1. Aku

682 26 5
                                    

Ruang tunggu poliklinik dr. Kusuma seperti biasa sangat ramai dikunjungi ibu-ibu hamil yang ditemani oleh suami atau ibunya. Wajah-wajah mereka tampak berseri, tampak tidak sabar ingin mendapatkan update terbaru tentang janin yang sedang tumbuh di dalam rahim mereka. Suami-suami siaga sibuk membawa dokumen bolak balik mengurus administrasi dan menuntun istrinya yang sudah mulai susah berjalan. Aku memandang jam tangan silver yang melingkar di tanganku. Pukul lima sore. Dokter Kusuma masih tindakan. Duh, sepertinya aku bakalan pulang malam lagi.

Aku menyelonjorkan kakiku yang pegal karena duduk menunggu sejak sejam yang lalu. Menatap langit-langit rumah sakit nanar, ingatanku melayang ke 12 tahun lalu. Pertama kalinya aku berada di ruang tunggu ini. Bersama ibu yang bahkan tidak bisa duduk diam di kursinya karena tidak bisa menghilangkan rasa gelisah menanti vonis apa yang akan menungguku di dalam ruang periksa nanti.

Sementara itu aku, pada detik itu masih tidak ambil pusing. Aku tidak begitu peduli, toh aku merasa semuanya baik-baik saja. Hanya ibu yang tidak sabaran, padahal anaknya merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi aku sama sekali tidak menyangka apa yang akan menyambutku di dalam ruang periksa berukuran 3 kali 4 meter itu akan menjadi awal yang mengubah seluruh hidupku selamanya.

Aku masih inget tawa renyah dr. Kusuma ketika wajah kagetku tidak bisa disembunyikan saat melihatnya duduk di belakang meja konsultasinya, "Kaget ya, kamu kira saya laki-laki, ya?" ujarnya masih mengulum senyum.

"Hehe, iya dok," aku menggaruk kepala, malu.

"Kenapa ini kenapa, Bu?" tanyanya ramah pada ibuku. Ibuku menyodorkan sehelai kertas ke dokter cantik itu. "Kami dirujuk oleh dr. Hadi, dok," jawab ibu pelan.

Dr. Kusuma membaca tulisan di surat rujukan dokter anak langganan kami itu sambil manggut-manggut. "Yuk, kita periksa dulu," ujarnya sambil mengajak kami ke ranjang periksa.

Suster menyelipkan tisu di pinggang celanaku dan menariknya sedikit ke bawah. Dokter berkulit putih itu lalu mengoleskan gel biru yang dingin ke perutku dan meraih probe di sisi mesin usg. Wajah dr. Kusuma tampak serius menatap layar yang menampilkan hitam putih bayang-bayang isi perutku. Tangannya luwes menggerakkan probe menyusuri area perutku, sambil sesekali memberikan tekanan.

"Dewi umurnya 15 tahun ya?" tanya dr Kusuma basa-basi.

"Iya dok," jawabku.

"Wah, seumuran ama anak bungsuku, lagi ngeyel banget tuh dibilangin, kerjanya ngebantah terus," dr Kusuma curhat.

"He eh," balasku kikuk.

"Katanya mau jadi dokter, tapi disuruh belajar susah banget, main game terus," dr. Kusuma masih terus bercerita mengabaikan wajahku yang tak terlihat tertarik.

Dia beberapa kali berhenti menggerakkan probe untuk memencet beberapa tombol dan menyimpan hasil pemindaian usg tersebut.

Wanita bertubuh langsing itu tertegun sebentar sebelum berkata, "Hmm, Dewi, saya periksa bawah, boleh?"

Aku menoleh pada ibu yang tidak bisa menyembunyikan raut khawatirnya. Aku mengangguk pelan pada dr. Kusuma setelah melihat wajah setuju ibu.

Dr Kusuma memperhatikan kemaluanku dengan seksama, sebelum kemudian berkata, "Sudah, yak, silahkan dipakai kembali celananya," dan berjalan menuju mejanya.

Suster membantuku berdiri dan menyeka sisa gel usg. Ibu duduk duluan di kursi yang menghadap meja dr. Kusuma. Dr kusuma tampak mengetikkan sesuatu ke komputer di mejanya.

"Ibu, Dewi, saya belum bisa mengambil kesimpulan, tetapi saya memang punya beberapa kecurigaan. Ini nanti Dewi harus menjalani beberapa tes dulu. Nanti detilnya, bisa tanya Suster Erika, ya," ujar dr. Kusuma dengan raut wajah serius.

[Tamat] Dewi Setengah DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang