𝙩𝙧𝙚𝙨

48 6 0
                                    

"Bin," Panggilnya, "kita keluar yuk. Jalan-jalan ke mana gitu."

"Mau ke mana emangnya?" Kutanya balik.

"Entah, mau jalan-jalan aja." Aku pun berpikir sejenak mengenai tempat-tempat di dekat rumahku yang bisa kami datangi pada saat itu.

Tempat yang tidak terlalu ramai atau panas agar kami bisa menikmati tempat itu.

Nata juga tidak tinggal diam, dia mengambil handphonenya dan mencari tempat untuk kami datangi.

Lalu aku pun teringat, "Di dekat sini ada lapangan basket, mau ke sana nggak?" Dia melihatku dengan tatapan kosong sejenak dan tidak lama kemudian kembali ke bumi dan menjawab,

"Oke." Jawabnya singkat. Dan entah kenapa aku memiliki perasaan buruk mengenai hari ini. Tapi aku biarkan saja dulu perasaan dulu itu, kan kami mau jalan-jalan.

Dia memasukan handphonenya di dalam kantong dan berdiri dari sofa yang tadi ia duduki, "Ayo. Lama amat melamunnya." Aku pun tertawa.

Aku tidak mengerti kenapa aku selalu tertawa saat dia ada. Sejak kemarin dia datang, setiap hal yang aku lakukan menjadi lebih menyenangkan- tidak seperti awal-awal liburan ini.

"Iya, iya. Aku ke sana." Lalu kami keluar rumah dan berjalan menuju lapangan basket yang aku maksud tadi. Beberapa kali kami bertemu salah satu tetanggaku yang sedang membawa jalan anjingnya, kami juga bertemu pemilik angkringan di depan rumahku yang pada waktu itu sedang otw ke toko Sembako untuk membeli barang-barang untuk angkringannya.

"Tempat tinggalmu ini lumayan ramai. Mungkin karena hari libur." Bicaranya sendiri.

Aku tahu dia bukan lagi bicara padaku dari nada bicaranya. Setelah beberapa bulan berteman dengannya, sepertinya aku sudah tahu jenis-jenis cara bicaranya dan kapan nada-nada itu digunakan.

Walau sudah lumayan lama waktu kami berteman, aku belum pernah berkunjung ke rumahnya sekali pun. Dan aku tidak apa-apa dengan itu.

Jika dia tidak nyaman dengan aku datang ke rumahnya, aku juga tidak akan berkunjung. Aku juga tidak tahu alamatnya secara spesifik.

Tapi dari wajah dan ekspresi yang dia buat saat melihat di kanan-kirinya, sepertinya aku bisa menarik kesimpulan bahwa di tempat tinggalnya, tetangga dan orang-orang lain yang menghuni tempat-tempat di sekitar sana tidak seramah orang-orang di sini.

Itu tidak aneh.

Saat aku berumur tujuh tahun, aku juga pernah tinggal di tempat seperti itu. Dan tempat itu memang tidak menyenangkan sama sekali.

"Itu lapangan basketnya?"

Aku pun melihat ke arah yang Nata tunjuk dan melihat lapangan basket yang aku maksud tadi, "Yup, yang itu. Ayo ke sana." Ajakku dan berlari ke arah lapangan itu dengan Nata mengikutiku dari belakang.

Di sana aku melihat ada beberapa teman-temanku bermain basket.

"Woi!" Panggilku dan mereka pun melihat ke arah kami, "Kami ikutan dong!" Lalu aku mengambil tangannya dan menariknya ke lapangan basket yang tidak jauh di depan kami, "Hai."

"Hi, bro. Ini siapa?" Tanya Putra, ketua tim basket sekolah kami. Dia juga berlari ke arahku dan memelukku. Setelah melepaskan pelukkannya dariku, ia melihat ke arah Nata.

Dia melihat Nata dari atas sampai bawah. Apa yang kurang dan lebih dari fisiknya, "Putra," Ucapnya, menunjuk ke dirinya sendiri. Lalu bertanya, "kamu?"

Nata mencoba tidak tersenyum, tapi aku tahu ia tidak bisa menolak keramahan orang lain.

Jadi terlihatlah sebuhah senyum kecil di wajahnya saat ia membalas perkenalannya Putra, "Nata." Dari ekspresi Putra setelah itu, aku tahu bahwa dia mendengar tawa kecil yang lucu itu dan melihat senyuman kecil yang tadi ia buat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bintang KejoraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang