▪️21 Hari lagi
Sesampainya di kantin, Revel dan Wendy langsung duduk di tempat kosong. Tepatnya di sudut kanan, depan kedai ayam geprek. Revel yang tidak berselera untuk makan hanya membeli milktea. Sementara Wendy, gadis itu masih mengantri untuk membeli mie aceh di ujung kantin.Sambil menunggunya, Revel mengeluarkan ponsel. Ia membuka kalender lalu menatap tanggal 22 Februari cukup lama.
Revel menandai tanggal, kemudian mengembus napas. Ia menamai jadwalnya dengan tulisan : pulang! Hanya ia dan Tuhan yang tahu maknanya.
Kalau mereka pikir Revel tertekan karena skripsi, mereka salah besar. Mulai detik ini, Revel tidak akan peduli dengan tugas akhirnya. Bodo amat! Jadi kalau memang skripsi adalah sumber masalahnya, seharusnya hatinya merasa lebih baik. Tetapi tidak. Revel sama sekali tidak merasa lega. Sakit dan tekanan itu masih menghimpitnya.
Lagi pula, ketahuilah, ini niat bunuh diri kesekian. Yang pertama, saat dirinya duduk di bangku SMA. Waktu itu ia didakwa dokter tidak akan bisa menjadi pemain bola lantaran cedera kakinya parah. Aksinya dihentikan seseorang yang menelponnya tepat ketika ia hendak melompat dari atap rumah sakit. Mungkin kasus ini bisa dikategorikan umum, yang mana rasa putus asa muncul setelah mendapat masalah besar.
Beberapa tahun lalu kemudian, ketika ia gagal masuk perguruan tinggi negeri, niat bunuh diri itu muncul lagi. Kalau hanya gagal, barangkali masih bisa diatasi. Tapi saat itu, Revel juga patah hati. Double jadinya! Sama seperti yang pertama, rasa putus asa itu muncul setelah mendapat masalah lebih besar. Tapi Revel berhasil melaluinya. Ia masih bisa membengkokkan keputusan. Iapun mencoba bertahan (lagi).
Namun, kini sudah cukup baginya. Rasa sakit itu sudah tak bisa ia bendung. Semakin hari pertahanannya luntur karena digerogoti. Segala ketidaknyamanan yang dirasakannya membuatnya menuduh diri sendiri. Ia-benci-dirinya-sendiri! Terus seperti itu. Hingga iapun bertekad ; sudah saatnya berhenti.
"Nggak makan?" Tiba-tiba Wendy sudah duduk di hadapannya. Mie aceh pesanannya sedang dibuat sehingga ia hanya membawa sebotol air mineral.
Revel menggeleng sambil memasukkan ponsel ke saku jaket. Ia memang tidak terlalu suka dengan makan. Lihat saja tubuhnya yang kurus. Sangat menjelaskan bahwa ia menomorsekiankan makan.
"Jadi, mau ngomong apa?"
"Nama lengkap lo apa, Bang?"
Revel menaikkan sebelah alis. Bingung karena pertanyaannya malah dibalas kalimat bersoal.
"Kenapa nanya nama?"
"Sudah, jawab saja dulu." Sambil membuka botol minumnya, Wendy berkata, "Lagian ada hubungannya kok sama apa yang mau gue bahas. Tentang masa depan seseorang."
Revel diam sejenak. Ia duga seratus persen, pertanyaan tersebut cuma bentuk ketidakjelasan si Tupai Boncel. Iya, cewek bernama Wendy ini memang tidak jelas. Absurd. Sering melakukan sesuatu yang tidak dimengerti Revel.
"Bang, dijawab pertanyaannya."
Sedikit mustahil kalau Wendy tidak tahu nama lengkap Revel. Mereka dari SMA yang sama. Saat kuliah, beberapa kali satu kelas di mata kuliah pilihan. Setiap ada tugas kelompok, Wendy pun sering mendadak duduk di sebelahnya. Dan lagi, beberapa jadwal praktikum mereka sama. Malahan seingat Revel, kalau rapat mingguan sampai larut, ia juga yang menemaninya sampai kos.
Sebelum Revel menjawab, pesanan Wendy datang. Mie tebal yang dilumuri saus kaya rempah itu mengepulkan asap. Ada banyak suiran ayam dan bawang goreng di atasnya. Aroma perpaduan bawang, saus, dan kecap menguar. Berpadu dengan acar berupa mentimun, wortel, dan cabe rawit yang dipotong dadu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku dan Sang Pemusnah Masal
Ficção GeralRevel merencanakan kematiannya tiga minggu dari sekarang. Ada lima hal yang ingin dia lakukan sebelum mati. 1. Makan lima ayam goreng sekaligus 2. Menemui Papa atau Mama 3. Menyatakan perasaan pada Joyce 4. Berkelahi sampai babak belur 5. Making lov...