(8) Ava's Madness

1.8K 263 20
                                    

"Nama lo Amanda Wulandari, kan? Sorry kalo gue nggak sopan nyuruh Ava buat rogoh saku rokmu. Untung saja ada KTP lo jadi lo nggak usah jadi pasien tanpa nama."

"Kalung saya nggak hilang kan?" Jemari Amanda langsung mengecek keberadaan kalung yang pernah diberikan Yoga padanya sebelum pindah mengikuti kedua orang tuanya. Wajahnya terlihat panik. 

"Nih. Gue simpen. Untung malingnya nggak nyopet ini." Edgar menyorongkan telapak tangan kanan yang terdapat kalung dengan huruf A kapital. "Kamu tau, ini kalung berlian. Kamu harus jaga baik-baik."

Amanda mengangguk pelan. Ia tak peduli terbuat dari apa kalung yang kini sudah kembali di genggaman. Akan selalu ia jaga sepenuh hati, sekalipun terbuat dari plastik. Kalung ini adalah miliknya yang berharga satu-satunya kini.

Tak lama kemudian dokter IGD melakukan pemeriksaan sebelum mengijinkan Amanda pulang. Meminta pasiennya untuk istirahat dulu selama dua hari ke depan. Sedangkan Edgar, beranjak ke bagian pembayaran dan farmasi untuk menyelesaikan pelunasan biaya dan mengambil vitamin yang diresepkan dokter.

Amanda bangkit perlahan-lahan dari ranjang pasien setelah selang infusnya dicabut. Saat ia berjalan pelan menuju pintu keluar IGD, ada seorang perempuan dengan wajah blasteran menghampirinya. Menatap Amanda dengan rasa tidak suka.

Seketika, Ava menarik lengan perempuan yang masih terlihat pucat itu dengan paksa. Amanda hanya pasrah mengikuti ke mana Ava akan membawanya pergi.

Di area parkir mobil yang mulai sepi, Ava mulai menumpahkan segala kekesalannya.

"Gimana keadaan lo? Sudah cukup kuat buat pulang. Asli lo Surabaya kan? Jam segini masih kekejar kok naik Argo Anggrek. Ntar gue bayarin pulang." 

Amanda hanya menundukkan kepala, mendapati Ava yang mengomel kesal dan sinis padanya. Sepertinya tawaran gadis blesteran itu cukup menggiurkan. Kembali ke Surabaya, ke zona nyamannya. Tiba-tiba teringat jika ia pulang, tak ada lagi keluarga Barata yang akan melindunginya sekembalinya di sana. 

Pupus juga harapannya untuk bisa bertemu kembali dengan Prayoga.

"Ava, ada apa sih lo kok bawaannya marah-marah mulu?" tanya Edgar yang tiba-tiba datang mengakhiri pertengkaran yang dimulai oleh rekan kerja sekaligus sahabatnya, Ava.

"Gimana nggak kesel, Ed, lo bawa perempuan yang lo baru kenal belum dua jam ke rumah lo. Nginep lagi. Lo jangan-jangan dijampi-jampi sama dia. Bisa aja dia nggak sebaik yang lo kira."

Edgar menarik napas panjang, mendengar kelakuan Ava yang mulai kekanakan. Sekembalinya dari mengambil obat, Raka menelponnya jika Ava menarik paksa Amanda menuju luar gedung rumah sakit. 

"Ava Rose Haurer, kamu kenapa?" tanya Edgar dengan suara sedikit melembut. Sorot matanya menatap lekat pada Ava. 

"Gue kesel. Gue takut kalo lo dipermainkan sama perempuan ini. Ngapain juga sih lo ajak dia nginep ke rumah lo," sungut Ava lagi sambil mengerucutkan bibirnya. Ia semakin sebal karena Edgar tak kunjung peka.

"Ya biar Bik Sima ada temennya," jawab Edgar enteng. Sukses membuat amarah Ava semakin memuncak.

"Nggak usah bawa-bawa Bik Sima deh. Bilang aja lo yang butuh temen," sinis Ava lalu beranjak angkat kaki dari sana. 

Lengan kokoh itu dengan cepat meraih tubuh Ava, melingkar pada pinggang ramping gadis cantik berambut kecokelatan itu.

"Aku minta kamu kembali ke mobil, sebelum membuatku marah. Sekarang!" bisik Edgar tepat pada tengkuk sahabat perempuannya dengan nada penuh peringatan.

Sedangkan Raka menghampiri Amanda yang sedari tadi berdiri seperti patung, menunduk menatap ujung sepatu flat shoes-nya. Mengajaknya kembali menuju SUV putih milik Edgar.

***

Esok pagi harinya di ruang tunggu keberangkatan internasional bandara Juanda, Sonya menggenggam erat tangan Roby. Sedangkan Arman sibuk menunjukkan aneka pengetahuan baru lewat ensiklopedia ruang angkasa pada sang adik. 

Sebisa mungkin Sonya tak menangis, khawatir Aurel akan banyak bertanya tentang keadaan Amanda. Wanita itu tak henti-hentinya memikirkan keberadaan Amanda dan bagaimana nasibnya. Kabar buruk itu datang ketika semalam Niken meneleponnya jam sembilan. Sahabatnya panik bukan main karena calon pegawainya tak kunjung datang. Tak juga bisa dihubungi nomor ponselnya.

"Ke mana perginya Amanda, Pa. Aku khawatir terjadi sesuatu yang buruk padanya," lirih Sonya dengan kedua mata berkaca-kaca.

"Amanda anak yang baik, Ma. Papa yakin Tuhan akan melindunginya. Kita hanya bisa sama-sama berdoa untuk keselamatannya."

****

Hai Ava, teruslah jahat sama Amanda, biar seru 😆

Hai Ava, teruslah jahat sama Amanda, biar seru 😆

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Nah kan telat posting lagi 🤣

Ketiduran tadi waktu ngetik, padahal tinggal dikit lagi.

Akhirnya kelar juga.

Thanks for reading yaaa

Thanks for your vote and comment ❤️❤️❤️

After Years GoneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang