5. Luca

205 15 9
                                    

"Uda! Lado hijau tambah!" seru Luca pada pelayan Simpang Raya yang terkesima sendiri sama si Italiano yang makan dengan lahapnya.

Sok iye bener, minta lado. Lado adalah bahasa minang untuk sambal. Saking seringnya dia ke restoran Padang, he picks up one or two words.

"Ini Mister." Uda pelayan meletakkan satu piring kecil berisi sambal cabe hijau yang langsung diraup Luca dengan nafsu.

"Terima Kasih!" ucapnya dengan logat khas para bule.

"Lapar apa doyan, Om," godaku yang sudah selesai makan sejak sebelum Luca minta tambahan nasinya yang kedua.

Dia tak menjawab. Pria berjenggot tipis itu bahkan tidak peduli dengan beberapa tetes gulai yang menempel di jenggot dan kumis tipisnya. Sudah seperti nonton acara mukbang di Youtube.

"Delizioso!" pujinya setelah menghabiskan 2.5 porsi nasi, 1.5 piring sambal hijau, 2 potong rendang, 1 porsi daun singkong rebus, dan 1 porsi cincang. Mukanya terlihat puas sekali.

"You'll get cholesterol in no time." Aku berdecak sendiri melihat porsi makan Luca.

"Yang tadi siapa?" selidik Luca tanpa menghiraukan komentarku.

"Tadi mana?" jawabku bingung.

"That male doctor."

"Nobody. Enggak kenal, kebetulan sama-sama liatin bayi."

Luca ber-hoo ria sembari menyeka mulutnya.

"Looks like, he's interested in you," cetusnya.

"Kalau semua pria yang berdiri di sampingku itu tertarik sama aku, aku udah jadi artis kali," tandasku sambil tergelak.

Luca nyengir kuda. "You ARE attractive, Wi."

"Indeed I am!" balasku sambil terkekeh sendiri.

"Eh, katanya tahun ini, outing kantor bakal ke gunung, ya?" tanya Luca.

"Iya, males ih. Kebayang bakal bawa carrier gede-gede."

"Nanti saya bantu."

"Seriusan?"

"Bantu doa!" Luca terpingkal sendiri dengan lelucon garingnya.

"Kelamaan di Indonesia kamu, ampe joke garingnya apal," sahutku sambil memutar bola mata.

Luca terkekeh kembali.

"Tadi dengan Pak Gilang membahas apa?" Luca ganti topik.

"Biasa. Sama, ehm, tadi bahas soal Mas Fatih juga, sih. Kayaknya ada yang komplain."

"Oh, ya? I think dia baik."

"He is! Tahu enggak tadi tu pas berangkat dia..., ehm, enggak jadi deh, hehe." Mas Fatih pasti tidak akan suka kalau aku cerita-cerita soal sosoknya sebagai ayah ke orang-orang.

"Hmm?" Luca menaikkan sebelah alisnya.

"Enggak jadi, dont mind, yuk bayar terus pulang," pungkasku.

Dengan wajah masih mengernyit penasaran, Luca beranjak ke kasir.

Hampir saja keceplosan, haha.

"Punyaku berapa, Luc?" tanyaku setelah Luca selesai membayar di kasir.

"Tidak usah."

"He, kenapa?"

"My treat."

"A cie ..., lagi baek. Ada apa gerangan?" godaku.

"It's actually my birthday," jawabnya datar.

"Eh, kok enggak bilang-bilang. Happy birthday! Harusnya aku yang traktir lah, gimana sih. Aku enggak punya kado, gimana dong ..."

Luca kembali nyengir. "Your presence is enough."

Aku tertawa salting.

Luca tidak punya sanak saudara di Jakarta. Tidak ada keluarga yang bisa merayakan ulang tahunnya di sini. Dia tinggal di apartemennya sendirian karena dia juga belum menikah. Walau begitu, dia tidak pernah membicarakan soal kampungnya, atau kisah-kisahnya di sana.

"Ayo sinilah," kataku sambil menarik ujung bajunya.

"Mau ke mana?" tanyanya bingung.

"Ikut aja," balasku.

Aku menarik Luca keluar dari Simpang Raya menyusuri trotoar di depannya. Seingatku di dekat sini, deh.

Nah itu dia! Sebuah kafe kecil bernuansa putih dan merah muda hanya beberapa langkah dari Restoran Simpang Raya tadi. Papan nama kecil bertuliskan "Panasea" terpasang di depannya.

Luca celingak-celinguk mengamati interior kafe yang feminim.

"Duduk sini, ya," ujarku sambil mendorong pundak kekarnya untuk duduk.

Aku berjalan menuju konter dan memperhatikan beragam keik dengan tampilan cantik di etalasenya.

Pilihanku jatuh pada keik berjudul "Exotique". Paduan lembutnya bolu pisang dengan lapisan mangga dan parutan kelapa kurasa cocok dengan Luca.

"Yang Exotique satu ya, Mbak. Yang small aja," pesanku pada Mbak Pelayan berambut biru di belakang etalase.

"Bungkus atau makan di sini?"

"Di sini, ya. Kalau ada lilin mau, Mbak."

"Baik, total 85,000 rupiah ya, silakan bayar di sini, nanti pesanannya diantar ke meja," ujar Mbak berambut biru itu.

"Mau makan lagi?" tanya Luca ketika aku kembali dari konter.

"Selalu ada tempat untuk dessert!" seruku.

Tidak lama berselang, pelayan yang lain datang membawa si Exotique yang sudah ditancapi 5 buah lilin.

Luca tersenyum sumringah. "What's this?"

"Your birthday cake! Come on, make a wish," balasku.

"I'm not 5 years old," gerutu Luca yang tetap memejamkan mata sambil berdoa, lalu meniup lilinnya.

"Yeay!" sorakku sambil tepuk tangan.

Walau berusaha mempertahankan muka cool-nya, Luca tidak bisa menyembunyikan rasa senangnya. Bahagia itu sederhana ya, Luc.

"What were you wishing for?"

"It's a secret."

"Beuh," cibirku.

Paling juga doa biar naik gaji, batinku.

"Kue apa ini?" tanyanya seraya memandangi bolu kuning terang dan serpihan kelapa itu dengan seksama.

"Namanya Exotique. Cobain, deh. The cake is like you," jawabku sambil mencabuti satu persatu lilin di atasnya.

"Dan ... seperti apakah like me itu?" Luca menaikkan sebelah alisnya lagi.

"Cobain aja makanya," tukasku sambil menyodorkan sepotong besar kuenya ke piring yang berada di depan Luca.

Luca meraih garpu kecil di sebelah kirinya dan mencicipi si Exotique dengan muka penuh tanda tanya.

Dia mengunyah perlahan, merasa-rasa.

"It's banana ..." ucapnya.

"Yep."

"And tastes like mango."

"Yep."

"And it has coconut."

"Yep."

"It's weird, but refreshing and delicious," pungkasnya dengan mulut penuh keik.

"Just like you, kan," aku tertawa kecil.

Luca nyengir dan menambah potongan kedua. Tadi aja sok-sokan ngeledek makan lagi.

Ckck, Itu perut apa kantong doraemon, Luc? Tidak perlu waktu lama, keik pisang tersebut lenyap ke perutnya.

---

[Tamat] Dewi Setengah DewaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang