Delapan 🌷 Kita

1.9K 115 9
                                    


Pagi hari, Jasmine agak dikejutkan oleh kedatangan mertuanya. Wanita berwajah tirus itu gelagapan, karena belum sempat mengepel rumah. Tadi dia sudah direpotkan oleh menu sarapan yang diminta suaminya sebelum berangkat kerja, juga bekal untuk makan siangnya. Alhasil, dia belum bisa membersihkan seluruh rumah.

“Maaf, Ma, Pa, rumahnya masih kotor. Belum dipel. Mama sama Papa pakai aja sepatunya, nanti kakinya kotor.”

Mama Siska tertawa mendengar cicitan menantunya yang sedang tertunduk takut-takut itu. “Menantu mama gemesin, deh!” Tangan Mama Siska jail mencubit pelan pipi menantunya. “Rumahnya bersih gini, masa dibilang kotor?”

Mereka duduk di ruang tengah, ditemani seteko teh hangat yang diseduhkan Jasmine.

“Mama mau pakai madu, atau gula batu?” Jasmine menarik tiga cupu keramik yang tertata di atas nampan kayu. Masing-masing berisi gula pasir, gula batu, dan madu. Kebiasaan di rumah mertuanya yang baru dia ketahui, mereka tidak selalu minum teh dengan gula pasir. Kadang diganti madu, gula batu, atau gula aren.

“Madu aja, Yas. Papa juga, ya,” jawab Mama Siska lembut.

Jasmine menuangkan dua cangkir teh madu untuk mertuanya, lalu membuat untuk dirinya sendiri. Keadaan masih hening, pagi yang terasa begitu damai. Kicau burung kadang menyela diam, sampai akhirnya Papa Farhan membuka suara.

“Gimana Leon memperlakukan kamu, Yas? Apa dia baik?”

“Alhamdulillah, Abang baik, Pa.” Tidak mungkin Jasmine mengatakan keburukan suaminya di depan orang lain, meskipun itu adalah orang tuanya sendiri. Biarlah bila kali ini dia berdosa, karena telah membohongi mertuanya. Namun, di dalam hati ia meyakini, bahwa Leon memang baik. Masalah di awal pernikahan sempat berlaku kasar, bahkan menamparnya, mungkin itu hanya bentuk kekecewaannya. Tak apa, masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya.

“Syukurlah. Papa sempat khawatir, karena Leon menikahi kamu karena terpaksa.” Papa Farhan menarik dan membuang napas panjang. “Papa takut dia akan memperlakukan kamu dengan tidak baik.”

Mendengarnya, Jasmine tersenyum hangat. “Papa jangan khawatir, Abang baik kok. Papa, kan, nggak boleh banyak pikiran, harus banyak istirahat. InsyaAllah aku sama Abang akan saling jaga di sini.”

Papa Farhan tersenyum kecil, mengangguk. Laki-laki paruh baya itu menatap menantunya haru, mengingat lagi kenangan bersama sahabatnya yang telah lama berpulang ke pangkuang Ilahi. “Dulu, jauh sebelum kalian pindah ke Kalimantan, ayahmu pernah bilang. Suatu saat, dia akan menyusahkan papa. Kalau dia punya anak perempuan, dia akan menitipkannya untuk menjadi menantu papa. Coba sekarang lihat, siapa yang menyusahkan? Bahkan mungkin Ilham nggak sadar, kalau suatu hari, dia akan mengirimkan malaikat ke rumah kami.”

Air mata Jasmine tiba-tiba menggenang. Dia menunduk, menggigit bibir bawah untuk menghentikan laju air mata. Entah mengapa, tiba-tiba merindukan sosok ayahnya. Pria lembut yang begitu mencintai keluarga. Sayang, waktu mereka bersama tidaklah lama. Jasmine harus kehilangan cinta pertamanya, bahkan sebelum ia mengerti tentang dunia. Sungguh, patah hati itu masih membekas hingga kini, bahkan mungkin hingga ujung usia kelak.

“Kamu tumbuh menjadi wanita yang sangat baik, Jasmine. Terima kasih, karena mau menerima Leon dengan segala keajaibannya.”

Jasmine mengusap sudut mata yang basah, tersenyum mendengar ucapan Papa Farhan. Ya, Leon memang ajaib. Seajaib tingkahnya yang mampu meluluhlantakkan semesta Jasmine dalam sekejap.

Mertuanya memutuskan tinggal hingga makan malam. Papa Farhan berjalan santai memutari halaman, sementara Mama Siska membantu dan mengajari Jasmine memasak. Banyak sekali wejangan yang dia berikan, tentang makanan yang bisa dan tidak bisa Leon makan. Bahkan penjelasan Cindy tempo hari belum mencakup separuhnya. Leon benar-benar menyusahkan.

Suamiku GayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang