(49) Goodbye Without Saying Goodbye

1.9K 329 190
                                    

Entah sudah berapa kali kepalan tangan itu beradu dengan samsak tinju yang sudah menjadi teman akrabnya sejak pulang dari rumah sakit. 

Sepertinya ada yang memacu tubuhnya untuk terus mengeluarkan tenaga. Seperti ada luapan yang butuh pelampiasan. Bahkan, dirinya sendiri terkadang lelah untuk terus meninju dan memukul demi rasa lega yang membuat sesak di dadanya berangsur reda. Sekelebat bayangan itu membuatnya tersiksa lagi dan lagi memaksanya bergelut dengan samsak tinjunya. Bayangan itu seperti menyisakan rasa panas yang menyisakan sensasi terbakar di sudut ruang dalam dirinya. 

Sungguh ia lelah dengan ini semua. Tak tahu bagaimana caranya membebaskan dirinya dari kondisi sialan ini. Terus menerus menerornya tanpa henti. Mengikis habis jam tidurnya. Membuat performa kerjanya sedikit terganggu. 

"Pulanglah."

Entah suara dari mana. Segera, ia menggelengkan kepala demi menghilangkan suara pilu itu. Suara yang terdengar memohon dan baginya menjijikkan sekali. 

"Sialan! Sialan!"

Meninju berkali-kali samsak tinju hingga tubuhnya banjir peluh. 

Sore itu, entah angin dari mana. Entah bentuk kemurahan semesta atau bukan. Sebentuk permohonan menjijikkan itu terkabul. Suara pilu itu mendapatkan jawaban. Perempuan itu pulang. Kembali lagi ke rumahnya. 

Lagi-lagi sekelebat bayangan yang sudah menerornya sejak pulang dari rumah sakit mengambil alih semuanya. Darahnya terasa mendidih saat itu juga. 

Benar sudah. Sekelebat bayangan itu benar-benar bukan sekadar imajinasi saja. Mereka nyata. Membuat sekujur tubuhnya berontak. Sisi beringasnya ia tahan sekuat tenaga. Namun, gagal. Ia berhasil menabur luka seolah ingin menuntut balas. Tuduhan itu meluncur dengan lancar dari mulutnya. Merasa tidak ada yang salah dengan tuduhan itu. Semuanya terlihat jelas dari gestur perempuan itu. Dari apa yang dikenakannya. Apalagi tiga hari kemudian baru kembali pulang. Tidak mungkin ia tak menyerahkan segalanya. Merayakan cinta mereka di ranjang hingga lupa pulang. Pulang kembali padanya.

Dasar perempuan murahan, geramnya dalam hati. Tak sudi mengotori mulutnya untuk mengucapkan langsung pada perempuan yang masih terisak itu.

Pagi itu, dengan tatapan dingin ia memandangi nasi tim ayam jamur hangat di hadapan. Terpaksa menyendokkannya masuk ke mulut. Menelannya hingga ke kerongkongan. Tiba-tiba saja perutnya terasa mual. Tak kuasa menghentikan bayangan liar sialan itu. Jika tangan perempuan yang baru saja membuat sarapannya juga telah dipakai beradegan panas dengan laki-laki lain.

Mengakhiri semua ini adalah satu-satunya hal yang paling masuk akal di otaknya. Ia hanya perlu mengembalikan hidupnya yang normal seperti dulu lagi. Dulu, seperti sebelum perempuan itu datang dan menghancurkan segalanya.

Waktu yang tepat untuk menyeret paksa perempuan itu dari hidupnya. Selamanya.

🌻🌻🌻

Suasana di kamar Amanda tampak sibuk. Bik Sima membantu perempuan bermata bengkak untuk memasukkan barang-barang ke dua koper besar. Sesekali wanita berusia lima puluhan itu mengelap pipinya saat air mata jatuh tak tertahankan. 

"Yang sabar, ya, Manda," hibur Bik Sima sambil mengusap-usap punggung Amanda yang kini sudah tidak terlalu berguncang hebat seperti tadi saat Raka mengantarkannya ke kamar. 

"Iya, Bu. Setidaknya sebentar lagi saya bisa pulang ke Surabaya. Bekerja di sana lagi," ucap Amanda sambil menerawang jauh. Memikirkan kembali apa saja yang harus ia lakukan nanti saat menginjakkan kaki kembali di Surabaya. Bahkan, ia tak tahu akan tidur di mana nantinya. Membayangkan dirinya bingung mencari kos-kosan dengan menenteng dua koper besar. Tiba-tiba teringat kembali dengan pertemuan pertamanya dengan si pemilik rumah ini. Akankah nanti ada yang bisa menolongnya saat di Surabaya. Mengingat ia tak memiliki siapa-siapa lagi di sana.

Amanda kembali melipat baju-bajunya. Menghilangkan pikiran-pikiran buruk di kepalanya. Kembali melanjutkan kegiatan packing sambil menunggu Raka selesai bekerja. Lelaki itu sendiri yang akan mengantar Amanda ke stasiun.

Sore menjelang, perempuan itu sudah siap untuk pulang. Dua koper besarnya sudah terisi barang-barang miliknya. Tak ada yang tertinggal lagi di kamarnya. 

Sesuai rencana, Raka datang ke kamar. Membantunya menarik dua koper besar meskipun Amanda menolak untuk ditolong. Mereka berjalan bersisian menuju pintu utama rumah. Untuk terakhir kalinya, Amanda memandang lagi dapur besar itu, membuat langkahnya terhenti sejenak. Di sanalah ia bekerja dan juga diberhentikan mendadak dengan perlakuan si pemilik rumah yang begitu menyakitkan. Membuat kedua mata perempuan itu terpejam sesaat menahan pedih.

Melanjutkan langkahnya lagi, kali ini melewati ruang kerja si pemilik rumah yang masih tertutup. Menimbang-nimbang di dalam sana apakah perlu untuk berpamitan.

"Manda, ngapain berhenti di situ?" tanya Raka saat menyadari jika Amanda berhenti di depan ruang kerja Edgar.

"Aku mau pamit dulu sama …."

"Nggak perlu Manda. Untuk apa pamit sama orang yang sudah tega memperlakukanmu seperti itu. Ayo jalan, taksi online-nya mau sampai," ajak Raka dengan nada setengah memaksa.

Amanda mengangguk pelan. Sebelum melanjutkan langkah, ia kembali menatap pintu ruangan yang masih tertutup itu. Menggumamkan ucapan selamat tinggal dan terima kasih untuk si pemilik rumah dalam hati. Setidaknya jika bukan lelaki itu yang menolongnya saat di stasiun entah seperti apa nasibnya di ibukota ini. Namun, tak disangka jika lelaki itu juga yang menendangnya pulang kembali ke Surabaya.

Raka sudah memasukkan dua koper besarnya ke bagasi mobil. Kemudian menyuruh perempuan itu masuk ke jok penumpang yang pintunya sudah terbuka. "Manda, ayo masuk."

Selamat tinggal, sekali lagi ia berkata dalam hati sambil memejamkan mata. 

Selama perjalanan, suasana kabin mobil tampak hening. Raka sibuk dengan ponsel pintarnya. Sesekali jemarinya menyugar rambut tebal dengan raut serius. Kemudian kembali mengetik sesuatu di layar ponselnya.

"C'mon …." Raka berdecak lagi. Mencoba lagi menghubungi seseorang lewat ponsel pintarnya.

"Kenapa, Mas?" tanya Amanda heran.

Raka menghentikan kegiatannya sementara. Menoleh ke arah Amanda sambil tersenyum. "Nggak apa-apa kok, Manda."

"Mas, aku nggak tau nanti akan tidur di mana waktu sampai di Surabaya. Aku belum cari kos-kosan. Aku bingung nanti gimana," kata Amanda mulai kebingungan.

"Aku sudah memikirkan itu semua, Manda. Nggak mungkin aku membiarkanmu nggak punya tempat tinggal. Jadi tenanglah, serahkan semua padaku. Oke."

Jawaban Raka dengan dengan nada lembut itu pelan-pelan membuat Amanda mulai tenang. Perempuan berambut panjang itu mulai mengalihkan pandangan ke jendela. Menikmati pemandangan ibukota untuk terakhir kalinya. Hidupnya akan berubah sebentar lagi.

Dari kejauhan sebuah motor Kawasaki hitam berjarak dua mobil dari taksi online yang ditumpangi Amanda dan Raka terus mengikuti. Sang pengendara mencoba berkomunikasi dengan seseorang via bluetooth intercom yang terpasang pada helm full face hitam yang dikenakannya.

🌻🌻🌻🌻

Surabaya, 181119

Update yaaa, yeeayy

Btw, pengen hapus itu scene pertama panjang bgt yaa 🤣🤣🤣 cuma mau deskripsiin perasaan orang aja banyak cingcong 😆😆😆

Mau hapus kok sayang sudah nulis 😂😂😂

Oke silakan absen mau team siapa sekarang? 😆😆😆

Hadeh itu siapa sih yang naik Kawasaki hitam?

Happy reading yaa ❤️❤️❤️

Please send your love and support to me with many votes and comments yaaa 🥰🥰🥰

Thank you ❤️❤️❤️

After Years GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang