Empat 🌷 Kembalilah ke Jalan-Nya

1.8K 99 2
                                    


Saat fajar menyingsing, Leon keluar dari mobil putihnya. Duduk di tepi jalan, melihat beberapa kendaraan yang lewat di hadapan. Tidak terlalu ramai, mengingat sekarang hari masih gelap. Belum saatnya untuk memulai aktivitas bagi kebanyakan orang.

Laki-laki yang sedang mengenakan jaket kulit hitam itu menghela napas dalam, mencoba mengenyahkan gelisah yang makin kuat dirasakannya. Namun, semakin lama gelisah itu makin menjadi. Dadanya terasa sempit, penuh oleh hal menyesakkan yang tak kasat mata. Sehingga membuatnya bingung, apa yang sebenarnya terjadi padanya.

Menjelang subuh, masjid-masjid mulai mengaungkan lantunan ayat suci. Hati Leon semakin gelisah mendengar suara-suara yang menggema di sekitarnya. Panas, memaksanya merintih demi menghilangkan gelisah itu.

Perasaan aneh kian menjadi, kala netranya menangkap sepasang ayah dan anak yang sedang bergandengan tangan di sisi jalan. Ingatan kembali membawanya ke masa lalu, saat dirinya masih balita. Dahulu, dia pun selalu digandeng seorang laki-laki dewasa menuju masjid, setiap akan tiba waktu salat. Namun, laki-laki itu bukanlah ayahnya, melainkan seorang ustaz yang dibayar Papa Farhan untuk mendidik Leon tentang agama.

Apa itu ayahnya? Leon membatin sambil memperhatikan anak kecil berusia sekitar tujuh tahunan itu. Aku juga dulu mau seperti itu, ke masjid sama Papa. Tapi … Papa cuma bisa nemenin aku pas salat ied, bahkan tarawih pun nggak pernah. Selalu saja sama Ustaz Ilyas.

Entah sadar atau tidak, Leon melangkah mengikuti sepasang manusia itu. Terdengar sesekali tawa anak kecil itu menggema, seolah menghangatkan fajar yang dingin. Hingga tiba di depan sebuah masjid yang tak terlalu luas, Leon menghentikan langkah. Hanya menatap ayah dan anak itu memasuki masjid. Anak laki-laki itu melepas tangan ayahnya, langsung berlari ke dalam masjid. Bisa Leon lihat, wajah semringah bocah itu ketika bertemu dengan para jemaah. Menyalami punggung tangan orang-orang di sana, dengan raut wajah yang sangat bahagia.

Bibir Leon tertarik ke atas. Dahulu, bahagianya juga sesederhana itu. Datang ke masjid, bertemu dengan orang-orang berwajah teduh, mendengarkan tausiyah, kemudian membaca Alquran. Berbeda dengan sekarang, setitik kebahagiaan itu bagaikan air di gurun tandus, sangat sulit ditemukan. Dia tidak pernah menjadi Leon yang dahulu, tak pernah bisa tertawa selepas dahulu. Hanya bisa merasakan kesenangan sesaat ketika mabuk dan bermain dengan para lelaki, kemudian semua sirna, berganti kosong yang terus merajalela.

Tepukan ringan di pundak membuat Leon terperanjat. Dia berbalik, menatap seorang laki-laki sepuh berjenggot putih. Senyum di wajah penuh keriput itu terlihat teduh, seolah menawarkan damai dan pertemanan.

“Ayo, Nak, ke masjid. Sebentar lagi azan,” kata laki-laki tua itu.

“I-iya, Pak,” sahut Leon gagap, tak tahu lagi harus menjawab apa.

“Tapi … bapak kok nyium bau alkohol, ya? Apa ini dari bajumu?” Laki-laki tua itu bertanya, yang dijawab Leon dengan menundukkan wajah.

“Wajahmu itu cerah, Nak,” ucap lelaki tua itu lagi, setelah tak mendapat jawaban dari Leon. Leon mengangkat wajah, kembali mendapati senyum teduh di wajah orang di hadapan.

“Dunia ini fana, penuh dengan cobaan. Ada orang yang diuji dengan ketidakmampuan, ada juga yang diuji dengan ilmu yang mumpuni. Bukannya bapak sok tahu, tapi kalau melihat wajahmu … sepertinya kamu ini anak muda yang ilmu agamanya baik. Kalau dugaan bapak benar, mungkin sekarang kamu hanya sedang diuji dengan ilmu agamamu. Hati-hati, Nak, jangan sampai terjebak ilusi. Jika memang sedang tersesat, mohonlah petunjuk kepada Allah, agar bisa kembali ke jalan yang diridai-Nya.”

Hati Leon berdesir, ada sejuta perasaan yang tak bisa ia jabarkan. Sedih, marah, takut, semua berkecamuk, berusaha mengalahkan tentram yang mulai terasa.

“Pulanglah, mandi dan bersihkan dirimu. InsyaAllah waktu subuh masih tersisa.” Laki-laki tua itu kembali tersenyum sebelum mengucap salam, lalu berjalan menuju masjid. Bukannya pulang, Leon malah terpaku di tempat. Meratapi detik demi detik dalam kebingungan, sampai ia melihat lelaki tadi berdiri menjadi imam. Leon meratap, melihat saf di belakang. Hanya ada dua saf, makmumnya tidak lebih dari lima belas orang, termasuk anak kecil tadi. Isinya kebanyak lansia, dewasa muda hanya ada dua orang. Pasti orang-orang sedang terlena akan dunia, pikirnya, sama persis seperti dirinya.

Perlahan, Leon menyeret kakinya menyusuri jalanan yang mulai ramai. Kembali ke mobil, dia sempat berdiam diri di balik kemudi selama beberapa menit. Berulang kali menarik dan membuang napas gusar, masih terus mencari apa yang salah pada dirinya. Tepat saat ini, dunia seakan berputar terlalu lambat. Matahari tak muncul dengan cepat, hari esok tak muncul sesuai harapan. Padahal jika waktu cepat berlalu, mungkin saja akan bisa mengganti gelisah di hatinya dengan gembira, yang sudah ia lupa, bagaimana rasanya.

🌷🌷🌷

“Bang … Abang. Abang nggak kerja?” Pelan-pelan Jasmine membangunkan suaminya yang tidur tengkurap tanpa baju. Laki-laki itu melenguh, mengibas-ngibaskan tangannya tak tahu arah. Jasmine pikir, Leon pasti mengusirnya.

“Bang … sudah jam sembilan sekarang. Apa Abang libur hari ini?”

“Berisik!” gerutu Leon setengah sadar. “Aku mau tidur, pergi sana!”

Jasmine menghela napas panjang, lalu mengangguk. Melangkah ke luar tanpa membuat keributan apa pun, lalu mulai berkutat di dapur. Memasak sambil menonton video tutorial, sesekali berdesis karena tidak mengerti apa yang sedang dilakukan oleh youtuber di layar.

“Duh … daun bawangnya diiris apa dicincang, sih? Kok cepet banget tangannya, nggak kelihatan,” gumam wanita itu, lalu menekan tombol jeda di layar. Mengulang dan memperhatikan lagi dengan seksama, kemudian mulai menggerakkan tangan untuk mengiris tipis daun bawang di tangan.

“Bikin perkedel ternyata rumit,” keluhnya setelah melihat dan melakukan langkah demi langkah. “Padahal makannya cuma sebentar. Mending beli di rumah makan Padang deh.”

Iya, Jasmine memang tidak pandai memasak. Sejak ditinggal ayahnya, Jasmine kecil sudah rajin membantu ibunya mencari uang untuk menambal kebutuhan hidup. Dahulu almarhumah ibunya sering sakit, jadi tidak bisa bekerja terlalu keras. Jadi, Jasmine menjual kue buatan tetangga semasa sekolah, lalu menjadi pramusaji paruh waktu saat SMA. Oleh karena itu, dia tidak punya waktu untuk belajar soal dapur. Hingga saat ibunya wafat menjelang hari kelulusan SMA, Jasmine bahkan belum bisa memasak nasi. Jadi, sejak saat itu, Jasmine sudah berkenalan dengan masakan warteg dan rumah makan Padang, hingga akhirnya berubah akrab.

Wanita bertubuh mungil itu melirik jam yang tertempel di dinding ruang makan, hampir pukul 12 siang. Napas leganya terembus, ketika melihat perkedel dan dan tumis kangkung yang ia masak sejak tadi sudah siap. Dia pun bergegas membersihkan diri dan mengganti pakaian serta mengambil wudu, bersiap menunggu azan zuhur di kamarnya. Lalu melaksanakan salat ketika waktunya telah tiba. Dengan khusyuk dia menghadap Rabbnya, mencurahkan seluruh hati di setiap gerakan. Saking khusyuknya, Jasmine tidak sadar bila ada yang membuka pintu kamarnya.

“Ulang!” suruh Leon tegas. Jasmine terperanjat, langsung menoleh dan mendapat laki-laki bergelar suaminya itu berdiri sambil bersandar di pintu.

“Kalau sujud, kakinya jangan terangkat, harus tetap di sajadah. Enggak sah salatmu!”

Jasmine tertegun, lantas mengingat gerakan demi gerakannya tadi. Apakah dia melakukan kesalahan itu?

“Tapi ….”

“Pakai bantah lagi!” sergah Leon sambil melipat kedua tangan di dada. “Udah, ulang salatnya, atau kukurung di kamar sampai lusa!”

Mata bulat Jasmine melotot, melihat suaminya tidak percaya. Sudah bisa dipastikan, Leon memang manusia kejam. Bukan tidak mungkin dia melaksanakan ancaman tadi. Jadi, Jasmine memilih bangkit dan memulai kembali salatnya.

Dia benar-benar paham dengan baik ilmu agama, tapi kenapa malah melakukan hal yang dibenci Allah? Jasmine bermonolog dalam hati setelah salat, bingung pada tingkah sang suami yang masih setia menontoninya salat.

Ya Allah … semoga Engkau menunjukkan jalan yang lurus pada suami hamba, agar dia dapat keluar dari kesesatannya. Aamiin.

🌷🌷🌷

Bersambung

Suamiku GayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang