Aku kembali menatap senja.
Bukannya ingin, ini hanya sebuah kebiasaan. Kebetulan saja matahari tenggelam disaat aku pulang kerja. Dan dia juga diam-diam menjadi teman kesepianku. Namun ketenangan itu terusik. Kediaman senja mendadak bertemu tawa. Tawa seorang pria bersama balita mungil di pelukannya.
Iri.
Itulah yang kurasakan, meski senja dan matahari tenggelam menemaniku. Tapi mereka tak bisa membalas curhatan atau kembali menatapku. Tak seperti pria dan balita mungil itu. Senyum dan tawa yang selalu berbalas dengan pancaran kasih sayang murni yang membuatku makin dengki.
Balita itu mendadak berada tepat disampingku. Menatapku polos dan seolah ingin mengajakku bicara. Tapi kemana pria itu??. Kenapa hanya balita mungil ini??.
Aku bukannya merasa risih. Hanya tau dan tak berani meraih tangan mungil itu. Aku tak mau disalahkan jika terjadi apa-apa dengan balita mungil ini. Namun hujan tak begitu sependapat denganku. Dia tiba-tiba bersekongkol bersama awan gelap dan menyerbu bumi. Kali ini tak ada senja yang tenang lagi.
Aku berlari. Tentu bersama balita mungil yang sekarang berada dipelukanku. Kami berteduh didepan gerbang rumah yang sedikit terbuka. Dan aku menyadari bahwa mungkin balita itu berasal dari rumah ini.
Si penakut tetap saja menjadi pengecut. Dan aku yang menyandang predikat itu tetap berdiri disana dalam diam. Hanya berharap hujan cepat reda dan menyuruh balita itu berjalan sendiri memasuki kawasan amannya.
Tentu tak semudah simulasi harapan. Khayalan itu tak menjadi kenyataan. Mendadak saja tamparan dan cacian datang bertubi-tubi. Dan balita itu menangis kencang sekencang hembusan angin malam.
Aku berada di kantor polisi.
Oke!. Anggap saja ini nasib sialku, sedetail apapun aku memberikan penjelasan, selalu ada tepisan beserta cibiran menyertaiku.
Oh―Apa aku sudah bilang kalau jadi baik itu susah???.
Pria itu muncul.
Jelas tak ada senyum atau tawa hangat yang muncul di wajahnya. Kedatangannya malah makin mendinginkan suasana malam, tapi tak menghentikan balita itu dari menggapai-gapai kepelukannya.
Sebuah tamparan yang jauh lebih keras kembali hadir. Tapi bukan ditujukan padaku. Namun untuk wanita yang tadi menamparku. Aku hanya bersyukur dalam hati. Karena kalau aku yang mendapat tamparan, aku akan langsung pingsan.
"Ma'af dan terima kasih," ucap pria itu padaku. Dan kali ini balita itu mencoba untuk beralih kepelukanku.
"...."
Kami. Itu berarti termasuk aku. Pulang kembali seolah tak terjadi apa-apa, tapi itu tak termasuk rasa menyut yang masih membekas dipipiku. Dan balita mungil itu entah sejak kapan sudah tertidur lelap dipelukanku.
"Semoga, besok senja kembali cerah." Pria itu berkata sambil menatap langit yang masih menurunkan hujannya. Aku hanya mengangguk dalam diam. Dalam hati yakin kalau pria ini sedang bicara padaku.
Dan tentu harapan pria itu tak jadi kenyataan. Hujan kembali mengguyur sore, meski tak lebat seperti biasanya. Namun tetap saja tak membiarkan orang mau keluar rumah. Tak terkecuali mereka.
Tak ada pria itu, juga tak ada balita mungil itu. Hanya aku dan payung orange yang berjalan pelan bersama hujan. Ketenangan itu kudapati lagi. Tapi kali ini aku merasa lebih kesepian.
Aku menoleh kearah gerbang rumah yang tertutup itu. Entah kenapa berharap bertemu mereka bukan hanya pada saat senja yang cerah tiba.
Dan begitu saja, harapanku seperti langsung terkabulkan.
Senyum tanpa sengaja muncul diwajahku. Pintu gerbang itu terbuka, dan disanalah mereka. Balita mungil itu bahkan terlihat antusias melihatku.
Dan pria itu―dengan payung merah mudanya itu, berkata dengan senyum cerah. "Ayo nikmati senja bersama."
-END-
KAMU SEDANG MEMBACA
Unexpected Love (END)
Short Storyaku dan kamu adalah orang yang memiliki 180 derajat perbedaan yang berarti kita tidak akan pernah bersatu. Tapi kenapa aku jatuh cinta padamu??. Dan bagaimana bisa kau pun mencintaiku??.