Kita Berdua

2.3K 514 144
                                    

▪️2&1 Hari Lagi

Revel memandangi kertas yang terlipat di meja belajar. Sejak benda itu dibawanya, ia hanya berani menaruh tanpa membuka. Dirinya belum sanggup membaca isinya. Benar-benar malu. Seperti tidak punya muka lagi.

Revel mendengus kasar. Sekarang ia bingung. Tidak tahu harus melakukan apa. Waktu semakin sempit dan rencana sudah di depan mata. Tapi ia belum bisa meyakinkan dirinya lagi. Selain karena kata-kata Wendy, tangisnya tadi siang pun amat mengusik hati.

"Wendy bilang terserah, Tolol," sang Pemusnah Massal memperkeruh suasana. "Dia tidak benar-benar peduli makanya bilang begitu. Seperti yang dikatakannya, untuk apa tetap bertahan tapi kau menderita."

Revel menutup kedua telinga. Menutup mata. Mengatur napas sejenak. Ketika dirasanya hati semakin gundah, ia bergegas mencari sesuatu di laci meja. Didapatinya buku catatan yang biasa ia pakai untuk coret-coret, lengkap dengan pulpennya.

Ia mulai menulis sesuatu. Alisnya bertaut ketika tinta bergurat. Matanya menatap serius setiap kali tangannya bergerak.

Sekian menit berlalu, ia selesai  Dibacalah tulisannya itu.

Alasan kenapa saya harus melakukannya :

1. Cepat atau lambat, saya tetap akan mati

2. Tuhan selalu mengecewakan saya

3. Hidup atau mati, dunia akan tetap seperti ini

4. Semakin saya hidup, semakin saya menderita

.
.
.
.
.

Alasan saya tidak harus melakukannya

1. Oma ingin saya wisuda

2. Saya masih belum ML dengan cewek cantik

3. Saya tidak yakin apakah semuanya akan lebih baik setelah saya mati

4. Wendy

Sial! Umpat Revel dalam hati. Empat lawan empat. Hasilnya imbang. Masih membingungkan.

Kesal, Revel berpindah tempat. Ia menepi ke pembaringan. Merebah dengan kedua tangan menyangga kepala. Matanya lurus ke langit-langit.

Batinnya berkecamuk. Dadanya kembang kempis cukup cepat. Jalur pikiran di kepalanya sibuk. Banyak sekali yang melintas di otak. Harapan, putus asa, wisuda, pesan Oma, semuanya merongrong ingin diperhatikan.

Di sela-sela kesibukan kecamuk itu, kata-kata Wendy juga melintas lagi. Salah satunya tentang ketenangan hati. Katanya, tidak salah mengunjungi dirimu di masa lalu dan mengatakan sesuatu padanya. Demi kedamaian hati.

Revel mengatur napas. Dadanya mulai kembang kempis dengan tenang. Merasa lebih lega, ia mulai memejamkan mata. Bersiap membayangkan imajinasi yang disarankan Wendy.

Revel membayangkan berada di kamarnya yang dulu. Ia duduk di tepi pembaringan. Hatinya trenyuh melihat anak kecil yang terpaku menatap jendela.

"Hei," Revel memanggil anak kecil itu. Bocah berumur sepuluh tahun itu mendongak. Ia tidak menyapa. Tidak juga tersenyum. Benar-benar seperti yang Revel bayangkan.

"Kamu pasti sedang memikirkan orang tuamu, ya," kata Revel.

Alih-alih menjawab, anak itu cuma memandang lurus. Kesedihan terkunci di balik matanya. Tapi ia jelas ingin menunjukkan dirinya tegar.

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang