Prolog

101 12 1
                                    

Hidupku, menyedihkan. Bagaimana bisa aku melupakan seorang yang dulu menemani hidupku? Mengapa aku harus merasakan rasa sakit ini? Rasa sakit yang kembali ku rasakan ketika melihatnya diseberang sana tertawa bahagia dengan sosok wanita dan jangan lupakan anak berusia dua tahun yang berlarian kesana kemari.


Aku tersenyum miris melihatnya. Bagaimana dia bisa melupakanku secepat itu? Hingga ia bisa tertawa bahagia bersama wanita yang kini menjadi pendamping hidupnya. Sedang diriku? Hanya bisa menatapnya dari kejauhan seperti saat ini.


Ya, dialah Mark Alexis Naryama, mantan kekasihku yang meninggalkanku tiga tahun lalu. Walau waktu telah berlalu, aku tetap tak bisa melupakannya. Karena dia pernah mengisi kekosongan hatiku yang rapuh. Ku hela nafas dan ku hembuskan perlahan. Sebaiknya aku segera pergi dari tempat menyakitkan ini.


Ku lajukan mobil sport milikku meninggalkan area perumahan elit, tempat dimana Mark dan istrinya tinggal. Mengapa hatiku perih ketika mengatakan istrinya? mungkin karena aku masih sangat mencintainya, hingga kini.


Entah mengapa aku menghentikan mobilku di sebuah cafe yang terletak di daerah Penjaringan, Jakarta Utara. Mungkin secangkir kopi dapat menetralkan sekaligus menjernihkan pikiranku dari kenangan tentang Mark yang masih membekas dalam memori otakku.


"Selamat siang tuan, ada yang bisa saya bantu?"


"Tolong satu caramel macchiato dan sepotong cheesecake." Ucapku pada pelayan tersebut.


"Baik, atas nama?"


"Jinendra."


"Baik, satu caramel macchiato dan sepotong cheesecake atas nama Jinendra. Silahkan tunggu di meja nomor 8." Aku mengangguk dan melangkah menuju meja nomor 8.


Ahh benar-benar nyaman. Aku seperti kembali menemukan ketenangan di tempat ini. Perlahan ku pejamkan kedua mataku dan menikmati atmosfer cafe bernuansa vintage ini. Hingga tiba-tiba semuanya buyar ketika ponselku berdering.


Aku berdecak pelan ketika menemukan nama Mama tertera di layar ponselku. Dengan malas aku menggeser tombol hijau dan terdengar suara lembut Mama menyapaku.


"Hai Nendra, bagaimana kabarmu nak?"


Ku hela nafas pelan


"Ma, kita baru bertemu tadi pagi. Mengapa Mama bertanya seolah lama tak bertemu?" jawabku sedikit kesal. Mengapa Mama aneh sekali?


"Ahaha kau benar sayang, Mama lupa kalau kamu masih tinggal bersama Mama. Mungkin faktor usia yang membuat Mama melupakan hal itu."


Aku memutar kedua mataku jengah. Sepertinya ada yang ingin Mama bicarakan denganku.


"Ya, ya, ya. Aku akan memakluminya, Ma. Ngomong-ngomong, kenapa Mama menelponku?"


"Ah! Mama hampir lupa akan hal itu. Oh ya Nendra, apa kau sudah menemukan calon pendamping? Mama khawatir kamu tak pernah terlihat dekat dengan seorang gadis selama ini."


Tebakanku benar, Mama pasti membahas ini.


"Ma, Nendra lelah bahas ini lagi." Keluhku


"Tapi Nendra, umurmu bulan depan akan memasuki kepala tiga. Mama mengharapkan seorang keturunan darimu. Mama ingin menimang seorang cucu, terlebih lagi kamu putra Mama satu-satunya."


Ku hela nafas dan ku hembuskan perlahan. Baiklah Jinendra, mari kita dengar apa permintaan Mama-mu kali ini.


"Bila kamu belum memiliki pendamping, Mama akan mengenalkanmu pada salah satu kolega Papamu. Kebetulan beberapa dari mereka memiliki putri yang seumuran denganmu. Bagaimana?"


Aku benci hal ini. Mengapa Mama terus mendesakku untuk menikah? Hingga tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan seorang pelayan yang mengantarkan pesananku. Tunggu! Mengapa aku tertarik melihat paras wajahnya? Dia begitu... cantik.


"Ini pesanan Anda, tuan. Selamat menikmati." Ucapnya dengan senyum ramah dan membuatku terdiam, bila Mama tidak memanggilku aku pasti terpaku menatapnya.


"Nendra? Kau dengar apa yang Mama bicarakan?"


"Ahh ya, aku mendengarnya. Ma... sepertinya aku menemukannya. Seorang yang Mama harapkan menjadi pendampingku."


"Benarkah?! Segera kenalkan ia pada Mama. Mama akan menunggu kabar darimu!"


Panggilan pun terputus dan mataku tak lepas dari sosoknya yang kini tengah mengantarkan pesanan lain.


Entah apa yang merasuki tubuhku, hingga kini kedua kakiku membawaku padanya yang menatapku penuh tanda tanya.


"Apa... ada lagi yang kau perlukan, tuan?" tanyanya yang ku jawab dengan anggukan.


"Aku membutuhkanmu." Kedua matanya membulat sempurna mendengar penuturanku.


"Apa maksud Anda, tuan? Apa Anda kelelahan hingga berbicara seperti ini?" Aku menggeleng dan kedua tanganku menggenggam tangannya yang dingin dan berkeringat.


"Menikahlah denganku."


"Eh?"


Gila! Kau benar-benar sudah gila Jinendra! Sepertinya kau harus masuk rumah sakitsetelah ini.

Gila! Kau benar-benar sudah gila Jinendra! Sepertinya kau harus masuk rumah sakitsetelah ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

KikyIndriyani
November 17, 2019

Alteration [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang