Tidak Sadar (1/2)

2.3K 527 131
                                    

▪️6 hari lagi

Revel terbangun oleh ketukan pintu. Baru ia sadari dirinya ketiduran di depan kamar sang nenek. Sekarang pundak dan pinggangnya sakit. Kepalanya berdenyut pusing. Matanya perih nan kering.

Kenyataan bahwa sang nenek sudah pergi membuat Revel merasa sesak. Ia sedikit menyesal kenapa harus bangun. Selama ketiduran itu, ia lupa akan nyeri yang menggerogoti diri. Kini hatinya kembali terkoyak. Sakit tiada kiara.

Sambil beringsut, Revel memijat pangkal hidung. Mengucek mata. Mengusap wajah dengan kasar. Suara ketukan pintu terdengar lebih kencang. Namun, tidak diindahkannya keinginan sang tamu yang ingin segera bertemu. Revel tetap berjalan tenang.

Sesampainya di depan pintu, Revel mengatur napas. Dadanya memang terasa sesak, tapi wajahnya tidak boleh melukiskan demikian. Dalam hati ia berbisik, aku baik- baik saja. Baik-baik saja.

Revel memutar kunci kemudian membuka pintu.

"Re."

Di dunia ini hanya dua orang yang memanggilnya Re. Joy dan wanita yang pernah menolaknya. Kenyataan bahwa si wanita penolaklah yang memanggil, membuat Revel tertegun. Ia kaget bukan main. Kenapa si wanita penolak ada di sini?

Dan pertanyaan itu segera terjawab ketika Revel menggerakkan bola mata. Di belakang si wanita penolak, berdiri tegak Yeriana. Gadis itu pasti yang meminta wanita si penolak ——alias ibunya Revel—— untuk datang ke sini.

Sebelum Revel hendak buka suara, ibunya menggerakkan tangan. Jemari kanannya bergetar ketika sang tangan mendekat ke wajah Revel. Tentu si empunya muka tidak mengerti apa yang akan dilakukan wanita ini. Barulah ketika telunjuknya menyentuh wajah, tepatnya di bekas luka-luka yang mengering, Revel paham.

Ibunya sedang mengamati.

Sesekali tangannya mengusap rambut. Matanya juga berkaca-kaca. Revel merasakan belaian lembut itu. Cukup nyaman rupanya. Sang kalbu seperti dimanjakan. Palung hitam di dasar hati laksana memantulkan titik cahaya.

Revel segera sadar diri. Ia mundur selangkah secara refleks. Cahaya tak kasat mata di hatinya seketika raib. Kembali gelap gulita di dalam sana.

"Cari siapa?"

Revel tidak menyangka nada suaranya bisa sekering itu. Kaca-kaca di mata sang ibu tampak semakin tebal. Tapi Revel tidak terusik. Hatinya mati rasa.

"Re, kamu sehat?"

"Wah, ada yang sedang basa-basi busuk," bisik sang Pemusnah Massal. "Hati-hati. Jangan sampai kau tertipu. Dia ini wanita pertama yang menolakmu. Dia jijik padamu."

Revel mengetatkan rahang lalu mendengus kasar. Karena bisikan sang Pemusnah Massal hanya bisa didengarnya, alhasil, sikap menahan marah ini disalahartikan oleh sang ibu. Wajah wanita itu kian getir. Ada pilu yang menggelora di bola matanya.

"Masuk," kata Revel pada akhirnya.

Ibunya Revel berjalan duluan, sementara Yeriana tetap di tempat. Revel memandangnya tanpa bicara. Melihat wajahnya, Revel dapat menerka gadis itu habis menangis. Matanya bengkak. Hidungnya masih agak merah.

"Apa kabar?" tanya Revel datar.

Yeriana tidak menjawab tapi Revel tahu adiknya itu mengkhawatirkannya.

"Semua baik-baik saja."

"Jangan bohong."

Revel mengangkat bahu. Tidak peduli tebakan Yeriana benar atau benar sekali. Baginya, di hadapan orang lain, dirinya baik-baik saja. Memang ada sekian ton beban di pundak. Tapi, mengatakan yang sebenarnya hanya akan mempermalukan diri sendiri. Ya, mempermalukan. Orang-orang pasti menganggap dirinya lemah. Revel benci itu.

Aku dan Sang Pemusnah MasalTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang