𝙙𝙤𝙨

59 13 0
                                    

Esok harinya. Aku terbangun sendiri dengan sebuah selimut di atasku menjagaku dari udara malam- eh, udah pagi kok. Gimana sih aku. Iya, tapi tetap dingin sih. Jadi lumayan juga punya selimut.

Tapi aku nggak ingat pakai selimut tadi malam. Lalu aku pun berpikir keras-tidak juga sih- mengenai siapa sebenarnya orang yang menyelimutiku. Dan sadar, pasti mama lah!

Mungkin tadi pagi, Nata bangun dan keluar karena di minta pulang dari mamanya lalu mamaku nyelimutin aku. Bisa juga begitu ya.

Setelah menatap langit-langit kamarku untuk beberapa detik karena belum sadar sepenuhnya, aku pun berdiri dan berjalan menuju pintu kamar.

Aku membuka pintunya dan kaget saat melihat Nata berdiri di baliknya terlihat seperti baru saja ingin mengetuk pintuku.

"Eh. Belum pulang, Nat?" Tanyaku bingung. Kukira dia sudah pulang tadi pagi.

"Belum, kata mamamu aku boleh tinggal di sini selama yang aku mau." Jawabnya, aku pun mengangguk. Lalu dia mulai lagi, "Maaf ya kalau merepotkan."

"Ealah, nggak apa-apa." Balasku, "Nemenin aku soalnya mama-papaku kerja, lalu kakakku kuliah. Jadi ya gitu. Lumayan juga kan kalau punya teman di rumah. Orang tuamu juga belum pulang kan?"

Sekarang gilirannya untuk mengangguk. Itulah saat di mana kami mendengar mama memanggil kami untuk ke ruang makan.

"Dek, kamu sama temanmu ke sini lah. Sarapan sudah siap." Panggil mamaku. Aku pun menyahut kembali,

"Iya ma!" Lalu aku melihat ke Nata dan berkata, "Ayo Nat, kita ke ruang makan. Masa kamu nggak lapar?" Dia pun tertawa yang membuat aku juga tertawa- tersenyum, lebih tepatnya.

Setelah itu, kami pergi ke ruang makan dan duduk di kursi-kursi yang mengelilingi meja makan. Mamaku datang membawa dua piring pancake dan memberikannya pada kami.

Aku melihat ke mama dan bertanya, "Mama udah makan?"

"Udah, kok. Soalnya mama ada meeting pagi ini." Mamaku mengambil tasnya, "Mama pergi dulu ya. Kamu sama Nata baik-baik ya, jangan ngotorin rumah ya." Dan dengan begitu, mama berangkat kerja dan lagi-lagi tinggal aku dan Nata di rumah ini.

Kami memakan sarapan kami dengan diam. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Tidak ada suara dapat terdengar pada pagi hari itu, tidak ada suara selain suara mobil dan motor di luar rumah ini.

Tapi ini bukanlah ketenangan yang canggung, ketenangannya yang terasa nyaman.

Setelah aku selesai, aku melihat ke piringnya dan melihat bahwa dia sudah selesai dan sekarang sedang melamunkan entah apa selagi menatap ke piringnya yang kosong.

Bahkan saat tidak melakukan apa-apa dia terlihat lucu begitu

Pikirku. Lalu aku berdiri dan mengambil piringnya- dia langsung kaget dan pasti terjatuh dari kursinya kalau bukan karena aku yang menarik tanganya; mencegah dia jatuh.

Setelah itu aku berjalan ke wastafel tempat mencuci piring dan mencuci piring dan alat makan kami.

"Eh jangan!" Suruhnya, "Aku aja yang cuci piring yang tadi aku pakai!"

Tapi ngapain coba aku dengarkan dia. Jadi aku melanjutkan mencuciku.

"Aku aja!" Lalu dia mencoba mengambil piringnya dari genggamanku tapi sebelum tangannya sampai aku sudah memegang erat piringnya dan mengangkatnya tinggi, "Aku tidak setinggi itu woiiiii!" Sungutnya. Lucu batinku saat mendengar suaranya sedikit meninggi.

"Tau, makanya aku angkat tinggi-tinggi." Balasku. Lalu dia mendorong bahuku ke bawah dengan harapan dapat menjangkau piringnya, tetapi yang terjadi malah sesuatu yang tidak diinginkan.

Prang!

Piringnya jatuh. Aku merasakan piring itu menjadi sedikit lebih licin karena sabunnya yang bergesekan dengan kulit telapak tanganku. Tapi aku tidak menyangka bahwa piringnya akan jatuh. Ditambah lagi, piring itu jatuh dari tempat yang lumayan tinggi.

Saat piringnya lepas dari genggaman tanganku refleksku langsung bekerja dan tanpa menyadarinya tanganku melingkarinya dan sisa tubuhku mencoba menghadang pecahan-pecahan piring itu dari Nata.

Usahaku memang berhasil, semua berkat perbandingan ukuran kami yang beda jauh-aku jelas lebih besar.

Dia kaget karena semuanya terjadi dengan sangat cepat. Aku pun baru sadar setelah beberapa detik bahwa punggungku teriris pecahan-pecahan piring itu. Tidak ada yang dalam, tapi tetap perih dan ada juga yang lumayan sakit.

Tiba-tiba salah satu lukanya pun kena baju yang sedang aku kenakan, aku pun menarik nafas tajam. Nata melihatku dengan khawatir.

"Bin, ealah. Pecahan piring gitu aku juga bisa nahan sakitnya tau." Katanya sambil berdiri. Aku juga ikut mencoba berdiri tapi dia langsung mendorongku kembali ke lantai.

Aku melihat ke arahnya lalu dia berkata, "Aku ambilin P3K, ada kan itu di sini?" Aku mengangguk karena punggungku yang sakit.

"Tadi pagi aku lihat ada di dekat microwave, aku ambil dulu. Kamu jangan berani-berani kau bergerak dari posisimu sekarang, mengerti? Ku sengajain bikin sakit nanti." Perintahnya.

Aku hanya bisa angkat tangan, pasrah. Lalu dia pun pergi untuk mengambil kotak P3K di dapur.

Beberapa saat kemudian, Nata pun kembali dengan sapu dan kotak P3K.

Dia menyapu pecahan-pecahan piringnya dan duduk di belakangku. Dia membuka kotak P3Knya dan mengeluarkan alkohol dan kasa untuk membersikan lukaku. Aku menarik nafas tajam lagi saat kasa itu menyentuh kulitku.

"Diem. Salahmu sendiri lho." Komentarnya. Aku pun tertawa. Aku tahu bahwa Nata memiliki sisi seperti ini, tapi sisi ini sangat jarang dia perlihatkan jadi kalau benar keluar dia jadi sangat berbeda dari biasanya.

"Iya iya, sorry Nat."

"Bagus." Tanpa melihat pun aku sudah tahu bahwa dia sedang tersenyum bangga terhadap dirinya sendiri. Dan karena itu, aku pun melanjutkan tawaku.

Bintang KejoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang