▪️6 Hari Lagi
Setengah jam kemudian, di depan mini market. Tempat ini berada di pinggir jalan dekat komplek rumah Revel. Keberadaannya yang di antara pertigaan membuat si mini market cukup strategis. Sedari tadi banyak kendaraan dan pengunjung yang berlalu lalang.
Satu-satunya alasan yang membawa Revel ke sini hanya satu kata : lapar.
Tadi, ia yang terduduk di samping makam sang nenek, lalu ——sial, Revel benci mengakuinya—— menangis di bahu gadis yang menghentikannya menyakiti diri, ia merasakan perut keroncongan luar biasa. Gadis itu, ketika menemani Revel menangis ——aih, Revel masih benci mengakuinya —— tidak banyak bicara. Ia hanya melingkarkan kedua tangannya di punggung Revel, juga mengusap-usap lembut.
Sepuluh menit dari sana, Revel selesai mengeringkan air mata. Ia menjauhkan wajah dari bahu gadis itu, lalu menunduk penuh rasa malu.
"Re, kamu mau makan apa?" tanya gadis itu seraya memegang dagu Revel, mengajak bersitatap.
Kalau perasaannya tidak sedang kacau, Revel pasti akan memuja gadis itu secara berlebihan. Ah, Sayangku, Gadisku, Cantikku, Princessa Joyce memang luar biasa. Ketimbang "kamu kenapa" atau "apa kamu baik-baik saja", ia memilih pertanyaan "mau makan apa". Seakan-akan ia tahu kalau yang Revel butuhkan sekarang memang cuma makanan.
"Harusnya bilang kalau mau makan roti ketimbang fastfood yang dibawa Papa kamu," kata Joy terhadap Revel yang saat ini sedang mengeksekui roti dengan rakus.
Pipi Revel menggelembung menampung gandum. Mulutnya tidak henti menggigit dan mengunyah. Tangannya bergerak cepat saat membuka kemasan kemudian menyodorkan ke mulut. Giginya merobek roti dengan cepat. Sesekali ia menenggak air mineral yang dibelinya juga. Well, Revel memang kelaparan tingkat kronis. Ia baru makan dua hari lalu di malam hari. Mie instan dalam cup sebelum ia mengerjakan skripsi, ingat?
Revel kini memelankan cara mengunyah. Terhitung dua bungkus roti habis dilahap. Kini perutnya bisa ditolerir sehingga ia makan lebih tenang.
"Mereka masih di sana?" tanya Revel sambil memandang roti ketiga.
"Siapa?"
"Pak Kris dan Bu Dahlia."
"Yeriana juga," tambah Joy. "Iya, masih di sana."
Revel menggeleng tanpa arti lalu melahap kembali rotinya. Sambil menghabiskan roti ketiga, pikiran Revel terus melanglabuana. Salah satunya tentang anggapan Joy setelah ini. Sikapnya yang minggalkan orangtuanya tadi mungkin terlihat kekanakan. Ah, Joy akan mengira dirinya bocah.
"Dari dulu nggak pernah berubah."
Revel mendongak. Roti ketiga habis. Kini saatnya menuntaskan milktea. Ada satu botol yang belum disentuh.
"Apa?" tanya Revel sambil membuka tutup botol. Karena Joy tidak langsung menjawab, ia menyicip minuman kesukannya itu. Dan hey, ini lebih enak! Kapan terakhir Revel ingat rasa milktea bisa selezat ini? Apakah kehadiran Joy menjadi alasannya?
"Sampai kapan akan seperti buku yang tertutup?"
Alis Revel naik.
"Nggak semua orang bisa ngerti kalau kamu hanya diam. Kamu harus bicara, mengatakan apa yang sebenarnya kamu mau dan nggak."
Revel menegakkan punggung. Oke, sepertinya sesi bicara akan dimulai. Ada dua hal yang janggal. Pertama, bahasa Joy. Sejak kapan ia menggunakan aku-kamu padanya? Kedua, soal buku yang tertutup. Hm, apakah benar begitu kenyataannya? Dirinya adalah buku yang tertutup? Tidak bisa dibaca sembarang orang?
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Sang Pemusnah Masal
General FictionRevel merencanakan kematiannya tiga minggu dari sekarang. Ada lima hal yang ingin dia lakukan sebelum mati. 1. Makan lima ayam goreng sekaligus 2. Menemui Papa atau Mama 3. Menyatakan perasaan pada Joyce 4. Berkelahi sampai babak belur 5. Making lov...