(edited)
Dengan tertatih Yuan berjalan kekasurnya. Segera mengambil bantal dan berharap dapat tidur dengan cepat. Pusingnya kali ini tak tertahan. Dengan rasa bersalah ia bahkan pulang lebih dulu diantar Qianxi.
Besok dia harus berterima kasih sekaligus minta maaf padanya. Alpha itu rela meninggalkan acaranya agar Yuan pulang dengan selamat.
Ini pertama kalinya. Saking hebatnya ia tak ingat apa-apa disana. Hanya segerombolan adegan serta suara yang tiba-tiba terdengar. Datang dan pergi begitu cepat. Membuat kepalanya semakin pusing.
Orang tuanya saat ini bahkan tak ada dirumah. Entah pulang malam ini atau esok pagi.
Inginnya ia meraih handphone dan menelpon mereka. Merengek akan sakitnya. Tapi tidak. Malam ini ia harus berusaha sendiri. Cukup sudah mereka khawatir dan terjaga karenanya.
Dan dalam percobaan yang kesekian kali, kantuk akhirnya menyerang.
Pada dini hari, saat angin malam perlahan berhembus dan bunyi hewan malam samar terdengar.
----
Dia berdiri di tengah rumah megah yang tak dikenali. Meski begitu, suhu luar dapat terasa. Badai salju pun dapat terdengar. Ia menggosokkan tangannya, mencoba menghangatkan diri.Di depan sana terdengar samar suara. Perlahan ia melangkah, mencari tau sumber dan pembicaraan mereka. Setidaknya ia harus tau ada dimana sekarang ini.
Dan pergerakkannya membeku, bukan karena dingin, bukan karena angin. Tapi pemandangan itu, sepasang suami istri. Sang istri yang menangis dan suami yang -mencoba- tegar serta berusaha menenangkan.
Beban mereka seakan mampu ia rasakan. Dadanya sesak, air mata turun tak terelak.
"Kita harus segera membawanya. Jika tidak kita akan terlambat!"
"Aku mengerti. Semua persiapan disana sudah siap, tapi cuaca hari ini tidak mendukung."
"Apakah jet pribadimu tidak bisa menembus itu semua? Kenapa kau tidak mengusahakan cara lain?"
"Kecil kemungkinan kita akan baik-baik saja sayang! Cara apapun akan sulit dalam keadaan begini."
"Aku tidak peduli!! Aku tidak mau dia pergi! Aku tidak peduli dengan nyawaku, tidak. Kita harus cepat."
"Tenanglah, semua akan baik-baik saja. Kita akan segera berangkat begitu badai berhenti."
...
Perdebatan itu memelan.
...
"...an"
Dan suara asing perlahan terdengar.
"....Yuan"
Ia menatap sekeliling. Tidak ada.
"Yuan.."
Seluruhnya menghitam, gelap. Sebuah tangan membelai wajahnya lembut. Bibirnya seperti tengah dipagut, lidahnya seakan diajak menari.
Ia membuka mata pelan.
Seseorang yang kini tengah mengungkungnya memejamkan mata, disebuah kamar tak tau milik siapa.
Nafasnya tertahan. Keringat bercucuran, panas sekali.
Didorongnya pelan pemuda itu. Begitu netra itu terlihat, cahaya mentari seakan ingin memperjelas. Mata tajam itu, mata berwarna emas yang kini menatapnya penuh arti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Fate
FanfictionSiapa dia? Teman sekolahnya? Tidak. Ia tak mengenal anak itu. Anak lelaki yang kesakitan diatas ranjang rumah sakit. Kenapa ia seperti ikut merasakannya? Kenapa jantungnya seperti tertusuk belati? Dan ketika detik terakhir nafas anak laki-laki itu...