____Our Fate____Rumah putih megah dan asri itu terlihat tenang. Seperti hari-hari sebelumnya kegiatan berlangsung seperti biasa, beberapa tukang kebun tengah membersihkan taman, para maid membersihkan rumah bagian dalam dan belakang, dan beberapa penjaga telah siaga di posnya. Yang berbeda adalah kini para pemiliknya telah kembali kerumah lama itu. Rasanya telah berpuluh tahun tidak kembali –meski sejak lima tahun lalu beberapa kali mereka kembali kesini untuk berlibur. Itulah yang membuat sang ibu terlihat bersemangat. Dapat dilihat dari senyum bahagia yang tak bisa disembunyikan itu.
Sang kepala keluarga hanya tersenyum tipis melihatnya. Sementara Junkai tertawa pelan. Ia sudah sadar sejak dulu mamanya selalu ingin kembali kesini. Lagipula rumah adalah tempat terindah tak perduli bagaimana luar biasanya diluar sana. Well, meski dia sendiri tidak memiliki banyak kenangan disini tapi mamanya punya.
"Kau sudah membawa berkas pindahnya kan Junkai?" Tanya papanya disela-sela waktu sarapan mereka.
"Sudah Pa."
"Katanya pagi ini kau akan berangkat dengan Qianxi."
"Yap, ia lupa mengambil mobilnya yang sedang di service. Aku tidak mengerti kenapa otak pikunnya tidak pernah sembuh hingga sekarang. "
Mamanya hanya tersenyum dan papanya menggeleng kepala pelan. Hubungan mereka berdua memang sangat rumit, tidak pernah akur tapi sangat dekat. Selalu saja ada argumen yang terjadi. Meski sudah besar seperti ini mereka masih selalu bertengkar layaknya anak kecil. Tapi begitu salah satu membutuhkan mereka selalu siaga membantu. Brotherhood mereka memang tak tertandingi jika urusan saling melindungi.
"Sudah tidak apa-apa, lagipula kau belum hafal jalan kesekolah kan? Sekalian saja," kata mamanya menenangkan.
Belum lama setelahnya hp disaku Junkai bergetar. Ia bahkan tidak ingin repot melihat nama si penelpon dan langsung menggeser icon hijau itu.
"Kau dimanaa?" sebuah suara menginterupsi bahkan sebelum dia membuka mulutnya.
"Sedang sarapan."
"Astagaa, ini sudah jam 6.50!" Junkai menyerngitkan dahi heran mendengarnya. Apakah Qianxi kembali mulai berlebihan atau dia yang salah melihat jadwal?
"Bukankah sekolah masuk jam 8? Kau ingin bertemu vampire atau bagaimana?"
"Jangan sembarangan! Tentu saja aku ingin bertemu dengan omega manisku."
Ahh, si omega kemarin malam? Ia lupa akan fakta bahwa sepupunya itu kini sedang dimabuk cinta hingga membuatnya dua kali lebih menyebalkan dari sebelumnya.
"Junkai apa kau mendengarku?! Ayolah cepat. Dia selalu berangkat pagi. Jadi bisakah kau cepat telan makanan itu dan jemput aku?"
"Ck, apa kau benar-benar alpha? Cerewet sekali."
"What? Of course I–"
Bip!
Ia menutup panggilan itu sepihak. Well, mungkin kau akan berlaku sama jika memiliki sepupu super cerewet seperti Qianxi. Junkai masih sayang telinganya, masih ingin mendengar hal indah lain. Tidak ingin telinganya rusak sia-sia hanya karena Qianxi.
"Ada apa?"
"Nothing, Ma. Just Qianxi being himself."
Yap, tidak perlu dijelaskan lebih jauh. Mamanya mengerti –terlihat dari putaran mata dan kekesalan yang ditunjukkan anaknya. Tapi ia bersyukur, setidaknya disini ia tau akan ada teman yang menemani Junkai. Tidak seperti saat di New York. Ia bahkan tidak tau anaknya memiliki teman atau tidak. Yang ia tau Junkai terkadang pulang dengan beberapa darah menempel di bajunya. Ia hanya berharap kehidupan disini akan lebih baik setelah bertahun-tahun melalui beban berat yang menimpa mereka semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Fate
FanfictionSiapa dia? Teman sekolahnya? Tidak. Ia tak mengenal anak itu. Anak lelaki yang kesakitan diatas ranjang rumah sakit. Kenapa ia seperti ikut merasakannya? Kenapa jantungnya seperti tertusuk belati? Dan ketika detik terakhir nafas anak laki-laki itu...