(46) Sorrow

1.4K 265 111
                                    

Edgar menatap layar ponselnya dengan dahi berkerut. Pesan WhatsApp yang sejak sejam yang lalu dikirim nanya menyisakan centang satu. Lalu ia mencoba menghubungi nomor tersebut, sayangnya hanya suara operator telekomunikasi yang terdengar.

"Bro," panggil Edgar sambil mengamati pintu ruang rawat inap yang ditempatinya.

Malam ini adalah malam terakhir Edgar berada di rumah sakit. Rencananya besok siang ia akan kembali ke rumah. Kadar trombositnya sudah berangsur-angsur naik. Setelah selama 24 jam berada dalam pengawasan ketat di ruang ICU, akhirnya dua hari setelahnya ia bisa keluar dan dirawat di ruang VIP.

"Ya, Bro. Kenapa?" balas Raka yang masih sibuk mengamati layar laptop.

"Sini buruan," perintah Edgar dengan nada mendesak. Ava sedang menerima panggilan telepon di luar kamar, masih ada waktu untuk bertanya pada Raka sebelum sahabatnya datang.

"Gue kan kirim list makanan yang gue mau ke Manda, tapi kok centang satu ya. Gue telepon dia nggak bisa juga. Kenapa ya?" tanya Edgar masih dengan menatap pintu kamarnya yang masih tertutup.

Raka mulai kelabakan. Selama ini ia bingung harus mencari Amanda di mana lagi. Ia sebenarnya sudah lebih dulu menghubungi nomor ponsel gadis itu sejak Bik Sima mengabarkan tentang Amanda yang belum kembali pulang dari rumah sakit. Namun, hanya suara operator telekomunikasi yang menyapanya.

"Begini Bro, sejak Selasa lo masuk ICU, gue kabari dia. Dia nangis, pengen banget jenguk lo. Gue nggak tega kalo nggak kasih alamat rumah sakit ini. Selasa malam jam sebelas, Bik Sima telepon gue, ngabarin kalo Amanda belum pulang padahal ijinnya ke sini. Gue juga nggak ketemu Amanda sama sekali waktu Selasa itu. Mungkin gue lagi di kantin nemenin Ava sarapan atau ke ruang administrasi. Sorry, Bro, baru kasih tau lo. Gue pengennya lo fokus sama kesehatan lo dulu."

"Kenapa lo baru kasih tau gue? Dia sudah nggak pulang dua hari, Bro. Dia ...."

Kaget luar biasa. Jemarinya mulai memijit pelipis karena mulai memikirkan keberadaan Amanda.

"Kata Ava, mungkin saja dia lagi sama ... Prayoga. Ya kan biasanya kalo malam dia pergi sama dia." Raka mencoba memberikan perkiraan Ava. "Apa kita tanya Didi saja, nomor Prayoga berapa jadi ...."

"Nggak usah. Biar saja. Nanti juga dia pulang!" putus Edgar. Raut wajahnya seketika berubah kesal. Ia kembali fokus dengan ponsel pintarnya lagi.

🌻🌻🌻

Hari ketiga mereka dalam satu atap. Saat jam empat pagi, lelaki itu terbangun karena mendengar suara rintihan gadis yang tidur di sampingnya.

"Ibu ... Bu Sonya ... Mas Edgar ... tolong," ceracau Amanda dengan mata yang masih terpejam. Kepalanya bergerak ke kanan dan ke kiri. Wajahnya mengernyit seolah menahan sakit.

"Ibu ... maafkan Manda." Napas gadis itu mulai terengah-engah. Muncul titik-titik peluh di dahinya.

"Manda ... Manda," panggil lelaki itu panik sambil mengguncang pelan bahu Amanda. Meletakkan telapak tangan di dahi gadis yang terbaring di sisinya yang ternyata demam.

Turun dari ranjang, berlari menuju dapur memanggil asisten rumah tangganya yang sedang mempersiapkan bahan makanan untuk dimasak. Meminta mereka menyiapkan air hangat dan handuk kecil di kamar utama.

"Cepat bawa ke kamar. Ganti air hangatnya per lima menit!"

Prayoga segera mengambil ponsel. Menghubungi dokter pribadinya dan menceritakan kondisi Amanda via sambungan telepon. Menyuruhnya membawa apa saja yang bisa menolong perempuan itu karena ia tidak mau jika Amanda dibawa ke rumah sakit.

Beranjak cepat menuju kamar utama. Menyuruh asisten rumah tangganya untuk memasak bubur dan keluar dari kamar. Mengambil alih untuk mengompres dahi Amanda.

"Manda, bangun, Sayang," pinta Prayoga lembut sambil menggenggam jemari Amanda. Mengusap-usap puncak kepalanya.

Melihat wajah pucat dari gadis yang sarat kesakitan. Sontak menerbitkan rasa bersalah yang menikam hingga ke dada.

Sejak gadis itu menolak menjawab telepon darinya, Prayoga mulai memerintahkan Tara dan pacarnya untuk memata-matai di sekitar rumah Edgar. Siapa tahu Amanda keluar dari rumah. Ada celah untuk membawa gadis itu pulang kembali padanya.

Saat Prayoga tahu kabar terbaru tentang Edgar yang dirawat di rumah sakit dari akun Instagram Ava di situlah kesempatan emasnya untuk mendapatkan Amanda. Bagai gayung bersambut, gadis polos itu menjenguk sendiri trader muda itu di rumah sakit.

Berkali-kali ia merutuki otak cemerlangnya yang terasa buntu untuk menyelesaikan masalah cinta sepelik ini. Keinginan yang menggebu-gebu untuk bisa bersama dan memiliki Amanda harus terganjal restu dan pernikahannya yang akan diselenggarakan sebentar lagi.

Ia mulai membuang napas kasar saat teringat pada pemilik sepasang mata elang. Hanya melihat dari gestur tubuhnya saja ia merasa berada di medan peperangan yang sama. Sebagai sesama lelaki, Prayoga amat sangat tahu apa yang dipendam begitu dalam oleh pria muda itu. Bahkan, sejak pertama kali mereka saling berjabat tangan.

Demi mewujudkan harapan untuk bisa memiliki Amanda tak bisa terbendung lagi. Terpaksa menjadikannya monster yang ternyata sanggup menghunjamkan luka bertubi-tubi pada gadis yang ia cintai.

"Maafkan aku, Manda. Aku ... menyesal sudah menyakitimu. Maaf," keluh Prayoga menyesal mengingat perbuatannya yang sungguh kelewatan. Wajahnya tampak kusut. Kembali ia memeras handuk kecil bercampur air hangat yang baru diganti oleh asisten rumah tangganya. Meletakkan lagi di dahi Amanda.

🌻🌻🌻🌻

Surabaya, 141119

Sarden Gaga ini kasian bener yaa. Hopeless dia. Mentok akhirnya begini. Ujung2nya menyakiti Amanda. Awas ya ntar gue gorok lo.

Ngeselin juga, baru menyesal pas sudah menghancurkan Amanda.

Ya sudah, mari kita nantikan part berikutnya yang pastinya, halah ge er banget, lebih ngeselin lagi. Siapkan golok untuk siapa ya eng ing eng. Tunggu next part yaa 🤣🤣🤣

Happy reading yaa ❤️❤️❤️

Apalah aku tanpa dukungan kalian 🤩

Yang rajin komennya n kasih semangat lho ya

Please send your love and support to me with many votes and comments yaaa 🥰🥰🥰

Thank you ❤️❤️❤️

After Years GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang