepas dari pelukannya.

   Tesa menyusut airmatanya sendiri, yang entah mengapa ia selalu saja menangis jika melihat keadaan putrinya. Jika satu minggu yang lalu Tasya tidak ngotot ingin bertemu Ali, pasti Tasya tidak akan seperti ini. Tasya pasti akan baik-baik saja. Pikiran Tesa kembali memikirkan kejadian yang membuat jiwa Tasya terganggu.

   Malam itu, malam dimana Tesa berjanji akan mempertemukan Tasya dan Ali. Mau tidak mau, Tesa harus menepati janjinya, karena sebagai orang tua, ia tidak akan tega melihat putrinya terus-menerus terpuruk dalam keadaan. Saat itu, Tesa membawa Tasya ke tempat tinggal Ali. Namun, tidak sampai menemui Ali. Tesa hanya memperbolehkan Tasya melihat Ali dari kejauhan. Tasya sempat terkejut saat melihat Ali keluar dari kamarnya seraya merangkul seorang perempuan yang tak lain adalah istrinya, Prilly.  Ingin sekali Tasya memaki perempuan yang dengan berani-beraninya mencium Ali. Namun, lengannya digenggam kuat-kuat oleh sang mommy. Hingga Tasya tetap bertahan di tempat persembunyiannya. Saat itu, Tesa dan Tasya bersembunyi dibalik pohon yang rindang yang tidak terlalu jauh dari kediaman Ali.

   "Mom, perempuan itu siapa?" tanya Tasya menatap sendu sang mommy. Tesa menghela nafas beratnya.

   "Perempuan itu istrinya Ali, Nak." jawab Tesa membuat Tasya bungkam seketika. Ia menggeleng tak percaya, kemudian kembali menatap ke rumah Ali. Namun Ali sudah pergi bersama istrinya.

Tasya kembali menatap Tesa, "mom, gak mungkin itu istrinya Ali. Ali kan pacar aku, mom." elak Tasya seraya mengguncang pelan bahu Tesa. Ini yang sebenarnya Tesa takutkan, Tasya tidak akan menerima kenyataan.

   "Kenyataannya memang begitu, sayang. Ali sudah menikah. Karena dia kira kamu tidak selamat saat kecelakaan besar itu terjadi," sahut Tesa mencoba meyakinkan putrinya yang sangat keras kepala ini. Tiga  tahun yang lalu Tasya memang sempat mengalami kecelakaan besar. Dimana pesawat yang ditumpanginya menuju Eropa tiba-tiba tenggelam dan hampir seluruh penumpang tidak dapat terselamatkan. Namun, takdir baik memihak pada Tasya, yang saat itu bisa selamat. Walaupun harus mengalami koma selama dua tahun.

   "Tapi kan aku selamat, mom. Aku masih hidup, kenapa Ali menikah dengan perempuan lain?" ucap Tesa. Suaranya terdengar bergetar, kedua matanya pun memerah menahan tangis. Tesa menggenggam dan mengelus kedua tangan Tasya, mencoba menguatkan.

   "Sayang, terimalah kenyataan. Mungkin Ali sudah terlalu lama menunggu, hingga akhirnya perempuan yang kini menjadi istrinya, berhasil membuat Ali jatuh cinta pada perempuan itu." Tesa berucap dengan nada selembut mungkin, agar Tasya dapat memahaminya dengan baik. Namun nyatanya, Tasya tetap tidak menerima. Kepalanya menggeleng berkali-kali. Airmatanya luruh seketika.

   "Gak mungkin Ali lupain aku gitu aja, mom. Aku sama Ali itu pacaran bukan cuma sehari dua hari. Tapi bertahun-tahun, mom. Jadi gak mungkin Ali lupain aku."

   "Tasya, ikhlaskan saja Ali, nak. Dia sudah bahagia. Dan kamu juga harus bahagia," ucap Tesa memeluk tubuh Tasya yang bergetar hebat akibat tangisnya kini sudah benar-benar pecah.

   "Hiks gak mom, Tasya gak bisa ikhlasin. Tasya cinta sama Ali, dan aku ini masih pacarnya Ali. Ali udah janji bakal nikahin aku." lirih Tasya dalam dekapan Tesa. Tesa mengelus punggung dan rambut Tasya dengan lembut. Berharap dengan ini Tasya bisa menenangkan diri. Cukup lama mereka sama-sama diam tak membuka suara, sampai tiba-tiba Tasya melepaskan diri dari dekapan Tesa dan mencengkram kedua bahu Tesa dengan kuat.

   "Kenapa mommy baru mengatakan hal ini sekarang? Kenapa mommy gak bilang sejak Tasya baru sadar dari koma? Kenapa mommy tega biarin Tasya terus-terusan memikirkan Ali, sedangkan Ali sudah bahagia dengan perempuan lain? Kenapa mom, kenapa?" Tesa terdiam pasrah menerima amukan Tasya. Karna memang, ini salahnya juga yang tidak menceritakan hal ini dari jauh-jauh hari.

   "Ini gak adil buat Tasya. Kalo Tasya menderita, Ali gak boleh bahagia. Dia juga harus menderita! Biar tau rasanya jadi aku yang terus-terussan berharap sama dia" desis Tasya dengan sorot mata tajamnya. Kedua tangannya terlepas dari bahu Tesa dan menggenggam erat jemarinya sendiri.

   "Ali gak boleh bahagia! Ali gak boleh bahagia, mom! Dia harus menderita, seperti yang aku rasain. Ali gak boleh bahagia hahaha dia harus menderita hikss dia harus menderita! Aaaaaaaa" Tesa terkejut saat tiba-tiba saja Tasya memekik keras seraya menjambak rambutnya sendiri.

   "Permisi, saya akan memeriksa keadaan Tasya,"

   Tesa tersadar dari lamunannya, saat seorang dokter menepuk bahu kirinya dari belakang. Sontak, Tesa menoleh dan menghapus airmatanya sendiri.

   "Oh, maaf. Saya menghalangi jalan." ucap Tesa diiringi kekehan kecilnya. Kemudian, ia sedikit menggeser posisinya supaya dokter perempuan itu bisa memasuki ruangan Tasya.

***

   "Sayang?" panggil Ali saat ia tak menemukan sosok yang dicarinya. Ali menutup pintu utama, dan berjalan menuju kamarnya untuk mencari istrinya.

   Ketika Ali membuka kamarnya, ia melihat Prilly yang terduduk di atas kursi rias menghadap cermin seraya mengoles lip gloss pada bibirnya. Prilly terkejut, saat melihat bayangan tubuh Ali terpantul di cermin.

   "Eh, kamu udah pulang? Maaf, aku baru selesai mandi. Aku juga gak denger suara mobil kamu tuh." ucap Prilly yang kini berdiri mendekati Ali yang tengah duduk di tepi ranjang. Ali tersenyum, saat Prilly mencium punggung tangannya, membukakan jas formalnya, membantu melepas dasinya dan juga membukakan sepatu pantofel miliknya. Istrinya benar-benar sangat berbakti. Ali menarik Prilly hingga ikut duduk di sampingnya. Kemudian, Ali mendekap Prilly dan mengecup kening istrinya dalam-dalam.

   "Hari ini, apa aja yang kamu rasain? Apa si kecil nakal di dalam sini?" tanya Ali seraya mengelus lembut permukaan perut Prilly yang kini sudah terlihat membuncit. Badan Prilly pun semakin terlihat berisi.

   "Dia aktif banget di dalem, sayang. Tadi sih aku sempet muntah tapi gak lama kok." jawab Prilly membuat Ali tersenyum, kemudian Ali menundukkan kepalanya untuk mencium perut istrinya.

    "Sehat terus di dalam ya, sayang. Jangan buat Bundanya capek, kasian kan Bunda berat bawa-bawa kamu di sini," bisik Ali tepat didepan perut Prilly. Prilly tersenyum, belum lahir saja, Ali sudah terlihat sangat menyayangi anaknya. Apalagi nanti jika sudah lahir. Prilly mengelus rambut Ali membuat Ali kembali menegakkan ke posisi semula.

   "Mandi gih," perintah Prilly. Namun dijawab gelengan kepala oleh Ali.

   "Aku mau istirahat dulu sebentar. Kamu bikinin aku kopi ya?"  Prilly menganggukkan kepalanya kemudian berjalan keluar kamarnya untuk membuatkan suaminya secangkir kopi panas.
.
.
Bersambung.

Jangan lupa vote dan follow my account.:)

SWEET HUSBANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang