Surat Wasiat

13.3K 1.3K 134
                                    

Untuk Oma,
di tempat yang teduh.

Oma, bertahun-tahun sudah kita hidup bersama. Saya tidak ingat pastinya berapa lama, tapi kita sudah serumah sejak Papa dan Mama bercerai. Walaupun kita sering rebutan tv, yang mana saya mau menonton Upil Ipil tapi Oma ingin menyaksikan sinetron azab indosair, saya tetap yakin Oma adalah nenek terbaik.

Perihal umur dan takdir, kita tidak bisa menerka. Meskipun umur Oma lebih tua dari saya, kemungkinan besar sayalah yang mati duluan. Tolong jangan salah paham dulu, Oma. Saya tidak sakit parah lalu menyembunyikan penyakit (seperti kisah di novel-novel koleksi Oma). Saya hanya sedikit lemah. Iya, saya memang lemah.

Oma sering bilang anak laki-laki tidak boleh menangis. Dan ya, saya tidak menangis. Saya berhasil menahan itu. Tapi Oma, saat ini rasanya saya sudah tidak tahan. Saya tidak bisa lagi. Saya capek.

Mungkin Oma bertanya-tanya saya ini sebenarnya kenapa. Tapi tidak usah begitu, Oma. Jangan terlalu dipikirkan. Jangan pernah! Sebab asal Oma tahu, saya sendiri tidak paham saya ini kenapa.

Yang saya tahu, ada yang salah di diri saya. Entah apa namanya. Yang pasti, sesuatu yang salah ini sudah menikam saya terlalu lama. Saya merasa tercekik. Dada dan tenggorokan saya sakit. Untuk bernapas pun rasanya amat tersiksa.

Saya adalah cucu terburuk. Saya akui itu. Saya telah membuat Oma repot sejak Papa dan Mama berpisah. Saya akui juga itu. Saya bodoh. Iya, memang. Sudah bodoh, lemah pula.

Seandainya waktu itu saya mendengar ucapan Oma untuk diam di rumah, mungkin kecelakaan itu tidak pernah terjadi. Kaki saya masih bisa menggiring bola dan mungkin saat ini saya bisa memberi penghidupan yang layak untuk Oma dengan sepak bola.

Lalu, seandainya di SMA saya belajar lebih giat, sudah pasti saya masuk perguruan tinggi negeri idaman saya. Biaya kuliah PTN tidak semahal swasta, bukan? Oma, maafkan saya yang saat itu gagal. Saya memang selalu salah. Saya bodoh. Tidak berguna. Seandainya saya masuk PTN, mungkin saat ini saya sudah bekerja di kantor elit. Bukannya malah sibuk revisi skripsi.

Tolong jangan salah paham, Oma. Saya merasa kacau begini bukan karena tertekan skripsi. Dosen-dosen saya, semua baik. Saya saja yang bodoh dan tidak berguna. Sekali lagi, semua kesialan, kemalangan, dan ketidakberuntungan, semua itu adalah kesalahan saya.

Sebagai guru bahasa indonesia, Oma mungkin akan menemukan banyak kesalahan pada surat ini. Maaf jika nanti saya tidak sempat memperbaikinya.

Oma, jagalah diri baik-baik setelah saya pergi. Jangan keseringan nonton sinetron Gembel Langit atau azab indosair, sebab ceritanya makin ngawur. Jangan juga menaruh roti di kulkas, sebab rotinya akan terasa alot dan tidak enak saat dimakan. Oh iya, saya sebenarnya agak keberatan kalau Oma menaruh ramuan rempah andalan Oma di kulkas. Setiap kali mencium itu, nafsu makan saya akan hilang.

Sampai sini saja, Oma. Semoga Oma selalu sehat. Juga bahagia.

Dari cucumu,
Revelio Ismail

-bersambung

1 Januari 2020

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang