3. Tikaman Takdir

16.9K 1.7K 86
                                    

"Bangun! Dasar anak nggak tahu diri! Sudah numpang, jam segini masih molor!"

"Ah! Ampun, Tante." Ana meringis saat lengannya diseret paksa untuk turun dari tempat tidur. Kondisi badannya yang sudah tidak baik sejak semalam semakin remuk redam karena ulah tangan kasar wanita yang merupakan adik tiri dari Ibunya.

"Cepatan cuci muka sana! Setelah itu, beliin kertas minyak di toko dekat perempatan. Warung sudah mau buka, tapi kamu jam segini baru bangun!" bentak Bibinya membabi buta.

Wanita paruh baya itu pergi begitu saja setelah melempar uang untuk membeli bungkus gado-gado di depan mukanya. Ana memejamkan mata, meresapi rasa sakit dilutut yang menimpa lantai keramik. Kedua tangannya memegang kepalanya yang bertambah pusing, seperti tengah berputar-putar.

"Ana! Cepetan!" Teriakan Bibinya dari luar terdengar lagi. Ana buru-buru menyambar jaket rajutnya dan dipakai cepat, tanpa menghiraukan penampilannya yang kucel karena tidak sempat membersihkan diri terlebih dahulu. Langkah Ana terseok-seok menuju pangkalan ojek dekat rumah Bibinya. Ia meminta pada Mamang Ojek itu untuk mengantarnya ke apotik terdekat. Ponsel di genggamannya ia mainkan untuk menghubungi Karin. Untungnya, meski posisi sahabatnya itu sedang tidak berada di kos, tapi Karin selalu meletakkan kunci ganda di tempat rahasianya.

Sesampainya di TKP, Ana buru-buru masuk kamar mandi, membuka sesuatu yang menjadi tujuannya sejak semalam. Dengan tangan bergetar ia mengangkat tespek dari urin yang ia letakkan di wadah kecil. Garis dua. Positif. Demi Tuhan, tubuh Ana langsung merosot ke lantai. Tangisnya pecah.

Perbuatannya dengan Yuda dua bulan yang lalu benar-benar membuahkan hasil di perutnya. Ya Tuhan. Apa yang harus Ana lakukan sekarang?

Rambutnya yang biasa dikuncir rapi kini dibiarkan kusut masai. Parasnya sudah tak berbentuk. Takut, sedih, hancur, marah menjadi kecamuk yang menyiksa hatinya saat ini. Hampir satu jam Ana menangisi nasibnya.

Ana mendesah. Seperti baru saja diingatkan oleh sesuatu. Kenapa pula ia harus bersedih? Kenapa pula ia harus takut? Bukankah ia memiliki kekasih yang sangat baik hati? Yang selama ini selalu ada buatnya. Kenapa ia harus merasa sendiri?

Tanpa pikir panjang, segera Ana menekan ponselnya pada panggilan tercepat, dan suara di seberang sana langsung terdengar.

"Yuda! Kita harus ketemu, Yud. Sekarang!"

"Ada apa, An? Aku udah ngasih tahu kan kalau hari ini Papaku datang."

"Bentar aja, Yuda. Sepuluh menit aja. Aku mau ngomong penting. Please, aku tunggu di kosnya Karin. Sekarang."

"Mau ngomong apa sih? Ngomong sekarang deh. Aku nggak bisa kemana-mana, Sayang. Papa baru saja ngabari kalau dia udah landing. Setengah jam lagi pasti udah sampai apartemen."

"Yud! Please. Aku nggak mau tahu pokoknya kamu harus ke sini sekarang."

Ana memutuskan panggilannya dan melempar benda elektronik itu begitu saja. Rasa tak enak kembali merambati hatinya. Ia menggigit-gigiti bibir bawahnya kuat-kuat. Dua jam lelaki yang ia tunggu-tunggu tak kunjung menampakkan diri. Ana semakin cemas. Ia kembali merengkuh ponselnya dan menghujani kekasihnya dengan panggilan yang tak henti-henti. Air matanya terus mengalir saat panggilannya berulang kali ditolak.

Ya Allah ... Yuda kemana sih?!

Ana menjerit kesal. Menangis, meraung.

Dan, tiba-tiba pintu terbuka. Menampilkan wajah tampan dengan senyum mengembang. "SURPRISE! Sori, Sayang. Aku harus nungguin Papa dulu dong. Nggak enak kalau dia datang terus aku malah nggak ada. An ...."

Lelaki itu masih tak mengerti dengan apa yang dialami kekasihnya. Dia mendekat dan berjongkok. "Kok gitu aja nangis sih, An. Kenapa? Tante Dwi marah-marah lagi?"

Tangis Ana semakin menjadi kala tubuhnya dipeluk oleh lelaki itu.

"Kamu tahu, Sayang ... betapa bahagianya aku hari ini. Aku mau kasih surprise buat kamu soal kabar gembira dari Papa, eh kamu malah nangis. Papa datang bawa kabar gembira, Sayang. Aku sudah diterima. Aku belum lulus tapi sudah diterima dan semua itu karena kerja keras Papa."

Lelaki itu mengurai pelukannya dan mengusap pipi kekasihnya pelan. Tatapan mereka bertemu. "Udah dong nangisnya, An. Kan aku udah di sini," bisiknya pelan.

"Aku hamil, Yud."

Suasana seketika hening. Mereka sama-sama terdiam. Saling mengeja tatap.

"Aku hamil." Ana mengulangi pengakuannya.

Lelaki itu mengerjap. Senyumnya mendadak hilang. "Apa kamu bilang?"

Ana menggeleng. Kepalanya tertunduk dan tangisnya pecah lagi.

Sementara lelaki di depannya masih belum merespon, masih terlalu kaget dengan kenyataan yang baru saja didengar.

"Gugurin!" bisik Yuda beberapa saat kemudian. Meski ragu tapi tidak ada solusi terbaik yang bisa ia berikan selain itu.

Ana menganga, telinganya pasti sudah salah mendengar. Karena Yuda yang selama ini ia kenal adalah sosok lelaki yang sangat bertanggung jawab. Selama ini, hanya lelaki ini satu-satunya yang paling mengerti dirinya. Yang selalu ada disaat ia butuhkan dalam keadaan seburuk apapun. Bukan seorang Yuda yang kini tengah ia hadapi, pengecut dan tidak berperasaan.

"Kamu mau ngebunuh darah dagingmu sendiri, Yud? Di mana hati nurani kamu, hah?"

Lelaki itu membuang napas gusar. "Berpikir logis saja lah, An! Mau dikasih makan apa kalau tetap dipertahanin? Justru karena aku pengin nyelametin dia makanya aku kasih solusi terbaik."

"Dengan ngebunuh anak sendiri?" Anna benar-benar tidak habis pikir.

"Ya!" jawabnya singkat.

Ana semakin kaget. Bagaimana bisa Yudanya yang ia kenal baik hati dan berhati lembut bisa lepas tanggung jawab begitu saja.

"Aku nggak mau menanggung sendiri. Ini salah kita berdua loh!"

"Sudah aku kasih solusi, kan? Gugurin!"

"Bukan solusi itu yang aku mau, Yuda ... kita harus nikah."

Lelaki itu menatapnya marah. "Dasar keras kepala! Belum ada setengah jam aku ngasih tahu. Papaku baru aja datang ngasih kabar baik, terus kamu minta aku kecewain Papaku gitu? Kamu malah nuntut tanggung jawab nikah, itu artinya kamu minta aku mundur dari pendidikan dan nentang Papaku. Di mana sikap sopanmu sama Papaku, hah?"

Ana menggeleng. Tangisnya pecah lagi. "Tapi aku nggak mau menambah dosa lagi, Yud, dengan cara ngebunuh anak sendiri. Lagi pula, apa kita bisa tenang setelahnya? Hidup kita akan dibayangin rasa bersalah yang nggak akan ada akhirnya, Yuda ...."

"Nggak usah ngajarin aku. Setiap manusia pernah khilaf. Kita anggap aja ini kesalahan, tapi setelah ini kita bisa memperbaiki diri. Tuhan maha pemaaf kan?"

Lelaki itu menegakkan tubuhnya, menyampirkan tas ransel di pundak. "Gitu aja ya? Aku akan nemuin kamu lagi kalau dia sudah nggak ada. Atau kalau kamu setuju aku temani kamu cari dokternya sekarang. Kalau kamu tetap keras kepala, terserah, aku nggak perduli!"

Dengan gerakan cepat Ana menubruk kaki lelaki itu. Bersujud memohon belas kasihnya. "Nggak, nggak! Jangan lakuin ini sama aku, Yuda ... aku mohon. Katanya kamu cinta sama aku. Aku yakin kamu nggak akan tega ngebunuh anak kita kan? Iya, kamu nggak akan mungkin tega."

"Kita ini masih bocah, An. Kerja aja belum! Mau dikasih makan apa dia kalau tetap dipertahanin?"

Tidak ada yang bisa menahan langkah kaki lelaki itu yang terus menjauh. Sekarang Ana benar-benar sendiri. Semua beban hidupnya ia tanggung sendiri. Segala aib dan kesakitan. Hujan terik badai mengiringi perjalanannya dari jatuh, bangkit, mati dan hidup lagi.

Bidadari Tak Bersayap (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang