What Should I Do? (1)

19.8K 207 16
                                    

Katanya cinta datang karena terbiasa? Tapi apa, ini sudah berbulan-bulan sejak kita menikah dan dia tak pernah menyentuh masakanku barang sedikitpun.

Katanya batu yang terus digerus air bakal pecah juga? Tapi apa, aku sudah berjuang selama ini dan dia tak pernah luluh.

Apakah aku harus berjuang lagi? Tapi sampai kapan?

Terkutuklah mereka para pembuat quotes yang membuatku bersemangat untuk berjuang yang nyatanya hanya sia-sia.

"Nad, aku kerja dulu" sahut seseorang yang membuyarkan lamunanku.

"Oh i-iya mas" aku beranjak dari tempat dudukku seraya melepaskan apron yang kukenakan sebelumnya.

Aku menyaliminya, sejenak aku menatap belakang tubuhnya yang sedikit demi sedikit menjauh dari hadapanku.

"Mas kapan kamu membuka hatimu untukku?"

Cepat-cepat aku menatap langit indah berawan ketika kurasakan setitik air jatuh dari mataku.

Kutatap masakanku yang sejam lalu kubuat. Seperti biasa, masakan itu pasti berakhir di tempat sampah.

Drrt

Drrt

Sebuah pesan memasuki ponselku. Pesan dari Adira, sahabatku.

Aku segera membukanya dan terkejutlah aku dengan apa yang dikirimkannya.

Suamiku dengan wanita lain yang sama sekali tidak kukenal. Bergandeng mesra di sebuah kafe.

Rasa sakit menyeruak menembus celah hati. Kekecewaan dan kesedihan bersatu mengarungi relung hati.

Air mata turun tanpa perintah. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

Tidakkah dia sadar sudah memiliki istri? Tidakkah dia memikirkan perasaanku? Mengapa? Karena dia takkan pernah mencintaimu.

Sadarlah Nadia, lepaskan dia. Raih kebahagiaanmu sendiri.

Tapi bagaimana jika kebahagiaanku itu dia? Apa yang akan ku raih jika melepaskannya?

Kutatap foto pernikahan kita yang terpajang di dinding. 9 bulan yang lalu, kamu berpura-pura tersenyum di hadapan tamu undangan sedang aku tersenyum bahagia.

Mengapa juga kau dulu menerima pinta orang tuaku? Lebih baik kamu menolaknya, jangan membuatku berharap lebih.

Dan tolong sekarang bilang padaku apa yang harus kulakukan. Ini konsekuensimu karena telah menerima pinanganku dulu.

Katakan 'Menjauh', maka akan kulakukan.

Katakan 'Pergi', maka akan kulakukan.

Katakan 'Cerai', mari kita lakukan.

Aku lalu bersiap-siap menemuinya di kantor. Meminta kejelasan akan hubungan kita. Sebuah terusan selutut dan clutch turut bersaksi dalam perjuanganku hari ini.

Kukendarai mobilku hati-hati, semarah apapun aku, aku tidak akan membahayakan buah cintaku dengan dirinya.

Kini aku sudah di depan ruangannya, terlebih dahulu kusiapkan hati serta mentalku sebelum mengetuknya.

Tok tok

"Masuk" Sahutnya dari dalam.

Cklek

Pandanganku langsung bersibubuk dengan mata coklatnya.

"Nadia, ada apa?" sapanya tersenyum. Lebih tepatnya senyum palsu. Aku tahu dia selalu membenciku.

Aku mendekatinya, "Mas aku mau ngomong sesuatu, penting"

"Kamu habis nangis?" katanya melihat wajahku yang masih sembab.

Ia beranjak mendekatiku, diusapnya mataku yang memerah. Ya Tuhan, aku mohon tolong kuatkan hatiku.

"Kenapa? Apa yang membuatmu sampai menangis?" Tanyanya lembut. Sontak perkataannya membuat mataku kembali mengeluarkan air untuk kesekian kalinya.

Ia memelukku dan membelai rambutku, "Sssstt ssttt, kamu bisa menceritakannya nanti"

Bukan, bukan ini tujuanku ke sini. Hapus air matamu dan segera bicara, Nadia.

Aku melepaskan pelukannya setelah beberapa menit, "Mas, mari bercerai"

"A-apa?" Dia tampak terkejut.

"Aku tahu kamu menginginkan perceraian ini"

"Kamu hamil, makanya kamu emosional gini kan?"

"Aku serius" kataku menatap matanya.

"Agama tidak memperbolehkannya"

Bodohnya aku berharap kamu menolaknya.

"Maka, aku akan pergi"

Dia melamun tak menjawab. Apa yang dilamunkannya?

"Kita bertemu di pengadilan 10 bulan lagi" lanjutku.

"Bagaimana dengan orang tuaku" sahutnya.

"Kamu hanya memikirkan orang tuamu? iya? Tolong pikirkan aku sekali saja mas. Aku butuh bahagia! Tidakkah kamu tahu, aku selalu menangis di sepertiga malam? Mengadukan semua keluh kesahku pada Tuhanku. Menanyakan apa yang harus ku lakukan setiap berhadapan denganmu" ucapku berlinang air mata mencurahkan segala kesakitan yang aku pendam hingga kini.

Tes

Air mata jatuh di kedua matanya. Ia menangis? Tapi kenapa? Bukankah ini yang dia mau sejak kita menikah?

Aku tak ingin menambah beban pikiranku. Kubalikkan tubuhku menjauhinya. Selamat tinggal duniaku. Selamat tinggal, Mas. Semoga Tuhan memberimu kebahagiaan setelah ini.

Kadang ketegasan diperlukan dalam sebuah hubungan. Jangan buat dirimu terombang-ambing dalam sebuah ketidakpastian.

CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang